Suatu hari, saya bercakap dengan teman saya terkait demo mahasiswa. Kami berdua, kelompok mahasiswa yang tidak ikut aksi kala itu. Sebuah percakapan ringan membuat saya bertanya, “Kalau kita ikut demo, apakah suatu saat kita akan mengizinkan anak kita juga ikut demo?”
Terjadi diskusi cukup panjang setelah pertanyaan itu. Baik-buruknya demo, kami masukkan dalam diskusi. Kami berdua mulai menempatkan posisi sebagai calon orang tua, yang pastinya harus bertanggung jawab terhadap anak kami.
Kami mendapat berbagai kesimpulan subjektif. Hingga akhirnya, saya jadi melanjutkan pertanyaan, “Besok, aku mengizinkan anakku ikut Pecinta Alam nggak ya?”
Tidak seheboh pertanyaan tadi. Kali ini diskusi tidak banyak terjadi, karena mungkin hanya saya yang paham bagaimana sebuah organisasi Pecinta Alam berjalan.
Tidak banyak diskusi. Tapi pertanyaan tersebut membuat saya jadi banyak bertanya. Saya anggota Pecinta Alam, jika suatu saat anak saya ingin mengikuti jejak saya, apakah akan saya izinkan? Saya paham cukup banyak hal-hal di dalam Pecinta Alam, baik dan buruknya, apakah itu bisa meyakinkan saya untuk memberi izin?
Saya mendapat berbagai hal positif dari kegiatan ini, baik dari segi ilmu kepecintaalaman maupun dari segi keorganisasian. Jika harus menjawab apakah Pecinta Alam adalah organisasi yang baik atau buruk untuk generasi muda, maka dengan yakin saya akan menjawab “baik”.
Namun ternyata, semakin dewasa saya jadi semakin bisa berempati dengan perasaan orang tua, terutama perasaan ibu (karena saya perempuan). Menjadi anggota Pecinta Alam tak lantas membuat saya langsung menjawab “iya” untuk pertanyaan tersebut. Di balik semua sisi baik dari Pecinta Alam, saya pun paham betapa banyak risiko dalam kegiatan di organisasi sejenis itu.
Saya anggota Pecinta Alam. Lima, sepuluh, dan berpuluh tahun ke depan, cerita tentang sepak terjang saya di dunia kepecintaalaman tak akan hilang dengan mudah. Suatu hari, anak saya mungkin memiliki perhatian pada dunia kepecintaalaman, entah itu ketertarikan atau justru sikap sentimental. Mau atau tak mau, siap atau tak siap, jika memang sudah saatnya, saya harus mengambil sikap, untuk menanggapi sikap dari anak saya.
Saya anggota di dua organisasi Pecinta Alam, di tingkat SMA dan tingkat universitas. Saya menjadi bagian dari dua organisasi tersebut. Saya paham cara main mereka. Saya bisa menarik persamaan dan perbedaan keduanya.
Saya pun sering berbincang dengan anak Pecinta Alam lain, tingkat SMA maupun universitas. Meski sedikit, saya punya gambaran terhadap organisasi mereka. Selain itu, tak jarang saya mencari informasi melalui media sosial tentang Pecinta Alam lain.
Saya punya sekian pengalaman dan referensi untuk jenis organisasi ini. Sehingga ada beberapa kesimpulan yang saya ambil dari semua itu, meski tetap subjektif.
Seperti yang saya sebutkan tadi, semakin dewasa, saya semakin punya rasa empati pada perasaan orang tua. Jika dulu saya banyak mengeluh tentang berbagai aturan (baik dari keluarga saya maupun keluarga teman-teman saya), kini saya mulai paham mengapa semua itu diperlukan. Jika dulu saya banyak protes terhadap larangan, kini saya mulai paham betapa semua larangan tersebut merupakan bentuk kepedulian orang tua terhadap anaknya.
Saya tidak pernah dilarang untuk berkegiatan di alam. Dua kali meminta izin ikut Pecinta Alam, selalu langsung diizinkan, selama saya bisa jaga diri. Semisal saya dilarang, dengan sikap saya yang cukup keras, mungkin saya akan menentang larangan tersebut.
Suatu hari nanti, jika anak saya meminta izin untuk hal yang sama, sejujurnya saya tidak bisa menjamin akan memberinya izin, dan saya pun tidak menjamin dia akan menurut jika saya larang (mengingat sikap keras kepala dari saya juga pasti sekian persen menurun ke dia).
Berbagai adegan perdebatan soal izin, mulai terlintas di pikiran saya. Mulai dari titik serunya, hingga titik menjengkelkannya. Punya anak yang banyak ide dan banyak protes, memiliki sisi positif dan negatif, yang harus ditanggapi dengan kebijaksanaan orang tua.
Kadang, kegiatan ini harus bertaruh nyawa. Kadang, satu dan lain hal membuat kami harus berhadapan dengan maut. Sebaik apa pun standar operasional dari sebuah organisasi Pecinta Alam, tetap saja… alam sering kali terlalu keras untuk manusia.
Saya berani untuk mengambil risiko tersebut atas seizin orang tua, tapi apakah saya akan ikhlas jika anak saya mengambil risiko yang sama? Sebuah pertanyaan berat, meski status saya masih “calon orang tua”.
Untuk saat ini, saya tidak bisa mengklaim sampai tahap melarang atau mengizinkan. Saya hanya bisa mengklaim bahwa saya tidak bisa ikhlas sepenuhnya. Sekian persen, saya anggap dia lebih baik melakukan kegiatan yang tidak berbahaya. Banyak kegiatan menarik lainnya, selain harus bertaruh nyawa (meski pada akhirnya semua kegiatan pasti punya risiko).
Tapi saya akan coba lihat sisi baiknya. Semua hal positif yang saya dapatkan selama menjadi anggota Pecinta Alam, tetap saja ingin saya turunkan pada anak-cucu saya. Nyatanya alam memang mengajarkan saya banyak hal, dan satu per sekian dari semua itu tidak bisa saya dapatkan di luar organisasi Pecinta Alam.
Jika saya di masa depan kembali membaca tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan. Pertama, pikirkan semua keputusan dengan matang, pikirkan dengan emosi yang sedang stabil. Kedua, jangan lupa diskusikan dengan suami, karena anak adalah tanggung jawab bersama. Ketiga, meski saya anak Pecinta Alam, cobalah untuk bersikap objektif semaksimal mungkin, carilah berbagai sudut pandang sebelum memutuskan.
BACA JUGA Menjadi Pecinta Alam Tanpa Naik Turun Gunung atau tulisan Nursyifa Afati Muftizasari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.