Apakah Masih Ada yang Korupsi di Hari Anti Korupsi Sedunia?

Apakah Masih Ada yang Korupsi di Hari Anti Korupsi Sedunia?

Sejak diresmikan di tahun 2003 oleh PBB. Tanggal 9 Desember menjadi hari yang sakral sebagai simbolisme perlawanan terhadap praktik korupsi di seluruh dunia. Hari ini, 9 Desember 2019 menjadi peringatan yang ke-16 Hari Anti Korupsi Sedunia. Isu korupsi memang menjadi penyakit yang sulit disembuhkan tidak hanya di negeri ini. Hampir semua negara di seluruh dunia selalu dipusingkan dengan penyakit yang sulit ditemukan obatnya ini. Baik negara dunia pertama, kedua, atau ketiga tetap tidak bisa membendung yang namanya korupsi.

Korupsi seolah menjadi sifat dasar manusia yang tersembunyi, yang bisa muncul ketika iman tidak sepakat dengan nafsu. Berbagai cara sudah dilakukan banyak negara dalam memerangi korupsi. Cina misalnya, negeri tirai bambu dikenal sebagai negara yang lumayan garang terhadap pelaku korupsi. Tidak main-main, hukumannya mati.

Lain di Cina, lain lagi di Jepang. Jepang tidak sekejam Cina dalam menghukum koruptor. Tapi walau tidak kejam, hukuman terberatnya adalah sanksi sosial terhadap pelaku korupsi. Di Jepang, korupsi dianggap hal yang sangat memalukan. Dan kebanyakan para pelaku korupsi di Jepang punya adat dan tahu tata krama. Saat seseorang ketahuan korupsi, ia lebih memilih mundur dari jabatannya daripada menanggung malu yang tak tertahankan di mata orang lain. Intinya budaya orang Jepang memang seperti itu. Korupsi sama dengan seseorang yang goblok, bodoh, keparat, dan pecundang di mata masyarakat.

Di momen Hari Anti Korupsi Sedunia ini, ketika melihat beberapa negara mencoba garang dan menumbuhkan budaya malu terhadap perilaku korupsi, mari kita menengok gerak-gerik korupsi di negeri kita tercinta ini. Bulan Januari kemarin Transparency International, salah satu organisasi nirlaba asal Jerman yang berfokus memerangi korupsi politik merilis daftar negara-negara yang terbilang bersih dari korupsi. Indonesia menduduki peringkat 4 di bawah Singapura yang didapuk sebagai negara paling bebas korupsi di ASEAN. Dan untuk peringkat dunia, Indonesia menduduki peringkat 89 dari 186 negara. Tampaknya tidak buruk-buruk amat dan juga tidak terlalu membanggakan. Data-data tersebut tentunya hanya gambaran yang jika dilihat sejauh ini tidak mencerminkan wajah virus korupsi yang sebenarnya.

Korupsi itu seperti hantu yang selalu jadi legenda di mana pun kita berada. Entah bagi kaum elite atau kaum proletar. Bagi masyarakat kelas atas atau kelas menengah ke bawah. Korupsi itu sebenarnya selalu ada dan sangat dekat dengan kita. Jangan terlalu jauh berpikir soal korupsi yang besar. Lingkungan sosial kita saja masih tidak bisa lepas dari perilaku korupsi. Bagaimana kalimat “orang dalam adalah segalanya” bisa menjadi contoh bahwa perilaku korupsi di masyarakat kita sudah menjadi rahasia umum. Mau contoh yang lebih dekat dengan kita? Kita bisa melihatnya dimulai dari praktik terkecil korupsi. Ngaku sama abang penjual pentol nusuk pentolnya lima, tapi yang masuk perut sepuluh. Perilaku korupsi sesederhana itu. Lebih sederhana lagi jika janji ketemuan jam 9 dan baru datang jam 10. Korupsi sangat dekat dengan kita semua.

Korupsi juga berkembang tanpa pandang bulu. Bahkan lingkungan akademisi yang isinya orang-orang berotak bisa menjadi tempat pengkaderan pertama perilaku korupsi. Contohnya, ketika ada saja oknum-oknum mahasiswa belajar bagaimana cara korupsi lewat kepanitiaan di acara-acara kampus. Bikin anggaran 5 juta padahal acaranya cuma butuh dana 2 juta. Sesederhana itu bibit-bibit koruptor muncul. Ketika membicarakan korupsi dalam skala kehidupan sehari-hari saja banyaknya minta ampun. Inilah yang akan membentuk pemikiran-pemikiran kotor ketika seseorang diberikan yang namanya jabatan, kekayaan, dan kekuasaan yang menyilaukan. Sangat rentan sekali korupsinya.

Jika kita bertanya apakah Indonesia sudah sangat garang terhadap pelaku korupsi di Hari Anti Korupsi Sedunia ini? Mungkin jawabannya Indonesia masih terlalu bersahabat dan lemah lembut. Belum ada garang-garangnya. Buktinya kemarin koruptor dikasih grasi. Terlepas dari alasan kemanusiaan, itu menjadi gambaran bahwa negeri ini masih lumayan bersahabat pada koruptor. Tidak adanya sebentuk tindakan yang memberikan efek jera terhadap koruptor membuat koruptor joget-joget senang di penjaranya yang serba mewah sambil menanti remisi. Malahan koruptor dikasih masa depan cemerlang oleh KPU dengan diperbolehkan ikut pilkada tahun depan. Aneh, kan?

Adanya KPK pun sepertinya tidak membuat perilaku korupsi musnah di Indonesia. Justru KPK yang coba-coba dipreteli dengan revisi UU KPK yang bikin rakyat bergolak beberapa bulan lalu. Negeri ini masih tampak mencoba mengajak para koruptor beramah tamah alih-alih menodongkan pistol di keningnya.

Iya sih, presiden kita selalu mengatakan bahwa basmi korupsi dan lawan korupsi. Cuma itu tadi, kita perlu lebih garang untuk melawan yang namanya korupsi di negeri ini. Percuma bilang basmi korupsi dan lawan korupsi jika penjara para koruptor masih tetap seperti apa yang pernah Najwa Shihab perlihatkan. Percuma saja memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia, tapi perilaku korupsi baik dalam lingkup kelas atas atau kelas bawah masih dianggap hal yang wajar dan bisa dipermainkan.

Berbagai problematika menyoal korupsi yang kelihatannya tak kunjung musnah baik di luar negeri sana maupun di Indonesia membuat saya bertanya-tanya, apakah masih ada yang korupsi di Hari Anti Korupsi Sedunia?

BACA JUGA Pejabat Kita (Pernah) Anti Korupsi, Anti Kepentingan dan Punya Standar Moral Tinggi atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version