Apakah Fesyen dan Kejahatan Selalu Bekerja Sama seperti di Film-film?

Apakah Fesyen dan Kejahatan Selalu Bekerja Sama Seperti di Film-Film? terminal mojok.co

Apakah Fesyen dan Kejahatan Selalu Bekerja Sama Seperti di Film-Film? terminal mojok.co

Film terbaru Disney, Cruella (2021) yang merupakan film spin off dari film Disney populer, 101 Dalmatians (19961 dan 1996) telah membuat sensasi hangat di jagat raya perfilman. Selain berhasil membuat penonton bernostalgia, Disney juga berhasil mengemas film ini menjadi sesuatu yang begitu baru. Sesuai judulnya, film ini diceritakan lewat perspektif sang tokoh antagonis, Cruella De Vil.

Meski mengundang cukup banyak kritikan akibat bedanya jalan cerita serta penokohan si karakter utama, film ini masih mendapat respons positif serta meraih keuntungan yang cukup sukses di box office.

Hal yang menarik, diceritakan bahwa karakter Cruella dulunya adalah seorang gadis sebatang kara yang terpaksa menjadi pencopet untuk bertahan hidup. Berkat bantuan kedua rekannya, Jasper dan Horace, ia berhasil direkrut oleh seorang desainer terkenal bernama Baroness. Konflik mulai timbul ketika Cruella mengetahui rahasia di balik kematian ibunya. Namun, setelah dipikir-pikir, film ini bukan yang pertama mengaitkan fesyen dengan aksi kejahatan.

Di film-film Hollywood, keterkaitan antara fesyen dan kejahatan memang sering ditampilkan. Bahkan Hollywood sering kali menghadirkan transformasi busana dan style sebelum melakukan kejahatan seperti perampokan. Mulai dari Ocean’s 8 (2018), The Confession of Shopaholic (2009), dan The Neon Demon (2016), ketiganya mengaitkan kedua unsur fesyen dan kejahatan. Akan tetapi, pertanyaannya adalah apakah benar fesyen dan kejahatan saling berkaitan?

Di Amerika pada 1930-an saat fase Great Depression, pasangan perampok Bonnie dan Clyde begitu dielu-elukan oleh kalangan menengah ke bawah. Terlepas dari kesadisan dan catatan kejahatan mereka, keduanya selalu disambut bak selebriti. Busana Bonnie yang identik dengan topi baret, sepatu T-heels, dan baju rajutan dengan potongan ramping kerap menjadi inspirasi gaya berpakaian kaum perempuan kala itu. Di masanya, Bonnie adalah sensasi dan representasi dari bad girl glamor.

Hal ini sebetulnya bukan sesuatu hal yang baru. Sejak abad ke-19, budaya pop selalu meromantisasi pelaku kejahatan, terutama pembunuh perempuan yang serta merta menjadikan mereka sebagai patokan perkembangan fesyen dan pesona “chic”.

Perkembangan ini juga dibumbui oleh skandal-skandal tokoh fesyen terkemuka di abad ke-20. Pada 1995, Patrizia Reggiani dikenai hukuman 18 tahun penjara akibat membunuh mantan suaminya, Maurizio Gucci melalui pembunuh bayaran. Saat dijatuhi hukuman, Gucci mendisplay dekorasi borgol di etalase beberapa toko mereka. Kasus ini menginspirasi sebuah buku The House of Gucci yang akan difilmkan dan dibintangi oleh Lady Gaga.

Lain halnya dengan kasus Gianni Versace, ia telah mengetahui peranan besar public figure sebagai media pemasaran. Ia menyombongkan brand-nya yang dipakai oleh penyanyi rap terkenal nan kontroversial Tupac Shakur pada saat dijatuhi hukuman penjara serta saat ia keluar penjara. Pada 1997, sang desainer, Gianni Versace ditemukan tewas di luar rumah mansionnya di Miami. Sungguh ironis karena pelakunya adalah Andrew Cunanan, seorang serial killer yang tertarik akan keglamoran busana-busana dari Versace.

Saat ini, dunia fesyen tidak lagi diwarnai oleh skandal-skandal berdarah dari para desainer atau fashionista terkenal. Tren fesyen juga tidak lagi berkiblat pada pembunuh rasa selebriti. Namun, harus diakui bahwa sistem industri pakaian terutama industri fast fashion semakin hari semakin meresahkan.

Selain kekhawatiran yang tidak jarang digaungkan oleh para pemerhati dan aktivis lingkungan, perusahaan fast fashion seperti Uniqlo dan H&M juga sering terjerat kasus pelanggaran berat hak-hak pekerja. Beberapa di antaranya bahkan melibatkan kasus force labor (kerja paksa), eksploitasi, perbudakan modern, jeratan hutang, pekerja dibawah umur, pelanggaran kesehatan, dan keselamatan kerja.

Hal yang terbaru, sebuah pabrik garmen di Leicester, Inggris, membayar pekerja di bawah upah minimum sekaligus mengabaikan protokol pencegahan Covid-19. Beberapa tahun lalu di Indonesia, perusahaan ritel fesyen asal Jepang, Uniqlo juga terkena kabar tidak sedap karena diklaim tidak membayar upah pekerja untuk pabrik garmen yang bekerja sama dengan mereka. Setelah dimintai keterangan, pihak Uniqlo ternyata ingin mengakhiri kontrak akibat kurangnya standar kualitas yang dihasilkan. Namun, tampaknya hal ini berimbas buruk pada pabrik garmen tersebut hingga terpaksa gulung tikar.

Fesyen dan kejahatan memang memiliki beberapa keterkaitan. Akan tetapi, masih ada cara untuk menikmatinya dengan cara yang lebih positif seperti tidak terlalu konsumtif, sesekali berbelanja pakaian second-hand, serta terus peduli dengan isu-isu lingkungan dan hak asasi di sekitar kita.

BACA JUGA 5 Adegan Pemanis di Drama Korea yang Overrated dan artikel Lina Yasmin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version