Apa Iya Lulusan Farmasi Cuma Bisa Baca Resep dan Jaga Apotek?

lulusan farmasi

lulusan farmasi

Mudik ke kampung halaman selalu menghadirkan cerita—entah itu hal yang menyenangkan, menyebalkan, manis maupun pahit—yang selalu bisa mewarnai kegiatan mudik tiap orang. Seperti saya contohnya—sebagai lulusan Farmasi dan menyandang gelar apoteker. Sebagian orang di kampung halaman saya selalu menganggap apoteker itu cuma bisa baca resep dan jaga apotek. Haduh, pernyataan apoteker cuma bisa baca resep dan jaga apotek itu jelas salah—buktinya saya nggak bisa keduanya. hahaha

Bukannya mau memungkiri bahwa selama kuliah dulu tidak pernah diajari baca resep dan praktek di apotek. Tapi kan ada apoteker yang bidang minat dan kerjanya di bidang industri—yang sehari-harinya terbiasa dengan proses manufacturing, quality assurance, dan quality control. Kami ini bekerja di bagian yang tidak terbiasa dengan merk obat di pasaran dan goresan tangan dokter dalam sebuah resep.

Bagi teman sejawat pasti sudah familiar dengan PP No.51 tahun 2009, yang mana pada Bab I Pasal 1 menerangkan bahwa:

…. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.

Memang sih kita dituntut untuk menguasai semua hal itu—tapi kan ya nggak gitu juga. Lah wong bapak ibu dosen saja cukup menjadi ahli dalam salah satu bidang. Bapak ibu guru pun cukup menguasai salah satu mata pelajaran saja. Masa muridnya dituntut menguasai semuanya.

Sebagai apoteker industri, seringkali waktu pulang ke rumah ditanya kerabat atau tetangga seputar obat-obatan.

“Mas, kalau kulit gatal seperti ini dikasih obat apa ya?”

“Mas, obat buat batuk yang manjur apa ya? Aku sudah 2 minggu ini batuk, ganti-ganti obat tapi tak kunjung sembuh.”

Simpel bukan? Tapi pertanyaan tentang obat-obatan umum saja kadang bisa bikin saya bingung. Padahal itu masih penyakit umum—orang tanpa sekolah saja sudah bisa tahu apa obatnya dari iklan di TV dan internet.

Bukannya saya nggak tahu, tapi terkadang stigma apoteker yang dianggap ahli obat cukup membebani. Apa jadinya nanti jikalau sudah saya sarankan, eh ternyata obat saran saya nggak berjodoh dengan mereka. Kalau kata warkop DKI mah, gengsi dong!

Belum lagi soal pengetahuan apoteker yang kadang terlalu dalam, yang mana kita sama-sama tahu bahwa obat itu racun, punya efek samping ini dan itu. Jadi sebisa mungkin jangan minum obat, kecuali terpaksa. Apa jadinya kalau kerabat kita tadi yang ingin dapat pencerahan tentang obat saya tolak mentah-mentah. “Nggak usah diobati—itu sakit ringan. Nanti bisa sembuh sendiri kok.”

Hmmm, lalu apa gunanya saya susah-susah sekolah Farmasi. Apa jadinya kalau semua apoteker di apotek berlaku demikian?—jelas nggak laku obatnya.

Ibaratnya kamu mau beli nasi goreng, terus penjualnya bilang, “nggak usah makan dek—toh nanti juga lapar lagi”. Hmmmm, sampeyan iku niat nggak sih?

Itu baru sedikit contoh tentang pilihan obat tanpa resep dokter. Lebih susah lagi kalau ada yang minta tolong baca resep. Waduh, mendadak saya buta aksara. Nah, kalau sudah begini biasanya ngeles. “Saya apoteker industri. Sudah lama tidak praktek di pelayanan—jadi wajar kalau lupa.”

Oke, bisa dipahami. Toh orang bisa karena terbiasa.

Menyerah baca resep di awal dengan resiko menanggung sedikit malu, mungkin lebih baik daripada memaksakan diri membacanya dengan terbata-bata. Akan sangat bahaya kalau sampai salah obat. Apalagi kalau di resep tersebut ada obat LASA. Haduh, makanan apa lagi itu? Kok kayaknya bukan termasuk kue lebaran.

