Angkringan di Bogor saya rasa gagal meniru Jogja. Tak ada kehangatan, dan tak bisa memberi rasa yang sama
Saya tidak begitu memusingkan pendapat orang-orang yang bilang bahwa “Jogja sudah tidak seperti dulu”, atau berbagai berita negatif lain tentangnya. Bagi saya, di antara sekian banyak kota di Indonesia yang telah saya kunjungi, hanya Jogja yang selalu memanggil saya untuk kembali.
Jogja, dengan segala daya tariknya, seolah memiliki pesona magis yang membuat saya selalu merindukannya. Kalo ditanya kenapa, entahlah saya juga tidak tahu, yang pasti, di antara jalan-jalan bersejarah dan senyum pedagang kaki lima, ada keajaiban yang tak mudah dijelaskan dengan kata-kata. Setiap kali meninggalkan Jogja, hati ini selalu tertinggal di sana, menanti momen untuk kembali merasakan kehangatan dan keindahannya.
Untuk mengobati kerinduan saya pada Kota Gudeg itu, pernah pada suatu malam saya mencoba nongkrong di salah satu angkringan yang berada di Kota Bogor. Kebetulan lokasinya selalu saya lewati setiap hari saat perjalanan pulang ke rumah. Lebih tepatnya dekat Perumahan Taman Yasmin.
Angkringan dan seblak… really?
Ketika motor yang saya tunggangi mulai menepi, perasaan saya mulai tidak enak ketika membaca tulisan di spanduk “Angkringan dan Seblak Prasmanan”. Nah loh, kolaborasi macam apa ini. Menggabungkan sesuatu yang sudah khas, buat saya justru malah melemahkan keduanya.
Walaupun bukan berasal dari Jogja, kini angkringan telah menjadi simbol khas dari dari kota itu. Dengan bersantai sambil menyeruput kopi, saya berharap bisa mengulang kembali romantisasi ketenangan dan kenyamanan Kota Jogja melalui kesederhanaan dan kehangatan sebuah angkringan.
Namun, apa mau dikata, angkringan di Bogor tak ubahnya seperti warung kopi kebanyakan. Hanya konsep dan menunya saja yang serupa. Suasananya jelas berbeda. Pertama, letaknya di pinggir jalan raya yang notabene merupakan jalur cepat, jelas ini terlalu berisik untuk jadi tempat ngobrol yang asyik.
Kedua, para pengunjung ngobrol dengan teman-temannya sendiri, atau kalau datang sendiri sibuk dengan gadget-nya. Tidak ada interaksi antarpengunjung. Yah mirip-mirip angkringan di Malioboro, yang pengunjungnya kebanyakan emang wisatawan yang menjadikan angkringan sebatas tempat kulineran.
Ketiga, menurut saya lampunya terlalu terang untuk sebuah angkringan. Biasanya angkringan dibuat agak remang-remang. Ini penting agar cahaya fokusnya ke makanan bukan ke orang. Sorot cahaya yang berfokus pada makanan menjadikan seseorang tidak terlihat terlalu jelas. Itu adalah bagian dari filosofi dari angkringan bahwa tidak ada stratifikasi sosial dalam angkringan.
Baca halaman selanjutnya