Angkringan telah menjadi destinasi kuliner yang sangat digandrungi wisatawan. Di Jogja sendiri, popularitas angkringan sudah layak disandingkan gudeg dan bakpia. Nggak sah rasanya kalau berkunjung ke Jogja tapi nggak menyempatkan diri mampir ke angkringan yang terkenal dengan makanan dan minumannya yang murah itu.
Angkringan sudah seperti interior kota yang keberadaannya hampir ada di setiap sudut. Secara nggak langsung, angkringan adalah wajah dari Jogja itu sendiri.
Daftar Isi
Perkembangan zaman mengubah konsep angkringan Jogja
Seiring berkembangnya zaman, angkringan telah mengalami banyak perubahan konsep, baik perubahan dari segi tempat maupun menunya. Sekarang nggak sedikit angkringan yang berubah konsep ala-ala kafe dengan fasilitas seperti WiFi, pembayaran melalui QRIS, dan juga kursi meja tambahan. Bahkan sekarang ada juga angkringan yang menyajikan live music. Nah, apakah konsep angkringan seperti itu masih bisa disebut angkringan yang sebenarnya?
Nyatanya, banyak angkringan di zaman sekarang yang telah kehilangan identitasnya. Dalam perjalanan saya mampir di berbagai angkringan di Kota Jogja, hanya sedikit sekali angkringan yang benar-benar asli.
“Lho, memangnya ada angkringan palsu?”
Tentu saja ada. Mari kita lihat perbedaan antara angkringan asli dan palsu, baik dari segi tempat, bentuk gerobak, maupun menu makanan.
Baca halaman selanjutnya: Perbedaan dari segi tempat…
Perbedaan dari segi tempat
Pertama dari segi tempat. Angkringan asli lebih sering berpindah-pindah, dari pinggir jalan ke pinggir jalan lain. Hal itu yang membuat gerobak angkringan asli didesain sepraktis mungkin agar mempermudah mobilitas.
Desain gerobak yang praktis meliputi adanya terpal sebagai dinding dan tempat untuk memasak air menggunakan cerek yang terletak di gerobaknya. Bahkan ada yang bisa muat dua cerek sekaligus. Satu cerek untuk memasak air dan satunya untuk wedang jahe. Terkadang arang yang digunakan untuk memasak air tersebut juga bisa digunakan untuk membakar sate-satean maupun ceker. Desain gerobak seperti ini yang kemudian menjadi identitas gerobak angkringan.
Sementara itu, angkringan palsu biasanya dikonsep ala-ala kafe dengan meja dan kursi tambahan. Airnya pun dimasak terpisah dari gerobaknya, sehingga bentuk gerobak angkringan palsu ala kafe kebanyakan cenderung lebih kecil.
Nah, konsep angkringan seperti ini secara nggak langsung justru meruntuhkan makna dari “ngangkring” itu sendiri. Bagi orang Jogja dan sekitarnya, “ngangkring” adalah posisi ketika duduk dengan satu kaki diangkat ke atas. Duduknya pun di kusi panjang tanpa sandaran.
Kalau dari segi menu, angkringan Jogja yang asli biasanya menjual tempe bacem, tahu bacem, jadah, juga nasi bakar dan nasi kucing yang dibungkus daun pisang. Sementara di angkringan palsu, nasi kucing dibungkus menggunakan kertas bekas soal ujian atau fotokopi KK. Kampret banget, sudah kayak tempat sampah saja.
Lebih parahnya lagi, di angkringan palsu menu makanan tradisional semacam tempe, jadah, dan tahu bacem sudah nggak ada. Penjual justru memilih menjual tempura dan sosis dengan harga selangit.
Minuman andalan angkringan asli seperti wedang jahe, wedang teh, jahe susu, dan jahe kopi pun nggak ada harga dirinya di mata angkringan Jogja palsu. Jarang sekali angkringan palsu menyediakan minumam tersebut, entah karena malas atau sepi peminat. Angkringan palsu justru malah lebih banyak menjual minuman sachet. Nggak ada tradisionalnya sama sekali, padahal angkringan Jogja adalah simbol dari kesederhanaan dan tradisional.
Wisatawan tak paham filosofi angkringan Jogja yang sebenarnya
Banyak sekali filosofi angkringan yang kabur di zaman sekarang. Kaburnya filosofi ini salah satunya dipengaruhi oleh para kapitalis yang hanya mementingkan cuan. Mereka membungkus ketololan mereka dengan cara membuat angkringan lebih modern dan sebagainya. Padahal nilai filosofi angkringan bukan di situ. Angkringan nggak hanya sebatas bentuk gerobak maupun menu makanan dan minumannya, tapi juga tentang budaya, suasana yang dibentuk, dan interaksi antar-pengunjung.
Kesemena-menaan pengusaha angkringan kapitalis ini mengakibatkan banyak wisatawan luar Jogja yang nggak tahu angkringan yang asli itu seperti apa. Saya pernah bertanya ke satu gerombolan wisatawan dari Palembang mengenai kesan mereka ketika pertama kali ke angkringan Jogja. Mereka pun menjawab begini, “Asik. Tempatnya bagus, estetik. Penyanyinya juga suaranya bagus. Tempuranya murah!”
Tempura muatamuuu, batin saya saat itu.
Kalimat “Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan” seharusnya bisa membuat masyarakat Jogja tergerak untuk melestarikan nilai filosofi angkringan yang semestinya. Kalau perlu kalimat itu dijadikan label angkringan asli, ditempel di terpal-terpalnya. Jangan malah ditempel di angkringan Jogja yang palsu. Piye to kihhh?
Untuk melestarikan filosofi angkringan, maka antara pelanggan dan pengusaha angkringan pun harus saling bekerja sama dalam menjaga dan menyepakati norma-norma yang seharusnya ada di angkringan. Seperti norma egalitarian dan norma penekanan terhadap komunikasi tatap muka. Selain itu juga harus mempertahankan bentuk gerobak dan menu-menu yang menjadi identitas angkringan yang sebenarnya.
Penulis: Dian Anjar Nugroho
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Angkringan Memang Murah, tapi Bukan Pilihan Terbaik Buat yang Makannya Banyak Kayak Saya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.