Apakah Pinjol Harus Dihapuskan? Bagaimana Nasib Nasabah-Nasabahnya?

Pekerja Tanpa Skill Terjebak Pinjol di Tangerang demi Bayar Calo (Unsplash)

Pekerja Tanpa Skill Terjebak Pinjol di Tangerang demi Bayar Calo (Unsplash)

Riset yang dilakukan oleh Tim Jurnalisme Data Harian Kompas tahun 2023 menyebutkan bahwa sebanyak 2,6 juta nasabah pinjaman online (pinjol) kesulitan membayar tagihan pinjamannya. Data tersebut berasal dari para nasabah yang melakukan pinjaman di pinjol-pinjol yang sudah berizin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tentu datanya akan lebih besar bila dilihat dari landscape yang lebih luas.

Sejak 2017 hingga April 2024, Otoritas Jasa Keuangan dan Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) telah menghentikan operasi 7.576 layanan pinjol ilegal di Indonesia. Selain itu, jumlah pengaduan masyarakat terkait pinjol ilegal terus meningkat, dengan 5.698 pengaduan diterima hingga akhir April 2024. Banyak nasabah merasa terjebak oleh pinjol ilegal karena suku bunga tinggi serta metode penagihan yang dianggap tidak etis. Terbaru ada Samir.com yang disinyalir melakukan pengancaman kepada debitur saat penagihan utang.

Kondisi itu membuat banyak orang merasa kehadiran pinjol sebaiknya dihapuskan atau dilarang total oleh pemerintah. Tapi bagi saya, penghapusan atau pelarangan pinjol ini bukan langkah yang bijak. Bahkan bisa membawa dampak buruk yang lebih besar. Situasi ketika pinjol ada yang dilegalkan (dengan berbagai persyaratan) saja, masih banyak bermunculan yang ilegal, apalagi jika keberadaannya dilarang secara penuh. Tentu menjamurnya akan lebih parah dan sulit sekali dikontrol.

Ibarat lokalisasi yang dipaksa bubar tanpa ada mitigasi setelahnya, sehingga para PSK-nya menyebar dan melakukan praktik-praktik secara sembunyi-sembunyi, maka aktivitas pinjol juga boleh jadi tetap lestari dengan beraneka topeng dan bentuk untuk mengelabui pihak otoritas.

Pinjol adalah salah satu pendorong inklusivitas sektor jasa keuangan

Selain itu, keberadaan pinjol ini mau diakui atau tidak, menjadi salah satu pendorong inklusivitas sektor jasa keuangan di Indonesia, khususnya terkait kebutuhan pendanaan bagi masyarakat. Kalau langsung dilarang begitu saja, dampaknya, masyarakat akan kesulitan memperoleh layanan pendanaan. Kita semua tahu bagaimana rumitnya mekanisme perbankan sehingga masyarakat kesulitan dalam mengakses pendanaannya.

Lebih berbahaya lagi, efeknya membuat masyarakat akan mencari pendanaan dari sumber lain seperti lembaga tidak resmi, rentenir berkedok koperasi, atau sejenisnya yang menawarkan bunga yang sangat tinggi. Kondisi itu akan membuat masyarakat terjebak dalam lingkaran transaksi utang yang makin kompleks.

Tapi kalau tidak dihapuskan, terus bagaimana caranya?

OJK selaku otoritas yang mengawasi pinjol sudah seharusnya memberlakukan persyaratan pengajuan izin yang lebih ketat, terutama pada aspek perlindungan konsumen bukan hanya pada aspek ekuitas atau permodalan dari pinjol. Selama ini, pengajuan izin pinjol menurut Peraturan OJK (POJK) No. 77/POJK.01/2016 menyebutkan bahwa Perusahaan hanya diwajibkan memiliki modal minimal sebesar Rp2,5 miliar saat pendirian, dan Rp 10 miliar saat beroperasi.

Dana tersebut tentu bagi Perusahaan Pinjol yang berbentuk startup akan sangat mudah mendapatkannya dari modal ventura. Hal itu yang membuat Perusahaan pinjol begitu menjamur. Saat ini setidaknya terdapat 97 perusahaan pinjol yang mendapatkan izin OJK.

Harus nurut BI

Padahal, seharusnya, persyaratan dari segi perlindungan konsumen dan mitigasi risiko harus menjadi bagian penting dari syarat mendapatkan izin operasi. Perlindungan konsumen di sini bisa ditinjau dari sistem atau mekanisme penagihan yang dilakukan oleh perusahaan pinjol. OJK selaku otoritas bisa melakukan monitoring secara berkala terkait proses penagihan yang dilakukan.

