Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Gaya Hidup

Andai Budaya Menulis Seperti Budaya Komentar

Daniel Osckardo oleh Daniel Osckardo
25 April 2023
A A
menulis

Menulis artikel (Pixabay.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Andai saja orang-orang memilih menulis artikel ketimbang berdebat komentar di media sosial…

Indonesia menjadi negara dengan salah satu pengguna media sosial terbanyak dan pengguna paling aktif di dunia. Menurut We Are Social (2023), pengguna media sosial di Indonesia menyentuh angka 167 juta atau 60,4 persen dari populasi pengguna internet Indonesia. Orang Indonesia rata-rata menggunakan internet 7 jam 42 menit setiap hari, dan menggunakan media sosial selama rata-rata 3 jam 18 menit setiap hari, di atas rata-rata global 2,45 jam per hari.

Aktifnya masyarakat Indonesia di media sosial melahirkan animo budaya berkomentar. Di berbagai topik pembicaraan, dengan segala macam bentuk bahasa, komentar-komentar membanjiri jagat maya. Komentar-komentar dalam bentuk postingan atau nimbrung di kolom komentar berupa kritik sosial, gugatan terhadap tradisi, dan sebagainya. Tapi budaya komentar belum tentu berkorelasi dengan kekritisan.

Maklum saja, menurut Microsoft, Indonesia pernah mendapatkan predikat sebagai pengguna media sosial paling tidak sopan se-Asia Tenggara, nomor 29 dari 32 negara. Tapi, kita tidak akan membahas ini terlalu panjang. Kita akan membahas hal yang berkaitan dengan kekritisan: ketersediaan literatur dan minat menulis masyarakat Indonesia.

Buku yang terlihat kerdil

Terakhir kali saya periksa, ketersediaan buku di Indonesia itu hanya 1 buku untuk 93 orang berdasarkan pemaparan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jauh dari standar UNESCO, satu orang minimal tiga buku.

Total buku tersedia hanya 22,318 juta eksemplar dengan penduduk 270, 27 juta penduduk. Rasio nasional buku terhadap penduduk sebesar 0,09 buku. Jumlah terbitan sejak 2015-2020 hanya sebanyak 404.037 judul buku (rasio 1: 514 penduduk).

Di sisi yang lain, produksi artikel di media cukup tinggi. Mengacu kepada big data situs Evello.id, ada 22.708 artikel yang ditulis di Kompasiana dalam rentang 1 Januari-6 Maret 2020. Tapi, jika dibandingkan dengan pengguna media sosial, rasionya adalah hanya ada satu tulisan dari 7.354 pengguna media sosial. Jika menghitung secara keseluruhan mungkin hasilnya sedikit lebih baik. Tapi, perlu diingat juga, dari banyak artikel itu, berapa orang yang benar-benar menulis?

10 juta cuitan per hari

Sekarang mari kita bandingkan dengan budaya komentar. Pada 2017 lalu, ada 10 juta cuitan Twitter per hari, dan itu hanya di Jakarta saja. Itu baru data satu platform dari satu kota, bayangkan seperti apa jumlahnya jika data semua platform digabung. Jelas akan membuat jumlah tulisan di Indonesia terlihat amat kerdil.

Baca Juga:

Iseng Ikut Kelas Menulis Terminal Mojok, TernyataLebih Berbobot daripada Mata Kuliah di Kampus

4 Jasa yang Tidak Saya Sangka Dijual di Medsos X, dari Titip Menfess sampai Jasa Spam Tagih Utang

Jujur saja, itu amat disayangkan. Membuat postingan di media sosial dengan membuat artikel itu adalah sama-sama kegiatan menyusun argumen. Tapi artikel masih jauh tertinggal dalam hal jumlah. Pertanyaannya adalah, kenapa?

Dibandingkan dengan budaya komentar di media sosial, 2017 lalu data kasarnya pengguna media sosial di Indonesia di Twitter, kota Jakarta saja bisa menghasilkan 10 juta cuitan setiap hari. Belum secara keseluruhan dan platform lainnya. Bisa disimpulkan, saya cukup yakin masyarakat kita dalam menulis tidak seproduktif budaya berkomentar.

Sungguh sangat disayangkan. Padahal keduanya sama-sama kegiatan menyusun argumen lalu mengaplikasikan ke dalam bentuk rangkaian kalimat. Andaikan minat komentar ini adalah minat menulis. Izinkan saya menganalisis sedikit lebih jauh.

