Sodara, kita semua sepakat bahwa hidup di dunia ini sementara, semua pasti mati. Namun, kita juga berusaha agar nggak menantang kematian. Nah, salah satu usaha supaya nggak cepat mati adalah menjaga kesehatan. Dan kita juga sepakat bahwa kesehatan adalah salah satu kenikmatan termahal yang kita miliki. Bentuk syukur nikmat kesehatan dapat diwujudkan dengan menjaga kesehatan diri kita sendiri dan sesama. Banyak cara praktis yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya, salah satunya di masa pagebluk sekarang adalah menjaga prokes 5M dan vaksinasi.
Kita bersyukur anggota masyarakat mengerti bahwa vaksinasi adalah ikhtiar pemerintah menjaga kesehatan rakyatnya hingga akhirnya terbentuk herd immunity yang akan mengurangi laju pandemi. Dan salah satu orang yang mengerti hal ini adalah Sodara Raden Muhammad Wisnu, yang menulis artikel soal ini beberapa hari lalu.
Pada tulisan tersebut, Kang Wisnu menyebut vaksinasi di Kota Bandung yang harus memenuhi syarat administrasi memiliki KTP Kota Bandung atau surat domisili Kota Bandung ora mashok blas. “Kok birokratis sekali,” celotehnya. Namun di sisi lain, blio paham juga alasan di balik itu. “Saya tahu, program vaksinasi massal yang mengharuskan pesertanya untuk memiliki KTP atau surat domisili itu bertujuan agar stok vaksin yang terbatas bisa dikontrol oleh pemerintah setempat melalui Disdukcapil setempat. Jadi nanti Disdukcapil memiliki data orang yang sudah vaksin atau belum vaksin,” ungkapnya. Oke, lebih enak jelasinnya kalau gitu.
Begini. Saya nggak diendorse Satgas Covid-19 Nasional seperti dokter Raisa Broto Asmoro. Saya hanya orang yang ditugasi Pak RW membuat notifikasi paparan Covid-19 warga di perumahan saya—yang menyaksikan langsung proses vaksinasi warga oleh para tenaga kesehatan (nakes) yang jumlahnya terbatas. Ini perlu saya terangkan supaya nggak selalu menyalahkan birokrasi. Yah, namanya juga birokrasi, Kang, ada rantai komando dalam organisasi dengan bentuk piramida—banyak pelaksana teknisnya—atau kalau dalam strukturasi banyak orang yang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas. Dan ini biasa dalam instansi yang bersifat administratif maupun militer yang bertujuan untuk keteraturan.
Tapi bukan itu yang saya mau tekankan. Poinnya adalah N-A-K-E-S yang (((terbatas))). Jadi, alasan mengapa yang divaksinasi harus disesuaikan dengan domisili lantaran keterbatasan jumlah nakes. Asal Kang Wisnu tahu, ya, jumlah nakes gugur saat ini menurut Kompas.com bertambah banyak. Per 22 Juni 2021 tercatat nakes yang wafat berjumlah 974 orang, yang terdiri dari dokter 374 orang, perawat 311 orang, bidan 155 orang, dan beragam profesi nakes lainnya.
Jadi, memang sekarang jumlah nakes tambah terbatas, bukan dipersulit, Bro! Kita tahu mereka memang garda terdepan penanggulan pandemi ini sejak Maret 2020 lalu. Makanya, dengan pembagian vaksinasi per domisili penduduk, memudahkan pembagian nakes yang bertugas. Gimana jadinya kalau orang yang divaksin nggak dibatasi? Bebas gitu siapa saja yang mau? Sudah pasti akan terjadi penumpukan dan kerumunan mendadak. Setiap orang akan minta divaksin. Sementara nakes yang bertugas terbatas. Jadinya malah runyam. Potensi paparan malah meningkat. Mau muncul klaster baru bernama klaster vaksinasi? Na’udzubillah. Jangan sampai!
Itulah makanya diatur sedemikian rupa sesuai KTP dan domisili dan dibagi waktu vaksinasinya. Kalau Kang Wisnu bilang repot mengurus surat keterangan domisili, menurut saya nggak sampai sehari juga, sih. Setengah hari beres asal semua aparaturnya ada di tempat. Dan sebenarnya, nggak harus sampai kelurahan juga, cukup surat domisili dari RT atau RW setempat. Ada kok itu. Coba tanya lagi ke Pak RT atau Pak RW, apalagi lagi pandemi gini, disediakan, kok. Kan darurat. Kalau semua ngurus ke kelurahan malah jadi kerumunan, masalah lagi. Yah, sekali-kali silaturahmi lah ke penguasa wilayah di mana kita merantau. Jangan bergaul sama circle pertemanan seusia saja.
Lalu, lebih jauh Kang Wisnu bilang temannya yang sedang kuliah di Inggris sana cukup daftar online dan bawa paspor ketika akan vaksinasi. Ya, di sana kan yang mau vaksin nggak sebanyak di Indonesia—yang ditargetkan sebanyak 181,5 juta penduduk yang harus divaksinasi hingga akhir tahun 2021. Sekarang saja menurut Kemenkes baru 5% penduduk Indonesia yang mendapatkan vaksin Covid-19, berarti baru 13,6 juta (8,8 juta sudah divaksin lengkap). Kebayang, kan, penanganannya repot mana di luar negeri dan di dalam negeri? Gitu ya, Bro? Paham, ya? Kecuali situ mau jadi relawan bantuin para nakes? Mau?
BACA JUGA Vaksin Nusantara Harus Kita Dukung, Bodo Amat sama BPOM dan tulisan Suzan Lesmana lainnya.