Argumen Kuli dalam Obrolan Kesetaraan Gender Itu Basi

Kesetaraan gender

Hae para laki-laki berargumen jelek di luar sana, kenapa kalau ada diskusi tentang kesetaraan gender, kalian selalu bawa-bawa argumen kuli? Kalian tu kenapa sih, Gaesss?

Serius, saya pikir argumen ini sudah amat usang, pun tak lagi relevan. Kalau guyonan ini muncul tahun 2004 katakanlah, rada oke lah. Tapi, ini 2021, Gaes. Sekarang tuh zaman yang mencerahkan dan penuh algoritma, kalau kata Budiman Sudjatmiko. Masak ya kalian nggak punya jenis argumen lain?

Begini ya, Gaes. Saya tahu banget argumen kuli dibawa ke tiap diskusi kesetaraan gender itu niatnya mau menunjukkan bahwa yang namanya wanita dan pria itu nggak bisa setara. Dari tenaga aja udah beda. Contoh paling gampang, ya kuli. Pekerjaan yang sarat dengan tenaga dan otot, yang nggak wanita banget, menurut kalian.

Padahal anggapan itu bisa dipatahkan dengan mudah. Pemisahan peran itu ada karena patriarki. Wanita ditaruh di ruang paling belakang, ruang privatnya diganggu, suaranya dibungkam. Laki-laki, dianggap sebagai jenis yang lebih unggul, perkasa, punya kualitas yang hingga Jimmy Hoffa ketemu, nggak akan bisa disaingi wanita. Dari sini saja sudah jelas, ada yang salah dengan tatanan yang ada.

Maka, wanita memperjuangkan kesetaraan. Dalam peran, dalam akses, dalam bersuara. Hal ini bahkan tak akan mengganggu laki-laki sama sekali, sebenarnya. Justru, kesetaraan ini memberi ruang yang lebih lega untuk pria. Pria pun sebenarnya tak luput dari bengisnya patriarki. Selalu dituntut sempurna, tahan banting, tak boleh mengeluh, kuat meski berdarah-darah. Patriarki, bisa dibilang, menghapuskan kemanusiaan dari manusia.

Saya sebenarnya agak mengerti kenapa masih banyak laki-laki yang bener-bener susah mengerti tentang kesetaraan gender. Pemahaman dan didikan yang mereka dapat ya hal-hal kayak gitu: wanita di belakang, laki-laki taruh depan. Tapi, meski saya mengerti, ya nggak sudi juga membenarkan.

Sebab, yang namanya akses atas pengetahuan di masa kini itu terbuka lebar banget. Ini tuh masa di mana kalau ada orang ngasih video anak dikutuk jadi ikan pari, orang-orang bakal ketawa. Bukan dipercaya kayak 17 tahun lalu. Cukup beberapa sentuhan di gawai, kita tahu semua hal.

Kayak saya kemarin. Kentut saya bau banget. Terus saya googling. Jadi tahu kenapa kita kentut dan gimana mekanisme kentut terbentuk. Lain kali sa mau googling kenapa berak jongkok itu enak.

Yang perlu dilakukan di masa kini tuh simpel sebenarnya: berhenti jadi bebal. Atau membuka diri atas informasi baru, meski itu benar-benar berlawanan dengan yang kita anut selama ini. Ini klise, tapi nyatanya memang hal ini penting banget.

Begini. kita berkali-kali mendapat pengetahuan baru yang tak jarang mematahkan pengetahuan lama yang kita anut. Hal tersebutlah yang bikin dunia ini berada di titik sekarang, kemajuan yang memudahkan. Saya yakin, penemu internet dulu pasti dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya ketika menyampaikan idenya.

Kok saya tahu? Ya nggak tahu sih, nebak-nebak doang. Tapi, yang namanya julid, itu lintas ras dan generasi, Lur.

Makanya, bagi saya, bawa-bawa argumen kuli itu dah nggak relevan. Sebab yang diperjuangkan bukan itu. Bahkan nyerempet tenaga aja kagak. Lagian kalian ini juga aneh, sesempit itukah pergaulan dan dunia kalian sampe belum pernah liat perempuan jadi kuli? Kui ki hal biasa yo, gumunan koe ki.

Saya ulangi lagi ya. Kesetaraan gender itu yang dimaksud adalah diberinya kesempatan yang sama dalam banyak hal: pendidikan, peran, kesempatan bersuara, keadilan, pekerjaan, dan sebagainya. Harusnya sekarang udah mulai paham kenapa argumen kuli, angkat galon, pasang genteng, itu nggak nyambung. Udah nggak nyambung, jelek lagi.

Tapi, saya jadi penasaran banget. Memangnya kalian, para lelaki yang selalu bawa-bawa argumen kuli, angkat galon, pasang genteng, itu kalau suruh ngelakuin hal tersebut, kalian kuat?

Saya yakin sih, nggak kuat. Mereka harusnya malu berargumen seperti itu di depan para pejuang kesetaraan gender yang tetap berdiri tegak diserang pihak-pihak berotak seukuran kacang pilus.

Saran saya sih, ketimbang kalian berusaha relevan tapi argumennya itu-itu aja, mending diem dan mengamati aja. Siapa tahu belajar hal baru. Sebab, mengomentari hal yang sama sekali nggak kalian kuasai itu bikin kalian keliatan bodoh.

Beda cerita kalau passion kalian adalah keliatan bodoh di muka umum, haaaa kuwi aku ra melu-melu.

Sumber Gambar: Pixabay

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version