Ketika Apa yang Kita Beli Menentukan Kasta Kita, Saatnya Belajar Filsafat Baudrillard!

Baudrillard

Ketika Apa yang Kita Beli Menentukan Kasta Kita, Saatnya Belajar Filsafat Baudrillard!

Nggak bisa dimungkiri kalau kita sekarang lagi ada di dalam arus globalisasi yang bikin masyarakan menilai sesuatu dari benda atau fashion yang melekat pada diri kita, bahasa kerennya Value Sign. Buktinya, yang sekarang dianggap keren itu ketika kamu punya iphone 11 atau berangkat sekolah dijemput sama mobil BMW. Dan si value sign menciptakan sebuah hierarki kelas yang tentu saja semakin meminggirkan rakyat biasa yang nggak punya apa-apa selain iman dan taqwa.

Saya dulu tinggal di desa, dan pandangan masyarakat juga ikut berubah gara-gara value sign ini. Masa yah, pas waktu saya kelas 8 SMP, kan lagi ngetrend banget kaos distroan. Nah, orang yang pakai kaos distro itu dilihat sebagai orang keren dan terpandang karena, ya keren aja, nggak seperti di kota yang memang lazim banyak yang jual kaos distro, di desa di mana coba orang bisa dapat baju seperti itu?

Trend kaos distro ini bikin teman-teman di desa saya—saya juga termasuk sih, jadi pada boros karena jadi pengin beli kaos distro juga biar disebut keren. Padahal, harga kaos distro itu kan di atas 100 ribu. Sementara kaos-kaos lain yang ada di pasaran harganya di bawah 80 ribu, itu pun sudah dapat kaos yang sudah sangat bagus menurut standar ibuk atau emak kita yang hatam betul soal masalah kain, dan kerapihan jaitan meskipun modelnya ya… kadang-kadang anu. Hehe.

Tapi ya karena mahal inilah kaos distro jadi menentukan kasta di mata teman-teman. Biasanya kalau kasta kita tinggi seperti ini, akan banyak teman yang mendatangi. Termasuk jadi banyak yang tiba-tiba ingin pacaran sama kita. Itu yang terjadi sama saya dulu. Saya pernah punya hubungan cinta yang begitu mesra dengan seseorang yang sangat populer di sekolah karena dia cantik luar biasa, masyaAllah lah pokoknya. Tapi ternyata dia cuma suka saya karena kasta saya yang tinggi tadi.

Pas saya kesusahaan, saya diputuskan begitu saja, padahal, saya kira dia mencintai saya apa adanya hiks. (Eh kenapa kok ceritanya mirip sinetron yang ada di cerita Indosiar yah? Apa jangan-jangan memang banyak yang yang punya kisah cinta seperti itu?)

Putus cinta ini bikin saya terpuruk, dan untungnya, pelarian yang saya temukan adalah dunia filsafat. Yhaa, saya sekarang jadi pencari kebenaran. Di sinilah saya menemukan konsep marxisme yang berbicara soal kesetaraan dan anti penindasan. Saya jadi tercerahkan kalau value sign yang dibawa oleh globalisasi dan ideologi neoliberal ini tidak relevan dalam konsep marxisme karena di sana semua orang setara. Barulah pas kelas 12 saya berlabuh pada filsuf Baudrillard.

Baudrillard sendiri dengan upayanya ingin ‘Breaking The Habit’ atau ingin memutuskan perilaku buruk membeli barang tak berguna atau mubazir, hanya karena untuk membuat eksistensi diri saja. Baudrillard seakan-akan menciptakan hal yang sama dengan orang-orang tua dulu, dengan pepatah “ojo sok nyugihi nek awakmu iki asline mlarat, iku ngko nggarakno awakmu kemlaraten” (Jangan sok kaya kalau kamu aslinya miskin, perilaku itu membuatku terlalu miskin), atau lebih-lebihya dengan mudah kita menulis ‘besar pasak, daripada tiang’.

Tapi bagaimana lagi, kita hanya dapat pasrah terhadap arus globalisasi yang kian melejit arusnya di seluruh dunia, dan bahkan kita pun sudah tidak ingat lagi zaman-zaman apa saja yang telah kita lalui. Contoh saja dalam trend gadget, kita dulu main tamagochi itu sudah bagus banget, lalu tamagochi berubah ke PSP atau PS 2, lalu PSP digantikan hp gaming pertama yang dulu berat dan hapenya itu landscape, lalu hari ini waktunya hp touchscreen yang kian marak mulai dari harga 1 jutaan sampai 20 jutaan.

Maka sekarang kita hanya dapat pasrah dan melakukan hal yang paling kecil dalam kehidupan yaitu bersikap ‘neriman’ atau ‘legowo’ yang berarti ‘menerima seadanya, yang kita punya sendiri’. Dalam globalisasi ini maka kita harus berani menahan semua nafsu duniawi yang dapat menghabiskan uang anda sendiri.

BACA JUGA Belanja Lebaran Bareng Om Baudrillard atau tulisan Alfian Widi Santoso lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version