Memang cukup bisa dipahami, kemenangan voting “Butter” BTS yang mengundang kemarahan Lad-lad pecinta bola sekalian. Ya, apalagi laga final Euro 2020 digelar di Wembley, London, Inggris. Negeri sepak bola, dan negeri musik turut besar di sana. Setengah abad lebih yang lalu, di negeri ini John Lennon menjalani pesakitan sebagai anak broken home, bertemu Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr. Membentuk The Quarrymen, embrio The Beatles yang menjadi revolusioner musik sejagat ini.
Pun pasca The Beatles, tanah ini subur bagi musisi kenamaan dunia, yang namanya terlalu panjang untuk saya sebutkan. Sebuah ulasan singkat, yang mungkin membuat orang bertanya. Mengapa final Euro 2020 yang dilaksanakan di London, tidak dipestakan seperti Olimpiade London 2012, saja? Di mana kala itu musisi-musisi pasca The Beatles diberi panggung kehormatan di pembukaan dan penutupan Olimpiade.
Dulu, saya juga berandai sederhana, “Don’t Look Back in Anger” diputar seperti laga Prancis vs Inggris 2017 silam, dan barang pasti lautan manusia di stadion tidak mungkin tidak sing along. Ah, tapi ini terlalu British sentris! Atau jika mau lebih adil, kenapa tidak memutar Maneskin saja? Toh, band rock asal Italia pemenang Eurovision 2021 tersebut namanya juga tidak kalah happening. Tapi, ya sudahlah, Army sudah menang di medan perang pertempuran dunia maya. “The power of Kpopers”, tidak bisa dimungkiri kendali dunia ini berada di tangan Kpopers.
Namun, jika kita sejenak menjernihkan pikiran, sejujurnya tidak ada yang salah dengan pemilihan “Butter” sebagai pengantar laga final. Olimpiade 2012 silam, memang sejatinya merepresentasikan Britania Raya, dan pesta itu milik tuan rumah. Sementara pesta Euro berbeda, dan memang semestinya merepresentasikan sesuatu yang happening di tahun ini, tahun Euro digelar.
Ya, “Butter” adalah pilihan yang bijak, toh pesta ini bukan milik Inggris, Euro digelar di beberapa kota Eropa, dan mungkin pesta ini milik dunia, terlepas dari kepentingan lain. Sepak bola juga merupakan bahasa universal, maka sesuatu yang “terlalu ngepop”, memang tidak ada salahnya. Dua minggu menduduki Billboard Hot 100, prestasi yang memang pantas direkam di gelaran final sepak bola Eropa. Pun begitu dengan tiga lagu lainnya yang masuk nominasi voting, yang kabar terbarunya bakal turut diputar.
Anggapan bahwa “Butter” hanya akan membuat para Lads jijik di stadion, tampaknya juga terlalu dini. Bukankah Dua Lipa dengan “One Kiss”nya pernah membuat Lads pendukung Liverpool dan Real Madrid sing along di Kiev 2018 silam. Entah bagaimana nantinya, pemilihan “Butter” merupakan penjelas keuniversalan sepak bola bahwa di ruang yang universal, memang semestinya tidak ada lagi yang esklusif lagi. Pesta ini milik kita semua!
Hasil voting dan kemenangan “Butter” justru menguji seberapa kita (yang menolak) terkungkung dalam tempurung “edgy” sebagai music snop. Bukankah kedewasaan penikmat musik adalah ketika ia bisa menikmati semua jenis musik, coba tanya Ahmad Dhani. Atau kutipan, “Musik adalah musik, hargai semua rekaman musik!” kata seorang pria yang menegur John Lennon remaja, sehabis ia mencuri beberapa CD musik, dan mengurasi CD rock n roll lantas membuang CD-CD jazz.
Terlepas setuju atau tidak, ya sudah, pemilihan “Butter” memang sudah cukup adil. Toh, pesta sepak bola dan musik sesungguhnya adalah, tentang bagaimana “Three Lions (It’s Coming Home)” kembali berkumandang di akhir laga dan mengudara langit Inggris atau tidak? Yah, mungkin “Sweet Caroline”, “So good! So good!”
Sumber Gambar: YouTube BANGTANTV
BACA JUGA Melihat Kesuksesan dan Kecerdikan ARMY dalam Comeback Terbaru BTS ‘Butter’ dan tulisan Dicky Setyawan lainnya.