Banyak yang mengira bahwa menjadi anak kelas akselerasi akan mengalami cerita-cerita prestisius dan elite. Padahal belum tentu, selayaknya slogan salah satu merek keripik kentang, kehidupan kami ya sejalan dengan kalimat “life is never flat”. Sebagai alumni kelas akselerasi, kehidupan sekolah saya bisa dibilang bergelombang seperti bentuk keripik kentang itu. Banyak kejadian yang kurang mengenakan dan unik yang saya alami sebagai alumni.
Saya menjalani program percepatan ketika berada di bangku sekolah dasar. Kebetulan, saat mengikuti tes masuk saya lolos dan bisa merasakan kelas akselerasi. Setelah saya masuk, pun menjalani hari-hari sebagai anak kelas akselerasi ternyata melelahkan. Saya harus menerima pelajaran yang telah dipadatkan agar mampu mengejar kelas satu tingkat di atas.
Program tersebut dimulai di kelas 2 sekolah dasar. Saya dan teman-teman akselerasi harus menjalani satu semester selama empat bulan dari kelas 2 sampai kelas 4. Jadi, saya bersekolah di kelas 2 sampai 4 memakan waktu hanya 2 tahun. Sedangkan, di kelas 1,5, dan 6 normal satu semester 6 bulan atau totalnya 3 tahun. So, saya menjalani sekolah dasar selama lima tahun, seperti masa bakti presiden di Indonesia lah, tentu kalau belum ganti kebijakannya.
Selain harus ketat menjalani sekolah. Banyak pengalaman ganjil yang harus saya lalui, terlebih lagi sesudah saya lulus dari bangku sekolah dasar. Kejadian yang tidak menyenangkan pertama, ada kaitannya dengan umur saya yang lebih muda di lingkup pertemanan. Salah kalau ada orang yang bilang jadi anak termuda di kelas itu membanggakan. Soalnya, umur saya yang lebih muda malah membuat saya sering disepelekan.
Mulai di bangku sekolah dasar, saya dipanggil “dek” oleh anak reguler, padahal secara teknis kami sudah sama-sama kelas 6 SD. Berlanjut sewaktu SMP, sering kali ketika saya ingin nimbrung obrolan salah satu teman yang mengetahui umur saya yang muda berkata, “Wis ono bayi, bubar-bubar.” Saya sempat bersyukur karena di sekolah menengah atas tidak mengalami kejadian seperti saat SD dan SMP.
Ndilalah di perkuliahan, saat saya pikir akan bisa bergaul dengan kawan-kawan yang cerdas dan dewasa, teman baik saya malah gantian mempermasalahkan umur saya. Dia selalu mengorelasikan umur saya dengan sifat keras kepala saya. Apa-apa dibilang, “Maklum koe kan iseh enom.” (Maklum, kamu kan masih muda.)
Kalau boleh bertanya, apa perbedaan yang kentara dari seseorang yang lebih muda, tapi menempuh level pendidikan yang sama? Kan nggak seberapa besar to. Perbedaannya paling cuma saya harus kena tilang lebih lama satu tahun dari pada kalian pas ada razia SIM. Malah menurut saya kedewasaan orang-orang yang mempermasalahkan umur itulah yang perlu dipertanyakan.
Ganjalan kedua adalah lulusan kelas akselerasi harus menanggung anggapan bahwa pintar di segala bidang. Ini nggak salah karena memang masuk akselerasi itu ada syaratnya dan salah satu pertimbangan IQ-nya harus di angka tertentu. Tapi, mau dikata apa? Saya memang ambyar dari dulu di pelajaran matematika sejak SD.
Lagi-lagi kejadiannya ketika saya di sekolah menengah pertama. Waktu itu saat pelajaran matematika, ada seorang guru yang menyuruh saya mengerjakan soal matematika di papan tulis. Nah, saya yang memang sedari dulu bosok nilai matematikanya tentu saja nggak bisa mengerjakan soal itu. Beliau kemudian mengatakan, “Cah akselerasi kok raiso.” (Anak akselerasi kok nggak bisa.)
Sebetulnya kalau urusan nggak bisa matematika nggak usah dibantu perjelas. Lha saya sendiri sudah menyadari bahwa matematika itu musuh alami saya. Ujian nasional saat SD saja matematika hanya dapat 6 di saat nilai Bahasa Indonesia dan Ilmu Pengetahuan Alam saya bisa dapat 9.
Masalah ketiga adalah soal percintaan. Menjalani sekolah yang lebih cepat satu tahun membuat saya ketika lulus mendapatkan lingkaran pertemanan yang setahun di atas juga. Rata-rata teman saya berumur satu tahun sampai dua tahun lebih tua. Hal itu menyebabkan ketika saya menyukai teman perempuan bisa dipastikan dia lebih tua.
Jangan disalahartikan dengan saya yang menjadi merasa keberatan dengan itu. Nggak kok, saya tidak ada masalah dengan umur pasangan yang lebih tua dari saya. Bagi saya kedewasaan itu juga dipengaruhi oleh cara berpikir seseorang bukan dari umurnya saja.
Nah, pada bagian percintaan ini banyak kisah lucu daripada cerita melasnya. Barangkali karena faktor keadaan, saya hampir nggak punya mantan yang berumur lebih muda dari saya. Semua lebih tua satu sampai dua tahun. Pacaran sama teman satu kelas saat SMP? Lebih tua, CLBK dengan teman SD saat di SMA? Lebih tua. Bahkan, ketika saya pacaran dengan adik kelas, saat duduk di bangku SMA yang pada waktu itu saya kelas satu SMA dan dia kelas 3 SMP, malah lebih tua dia beberapa bulan dari saya. Hayo gimana?
Lalu, bagaimana anggapan bahwa menjadi anak kelas akselerasi itu selalu prestisius? Bagi saya itu kembali ke diri masing-masing. Memang banyak teman-teman saya yang masih mlethek otaknya sampai saat ini dan barangkali ceritanya lebih masyhur ketika diceritakan. Tapi, ada kalanya anak-anak alumni kelas percepatan macam saya mendapatkan pengalaman yang nano-nano. Nggak semuanya keren-keren, ada yang malesin, ada juga yang lucu.
BACA JUGA Buat Apa Sekolah Jika Hanya Jadi Penurut? atau tulisan Rezza Atthoriq lainnya.