Selain itu, penerapan bunga pinjaman pinjol juga harus mengikuti kebijakan Bank Indonesia selaku otoritas moneter. BI dalam menetapkan suku bunga acuan, tentu mempertimbangkan kondisi riil ekonomi. Hal ini akan memaksa pinjol memberlakukan bunga pinjaman tidak setinggi seperti saat ini.

Pada dasarnya, proses penagihan yang dilakukan dengan cara mengancam dan intimidatif didasarkan pada mekanisme manajemen risiko yang amburadul dari pihak pinjol. Berbeda dengan bank, pinjol tidak memiliki yang namanya Aktiva Tertimbang Menurut Rasio (ATMR). Jadi intinya, ATMR ini mewajibkan setiap pinjaman yang disalurkan oleh bank, harus punya pencadangannya untuk mitigasi ketika terjadi gagal pengembalian oleh nasabah.

Mudahnya, ketika sebuah bank meminjamkan uang 10 juta, maka pihak bank juga harus menyediakan 10 juta sebagai dana mitigasi ketika 10 jutanya tidak mampu dikembalikan secara utuh oleh nasabah. Dana tersebut, biasanya diambil dari laba bank yang bersumber dari berbagai alokasi investasi dan simpanan wajib di bank Indonesia.

Pinjol tidak ada kewajiban memenuhi ATMR

Nah skema seperti ini tidak ditemukan di pinjol. Mereka minjamin ya minjamin aja tanpa ada kewajiban menyediakan dana untuk memenuhi ATMR. Sudah seharusnya, OJK harus mulai berani menjadikan ATMR salah satu komponen penting dalam upaya mitigasi risiko gagal pengembalian oleh nasabah pinjol. Saya yakin, dengan dimasukkannya ATMR sebagai salah satu syarat, pinjol yang berizin sudah pasti punya fundamental pendanaan yang kuat, sehingga tidak grusa-grusu dalam menagih. Pinjol jadi punya kelonggaran lebih dalam proses penagihan seperti pemberlakukan restrukturisasi atau reschedule untuk para nasabah yang kesulitan membayar.

Pemanfaatan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) OJK juga dioptimalkan untuk melihat secara utuh ketika terjadi sengketa antara pinjol dan nasaba. Perspektif konsumen tentu dititik beratkan pada aspek kemampuan dan kapasitasnya, sehingga bisa melahirkan keputusan yang tidak memberatkan pihak nasabah.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana nasib dari para nasabah yang sudah kadung terjerat pinjol dengan utang tinggi?

Atur secara ketat

Berdasarkan data hingga Juni 2023 dari OJK, total nilai kredit macet (pinjaman yang belum dibayar lebih dari 90 hari) mencapai sekitar Rp1,73 triliun, atau 3,29% dari total pinjaman yang sedang berjalan senilai Rp52,7 triliun. Nah nominal 1 triliun itu bisa dielaborasi lebih jauh oleh OJK dengan melihat masing-masing profil dari nasabah yang kesulitan membayar.

OJK kemudian bisa melakukan diversifikasi nasabah dan memasukan nasabah-nasabah mana saja yang patut diberikan perhatian dan pendampingan. Proses restrukturisasi dan reschedule kredit bisa dilakukan untuk nasabah-nasabah yang memenuhi kriteria.

Lagi pula, saya rasa memungkinkan bagi pemerintah melakukan pemutihan kredit dari kredit macet yang ada saat ini. Nilai 1 triliun jika dilakukan pemutihan kredit pun bisa dilakukan. Sebagaimana pemutihan kredit yang dilakukan oleh Presiden Prabowo terhadap utang para petani dan pelaku UMKM belakangan ini. Tentu pemutihan ini bisa diterapkan dengan mekanisme pendalaman profil nasabah. Tujuannya agar tepat sasaran. Tidak menyasar pada para nasabah yang ternyata terjerat pinjol karena judi online atau perilaku konsumtif.

Terlepas dari semua itu, Pinjol sebagai salah satu lembaga keuangan tentu tidak bisa dihapuskan begitu saja. Ibaratkan anak kecil, Pinjol ini seperti anak nakal yang hanya butuh diarahkan agar aktivitasnya tidak merepotkan masyarakat. Pinjol cukup diatur secara ketat, agar dapat menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan bagi para pengusaha, pelaku UMKM atau masyarakat yang membutuhkan lainnya.

Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Waspadai Modus Salah Kirim Pinjol Ilegal, Ini Cara Ampuh Menghadapinya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version