Fakta yang sederhana. Ada sejumlah masker yang tergeletak di jalanan. Ada yang tergolek di pinggir. Ada yang di tepian. Ada pula yang di tengah. Kasus yang boleh dikatakan dominan, kira-kira seimbang antara yang jatuh di pinggir dan tepian jalanan.
Soal riwayat kejatuhan masker itu bisa saja mengisahkan berbagai kemungkinan. Ada yang memang sengaja dibuang karena sudah lama dipakai. Sayangnya tidak dimasukkan ke keranjang sampah.
Ada yang terjatuh tanpa disadari oleh si pemilik. Mungkin bawa dua buah, yang satu dipakai dan satu lagi diselipkan di kantong celana, tetapi tidak terlalu masuk ke dalam. Bisa jadi karena suatu gerakan refleks atau entah karena apa di luar faktor kesengajaan. Lalu terjatuh begitu saja saat mengendarai motor.
Terlalu sederhana untuk ditulis memang. Tidak ada istimewanya menyoroti benda bernama masker yang terjatuh di jalanan. Lagian kasusnya hanya terjadi di titik-titik yang berpencar jauh.
Tidak dalam jumlah besar, apalagi berton-ton. Kalau jumlahnya ton-tonan, nilai beritanya tentu lain. Terlebih jika diiringi mobil boks yang terguling dengan pintu boks terbuka lebar. Dan, sekian ton masker itu memburai dari dalamnya.
Lalu sopirnya terluka parah. Ada tergeletak motor yang bodinya ringsek. Tak jauh dari situ, tampak seorang ibu muda dan anak batitanya pingsan bersimbah darah. Wah, jadi berimajinasi yang bukan-bukan.
Meski demikian, substansi keberadaan masker tak bisa dipandang sebelah mata dalam kehidupan kita. Terutama di masa pandemi Covid-19 dewasa ini. Ia merupakan salah satu alat pelindung diri.
Benda ini merupakan salah satu aktor yang diprediksi akan memainkan peran yang panjang dalam episode The New Normal dalam kehidupan bangsa manusia. Manusia Indonesia tidak terkecuali.
Posisi peran masker menjadi salah satu yang sentral. Ia bersama sabun cair atau hand sanitizer turut mengomandoi gerakan jaga jarak secara fisik. Ia akan masih menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita dalam episode The New Normal.
Karena itu, sikap kita menjaga masker yang telah digunakan menjadi wilayah yang urgen untuk mendapatkan pencermatan. Dengan demikian, kita tidak akan membuang secara sembarangan masker (sekali pakai) setelah habis masa pakainya.
Dengan demikian pula, kita akan menjaga dengan sebaik-baik masker kain (yang bisa digunakan lagi setelah dicuci dan diganti tiap empat jam sekali) hingga tidak mudah hilang.
Kembali ke kisah tentang masker yang jatuh di jalanan tadi. Harus diakui memang, sampah berupa masker bekas pakai–atau masker baru yang terjatuh tanpa sepengetahuan pemiliknya (atau meski pemiliknya tahu tapi malas mengambilnya karena harganya relatif murah, Rp5.000 pun sudah dapat)–tidak lebih dari nol koma nol nol sekian persen dari total sampah yang berada di jalanan.
Akan tetapi, keberadaan sampah masker serta jenis-jenis lain, seperti cup atau botol bekas air mineral, kaleng minuman, dan kemasan produk kudapan pabrikan, menjadi isyarat nyata betapa upaya masyarakat melakukan “taharah lingkungan” agaknya belum menemukan bentuk realisasi maksimal.
Taharah lingkungan agaknya memang masih perlu mendapatkan sentuhan realisasi maksimal di negeri ini. Polusi masker bekas, bisa jadi akan melebar pada efek-efek kemungkinan yang turut menyumbangkan risiko-risiko yang menyentuh aspek kesehatan.
Saya enggan membayangkan jika masker yang tergeletak di pinggir atau tepian jalanan itu kemudian dibuat mainan oleh anak-anak kecil yang belum memiliki nalar tentang kesehatan yang memadai.
Lalu anak kecil itu kemudian mengenakan masker bekas yang ditemukan di jalanan itu. Padahal, bisa saja masker itu baru saja dipakai oleh orang tanpa gejala (OTG).
Lebih parah lagi, baru saja terjatuh belum sampai dua menitan, dan baru saja dipakai orang dalam pemantauan (ODP). Atau bahkan baru saja dikenakan oleh pasien dalam pemantauan. Dan puncaknya baru saja digunakan oleh orang yang positif terpapar Covid-19.
Saya yakin, kemungkinan ini bukan mustahil bisa terjadi. Karena itu, saya mengimbau kepada mas-mas, mbak-mbak, bapak-bapak, ibu-ibu, dan nuwun sewu juga kepada mbah-mbah kakung putri, mbok yao tidak membuang masker habis pakai di sembarang tempat. Apalagi di jalanan. Tempat kemungkinan banyak orang berlalu-lalang. Termasuk anak-anak.
Atau kalau mau membuangnya, lakukan dengan prosedur yang aman sebagaimana anjuran pemerintah. Bakarlah masker bekas pakai itu. Atau guntinglah hingga beberapa bagian. Dan, masukkan ke keranjang sampah sesuai dengan jenisnya.
Jikapun masker itu masih mau dipakai lagi, sebaiknya langsung dicuci dengan deterjen. Tidak digeletakkan begitu saja di tempat yang anak-anak kecil mudah mengaksesnya. Kalau yang ini, tentu bukan masker kain yang terjatuh di jalanan. Melainkan, yang ada di rumah kita masing-masing.
Pastilah kita tidak akan mengambil risiko kesehatan yang luar biasa negatifnya dengan njumputi masker-masker kain di jalanan. Lalu mencuci bersih dan kemudian mengenakannya. Hiii… nehi, nehi….
Hanya ada tiga kemungkinan orang dewasa yang tega menzalimi diri sendiri seperti itu. Orang yang super duper bakhil bin medit (bahkan dengan dirinya sendiri). Dan, tunawisma yang kesehatan mentalnya terganggu.
Serta satu lagi. Semoga saja ini tidak ada. Yaitu orang yang gemar ngopeni barang-barang bekas, termasuk masker bekas. Lalu mencucinya bersih-bersih. Memberi kemasan yang bagus. Lalu menjualnya.
BACA JUGA Memperbesar Peluang Masuk Surga dengan Menganut Lebih dari Satu Agama dan tulisan Mohamad Jokomono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.