Akhir-akhir ini sedang viral video kasus perpeloncoan di salah satu kampus Indonesia. Terlihat para mahasiswa baru yang berjalan sambil jongkok menaiki tangga dengan diringi teriakan para senior wanita. Tentu saja seorang wanita cantik yang diberi fitrah kelemah-lembutan bisa berubah 180 derajat, seperti preman yang sedang memalak saat melakukan perploncoan.
Bagi netijen negara berflower tentunya akan lebih mudah memberi sanksi kepada para pelaku. Yakni cukup dengan memviralkannya, bukan?
Apalagi di video itu juga terlihat adegan berbagi minuman yang sudah di minum, lalu di masukkan kembali ke dalam gelas yang digiring ke para mahasiswa baru.
Maksudnya apa coba? Memangnya bekas minuman itu mau dijadikan penelitian oleh para senior, tentang jumlah kuman yang terkandung di dalamnya atau memang ingin memancing kemurkaan netijen?
Jika kita menyimak sejarah perpeloncoan sudah terjadi sejak zaman penjajahan. Para kolonial melakukan perpeloncoan kepada anak pribumi. Lalu anak pribumi melakukan perpeloncoan kepada sesama pribumi. Dan luar biasanya ini masih berlangsung hingga Indonesia merdeka dan memasuki revolusi industri 4.0.
Anehnya kenapa kasus perpeloncoan ini begitu lama bertahan. Padahal kalau kita menyimak sejarah hal ini adalah budaya penjajah. Jelas sekali bertentangan dengan konstitusi negara kita yang sering dibacakan setiap upaca bendera pada hari Senin.
Sebenarnya apa alasannya? Membina mental dan persahabatan katanya. Apa benar? Coba kita flashback ke masa lalu.
Saya pernah mengalami perpeloncoan sebanyak dua kali. Yang pertama ketika masuk salah satu organisasi di SMA. Video yang diviralkan oleh netijen tidak ada apa-apanya dengan kasus perpeloncoan yang pernah kualami dan mungkin juga para pembaca alami.
Perpeloncoan yang kujalani berlangsung selama dua hari. Hari pertama dilakukan pada malam hari. Lebih tepatnya tengah malam. Awalnya para senior begitu bermurah hati menyuruh kami untuk makan dan tidur lebih cepat. Namun semua berubah ketika suara para senior mengetuk kamar sambil berteriak, “bangun…bangun!”
Sejak saat itulah saya bisa merasakan bagaimana kehidupan Cinderella berubah, ketika kedatangan ibu dan saudara tirinya. Wajah para senior itu seperti Gothel sang penyihir di serial Barbie as Rapunzel. Tak ada senyum sama sekali. Marah-marah tanpa sebab sambil berteriak, “cepat…cepat!”
Saya kadang berpikir apa mereka tidak lelah terus berteriak. Wajah kami juga tentu tak lepas dari bercandaan mereka. Mengoleskan banyak pasta gigi ke muka kami. Mereka berdalih obat jerawat katanya. Menyuruh kami melakukan hal-hal aneh. Mulai dari bernyanyi, menari bahkan ada yang disuruh menyatakan cinta kepada beberapa kakak senior. Wah, itu sungguh memalukan. Dan tentu saja entah dari mana tradisi ini datang, memberi kami makanan aneh dan menggilir minuman. Dan sebenarnya mereka pun jijik melihatnya, tapi anehnya mereka tetap melakukannya.
Perpeloncoan itu berlanjut hingga di hari kedua. Dan saya melihat hal yang lebih mengerikan. Setelah melewati berbagai pos sambil merangkak dan jongkok, melewati jalanan bebatuan menanjak, saya melihat beberapa teman yang di tutup matanya oleh para senior. Mereka berdiri di tepi pantai sambil diberi sebuah pertanyaan. Dan dalam keadaan seperti itu, perut mereka ditendang hingga jatuh menghantam ombak. Itu terjadi beberapa kali. Lalu setelah itu, mereka diberikan sebuah kain yang disebut slayer.
