Belakangan ini dunia maya kembali diramaikan dengan adanya challenge baru yang bernama Mugshot Challenge. Ini merupakan tantangan seni ber-make up dengan tampilan seolah mereka seorang tahanan dengan bentuk wajah yang babak belur seperti orang yang baru saja mengalami tindak kekerasaan. Mata dihitam-hitamkan, pipi seolah memar, dan juga tak sedikit yang menggunakan efek darah di wajahnya. Saya yakin kalau mereka yang ikutan challenge ini pada masuk TV nasional pasti sudah disensor habis-habisan sama KPI.
Sebenarnya adegan seperti ini mungkin sudah tak asing lagi kita saksikan di berbagai film kriminal. Di mana biasanya para penjahat yang menjadi tahanan itu berpose setengah badan di depan kamera sebelum dimasukan di penjara. Mungkin nih ya, kalau para tahanan itu bisa memilih, tentu mereka bakal menolak difoto dengan muka babak belur seperti habis dipukuli orang satu kampung kayak gitu. Pada dasarnya semua orang itu nggak suka diabadikan fotonya saat dalam keadaan jelek, sakit, atau terpuruk.
Meski niat awalnya mungkin Mugshot Challenge ini hanya sekadar untuk hiburan atau meningkatkan skill dalam seni ber-make up, tapi tak dimungkiri bahwa tantangan ini cukup meng-trigger sebagian orang. Bukan hanya para korban kekerasan saja yang mungkin tersinggung, ternyata sebagian polisi di luar negeri juga ikutan tersinggung dengan adanya Mugshot Challenge semacam ini. Seolah mereka tengah menyindir tindakan para polisi dengan tampilan tahanan yang babak belur.
Bagi orang yang hidupnya normal dan tak pernah mengalami tindak kekerasan tentu bakal bilang bahwa orang yang kontra dengan Mugshot Challenge tuh terlalu baper. Seolah mereka itu membatasi kreativitas orang lain dalam mengekpresikan bakatnya. Pasalnya, bagi orang yang pro, mereka menganggap bahwa ini merupakan hiburan semata untuk mengisi masa karantina yang begitu menjenuhkan.
“Yaelah, gitu aja baper, apa-apa nggak boleh. Masa iya kita nggak boleh melakukan hiburan kayak gini karena ada orang di luar sana yang mengalami kekerasaan? Jadi kita juga nggak boleh posting makanan dong, karena di luar sana banyak orang yang kelaparan?” tutur netizen budiman.
Gimana ya, menurut saya ini dua hal yang berbeda. Kita harus bisa membedakan mana itu kekerasaan dan mana sesuatu yang sifatnya hak individu. Kita memang bebas mengunakan media sosial kita untuk menyalurkan bakat ataupun hobi kita, tapi kita juga harus ingat bahwa setiap tindakan kita itu hendaknya jangan sampai merugikan orang lain. Kalau orang mau pamer kekayaan, sedangkan itu kekayaan dia sendiri dan tidak mengambil uang orang lain, yah nggak masalah. Namun, kalau menggunakan luka akibat tindak kekerasaan sebagai sebuah lelucon kayaknya nggak etis juga, sih.
Kalau memang pekerjaannya di bidang make up, dan ia menggunakan skill-nya dalam hal itu sih, nggak masalah, ya. Pasalnya, sebagian adegan film memang butuh seorang tukang make up yang bisa membuat wajah orang benar-benar terlihat terluka sehingga meyakinkan penonton. Namun, kalau orang yang nggak konsen di bidang make up dan tiba-tiba latah pengin ikutan challenge ini, memang faedahnya apa, sih?
Saya rasa, korban tindak kekerasan pun sebisa mungkin menutupi luka pada wajah mereka agar tidak terlihat oleh orang lain. Tidak sedikit dari mereka yang menggunakan make up untuk menyamarkan bekas lukanya. Saya sendiri punya beberapa teman yang mengalami tindak kekerasan. Tiap kali dia terluka, dia bakalan menunduk malu karena tak mau menarik perhatian orang akibat bekas lukanya itu. Bagi orang yang tak mengalami sendiri mungkin suka meremehkan hal seperti ini ya, tapi bagi mereka yang menjadi korban tentu sangat sensitif sekali saat melihat hal seperti ini malah dijadikan bahan guyonan.
Sejujurnya saya masih nggak paham apa faedah dari Mugshot Challenge ini? Kelihatan cantik atau gantengnya nggak, eh malah bikin ngeri orang yang lihat. Daripada kayak gitu mbok ya bikin challenge make up biar wajah tambah cantik atau ganteng gitu, kek. Masa wajah udah jelek masih juga ikutan challenge kayak gini juga. Ini mah kayak lautan ditaburin garam~
BACA JUGA Tidak Ada yang Salah dengan Bersembunyi di Balik Dempul Makeup dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.