LASA itu singkatan dari Look Alike Sound Alike. Bahasa sederhananya—tulisan namanya mirip, pelafalan namanya juga mirip. Contohnya begini—Allopurinol dan Haloperidol, yang satu obat untuk asam urat, sedangkan satunya obat antipsikotik. Asam tranexamat dan Asam mefenamat, yang satu obat untuk menghentikan perdarahan, satunya untuk antinyeri. Metoklopramid dan Metronidazol, yang satu obat untuk mual muntah, satunya antibiotik gram negatif. Dan silakan diingat-ingat sendiri yang lainnya.

Kok saya ingat ya obat-obat itu? Tak lain dan tak bukan karena saya pernah keliru menginformasikan obat-obatan LASA ketika kuliah praktek di pelayanan. Butuh sholat hajat berhari-hari untuk mendoakan semoga pasien tersebut tidak apa-apa. Lalu apa karena alasan ini saya memilih bekerja di industri? Tidak begitu, Ferguso. Justru kalau ada kesempatan bekerja di pelayanan saya akan memilihnya—untuk menebus kesalahan dan untuk melayani pasien dengan lebih baik lagi.

Nah, dilema saya sebagai apoteker industri lainnya adalah sering dianggap bergaji besar oleh teman sejawat lain. Alhasil kalau ada acara kumpul-kumpul apoteker, yang dari industrilah yang diminta iuran paling banyak—ya minimal traktir lah. Kenyataan terkadang memang tak seindah harapan.

Kalau teman sejawat sih enak, sudah paham kalau apoteker memang bisa bekerja di industri—sedangkan kalau masyarakat awam belum tentu. Saya pernah mengobrol dengan orang asing—eh pribumi—yang sama-sama mengantri di kelurahan. “Apoteker kok kerjanya di pabrik?” Daripada berdebat panjang, mending saya senyumin saja. Memang senyuman adalah lengkungan yang dapat meluruskan banyak hal. hehehe

Saya kok merasa bahwa mahasiswa jurusan Farmasi sejak awal sudah dituntut menjadi orang yang serba bisa. Mari nostalgia mengingat mantan—eh, mengingat pelajaran apa saja yang diajarkan. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari? Bisa sih, tapi mending pake kalkulator saja deh.

Ilmu tentang penyakit ada farmakologi, toksikologi, patologi, patofisiologi, anatomi, histologi, dan lain-lain.

Ilmu tentang tumbuh-tumbuhan ada botani, farmakognosi, mikrobiologi, biofarmasi, fitofarmasi, dan lain-lain.

Ilmu tentang kimia ada kimia organik, biokimia, fitokimia, kimia analisis, kimia sintesis, dan lain-lain.

Ilmu tentang nasib obat dalam tubuh ada farmakokinetika, farmakodinamika, farmakoterapi, dan lain-lain. Tuh kan nasib obat aja diperhatikan, apalagi nasibmu. eheemm~

Ilmu tentang pelayanan ada preskripsi, farmasi masyarakat, KIE, spesialite obat, dan lain-lain. Sampai perilaku manusia pun kita pelajari.

Ilmu tentang industri ada farmasetika, manajemen produksi, manajemen mutu, teknologi kefarmasian, dan lain-lain.

Banyak ya ilmu yang dipelajari. Dan lain-lainnya itu masih banyak loh—cuma rasanya akan terlalu panjang kalau diketik semua. Dengan banyaknya ilmu yang dipelajari, membuat saya dan teman-teman sejawat jadi multitalent—dengan predikat yang melekat bahwa apoteker mesti bisa ini bisa itu.

Biarpun bekerja di industri, kudu bisa kalau ditanya tentang klinis. Biarpun bekerja di Rumah Sakit, kudu bisa kalau ditanya tentang cara pembuatan obat. Biarpun bekerja di pemerintahan, di distributor, wirausaha, atau ibu rumah tangga sekalipun, tetap kudu bisa kalau ditanya tentang obat.

Lah wong sudah pernah khatam kitab semacam farmakope, cara pembuatan obat yang baik, martindale, merck index, vogel, shargel, dan ratusan jurnal yang lain. Kurang apa lagi coba?

Tapi, jangan-jangan saking banyaknya yang harus dikuasai, kita malah menjadi master of none—itu loh yang ketika seseorang bisa melakukan banyak hal tapi kualitasnya serba nanggung, ketika seseorang bisa melakukan hal apa saja tapi tidak ada yang betul-betul jadi ahli.

Nggak apa-apa sih. Toh suatu saat nanti kita otomatis akan jadi ahli—tinggal pilih ahli surga atau ahli neraka?

Exit mobile version