Saat itu saya hanya ingat seorang senior berkata, “Ini untuk melatih mental kalian, dek. Biar lebih kuat. Dan lagi pula bukan hanya kalian yang mengalami ini. Kalian ini masih ‘dimanja’, kami dulu lebih mengerikan daripada ini. Dan juga kalian akan lakukan hal ini ke adik-adik kalian juga nanti.”
Lalu para senior yang lain mulai menimpali dengan berkisah kejadian perpeloncoan yang mereka alami di masa lalu. Makna kalimat mereka sama seperti yang ku dengar oleh para senior, saat mengalami perpeloncoan pada ospek masuk jurusan di perguruan tinggi.
Dari sini saya paham. Bahwa alasan mereka melakukan perpeloncoan kepada para anak baru, untuk melatih mental dan persahabatan hanyalah dalih belaka yang mereka tak sadari. Alasan sebenarnya dari perpeloncoan adalah sebuah tradisi balas dendam yang tak ingin diakui. Hal inilah yang menjadi penyebab kasus perpeloncoan masih terjadi hingga sekarang.
Psikolog Klinis, I Putu Ardika Yana, M.Psi yang juga merupakan dosen Universitas Tadulako menjelaskan, bahwa kekerasan tidak pernah membentuk perilaku. Perilaku yang harus dibentuk dengan ketegasan bukan kekerasan.
Jika memang tujuannya untuk melatih mental dan menjalin persahabatan juga keakraban, bisa dilakukan dengan cara menyenangkan, bukan?
Saya masih ingat ketika mengikuti kegiatan penerimaan anak baru di salah satu organisasi. Sama sekali tidak ada perpeloncoan. Tidak ada orang yang berteriak-teriak sambil berkata cepat, tunduk atau botak.
Sebelum kegiatan kami diberi rundown agar bisa on time dan disiplin waktu. Kami menerima materi, berdiskusi, membuat yel-yel dan bermain games untuk melatih kekompakan kami. Selama menjalani kegiatan tidak ada rasa takut apalagi tertekan. Kami menjalaninya dengan ceria. Jika ada sanksi bukan hukuman berupa mempermalukan diri atau gilir minuman. Sanksi yang diberikan lebih edukatif seperti menyanyikan lagu kebangsaan, mars organisasi atau mengumpulkan sekarung sampah.
Setelah kegiatan apa yang terjadi? Kami menjadi akrab. Kami menghormati senior kami, namun tak segan untuk mengajak berdiskusi. Program-program kami berjalan dengan baik. Dan bahkan hingga saat ini, meskipun sudah tak lagi ada di organisasi itu, kami terus menjalin komunikasi dengan adik-adik untuk menanyai kabar atau mungkin ada hal-hal yang perlu didiskusikan.
Lalu bagaimana dengan dua organisasi yang melakukan perpeloncoan sebelumnya? Tidak ada yang membekas selain adegan-adegan buruk yang terjadi saat perpeloncoan.
Teruntuk kakak-kakak senior yang masih menggaungkan perpeloncoan. Adik-adik mahasiswa baru itu ingin kuliah bukan ingin berperang, sehingga anda perlu melatih mental mereka seperti para militer. Mereka berasal dari berbagai daerah dan butuh perjuangan besar untuk bisa kuliah, maka jangan mubadzirkan uang mereka dengan membeli beragam atribut ospek yang tak dibutuhkan. Mereka dititipi pesan oleh orangtuanya untuk menjaga kesehatan, maka jangan memberi makanan dan minuman yang anda sendiri pun tak berani mencobanya. Mereka adik-adik kita yang perlu disayangi juga manusia yang perlu dihormati, maka tak perlu meneriaki dengan kata kasar dan perlakuan buruk.
Perpeloncoan yang dilakukan oleh para senior bukanlah melatih mental apalagi mempererat persahabatan, namun hanya melahirkan warisan balas dendam untuk angkatan berikutnya.
Cuma mau bilang untuk kakak seniorku yang baik, “kalau kita bisa mulai dengan mengukir kenangan indah, kenapa kita harus memulainya dengan kenangan buruk di awal pertemuan kita?”(*)
BACA JUGA Dear Maba: Jangan Jadi Temen Kelompok yang Menyebalkan atau tulisan Suci Fitrah Syari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.