Kecenderungan kepada yang instan

Belakangan populer tren “opini yang tidak populer” tentang banyak hal di Twitter. Dengan mudah ditemukan tweet atau pun komentar pro dan kontra. Lengkap dengan argumen-argumen yang—sekilas—terlihat sangat tajam, menohok, ber-nas.

Kita ambil satu contoh. Beberapa hari yang lalu ada sebuah media jurnalisme yang menggunakan bahasa populer (tidak baku) dalam cuitan nya di Twitter. Kemudian salah satu akun dengan “kutip tweet” mengajukan opininya yang keberatan dengan penggunaan bahasa yang tidak baku itu.

Di kolom komentar ada bermacam-macam bentuk komentar. Yang kontra misalnya mengatakan penggunaan bahasa populer sebagai sesuatu yang wajar, generasi boomer yang kolot, di mana kebetulan yang punya tweet memang sudah dewasa. Bagi yang pro juga dengan argumennya sendiri.

Coba bayangkan pengguna sosial yang berjumlah 167 juta orang itu merespons suatu persoalan dengan tulisan, satu artikel lengkap untuk menyatakan keberatannya atau sebaliknya. Pengguna yang terlihat sangat bernas mau berpindah ke kegiatan yang berbeda, menulis. Bukan saja kita kebanjiran literatur, tapi fenomena perang pemikiran melalui tulisan serupa Al-Ghazali vs Ibnu Rusyd, atau tokoh-tokoh bangsa tempo dulu akan berkobar. Ini akan menjadi keuntungan untuk budaya kritis bangsa.

Kita tidak bisa mungkiri ini: tentu saja membuat postingan di sosial media lebih mudah ketimbang menulis. Tapi masalahnya adalah, menulis juga tidak memberikan kepuasan yang cukup untuk masyarakat yang haus atensi (dan ini berhubungan dengan masalah lain di dunia literasi).

Padahal, kalau dipikir-pikir menulis juga kegiatan yang menyenangkan. Bisa berargumen dengan lebih padu, menggunakan bahasa yang nyelekit, terlihat lebih meyakinkan. Tapi prosesnya tidak instan, meski ya, menulis tentu saja menghindarkanmu dari terlalu percaya diri membalas twit dengan argumen yang jelek saja belum.

Utopis

Berharap budaya menulis meningkat seperti budaya berkomentar itu hampir nggak mungkin. Tapi andai saja jika beberapa ratus ribu dari pengguna media sosial tertarik untuk memulai membuat artikel pertamanya. Menyelesaikan masalah rendahnya literasi, dimulai dengan memperbanyak jenis bacaan yang tersedia. Dan itu semua bisa diselesaikan, salah satunya dengan makin banyak orang yang menulis.

Setidaknya sih, jika orang-orang mulai hijrah ke menulis, tak lagi berkomentar, blunder aneh di media sosial makin berkurang. Lak yo bagus kan itu?

Penulis: Daniel Osckardo
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mengapa Kebanyakan Mahasiswa Nggak Bisa Menulis Ilmiah?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya

Terakhir diperbarui pada 25 April 2023 oleh

Tags: BerkomentarBukuMedia Sosialmenulis
Daniel Osckardo

Daniel Osckardo

Mahasiswa hukum tata negara di UIN Imam Bonjol Padang. Pencinta filsafat, sastra, dan kopi.

ArtikelTerkait

bahaya berbagi password media sosial dengan pacar Macam-Macam Password Akun Media Sosial Orang Indonesia

4 Bahaya Bertukar Akun Media Sosial dengan Pasangan

26 Juli 2020
Song Joong Ki Umumkan Pernikahan, Netizen Mending Nggak Usah Ikut Campur deh Terminal Mojok

Song Joong Ki Umumkan Pernikahan, Netizen Mending Nggak Usah Ikut Campur deh

1 Februari 2023
rich brian

Kerja Sama Antara Gojek dengan Rich Brian dan Reaksi Para Warga Twitter

12 Agustus 2019
story medsos

Sebulan Tak Melihat Story Medsos: Ini yang Kurasakan!

26 Agustus 2019
Enggak Apa-apa kalau Ketinggalan Pencapaian, Wong Nggak Lagi Balapan terminal mojok.co

Nggak Apa-apa kalau Ketinggalan Pencapaian, Wong Nggak Lagi Balapan

28 Agustus 2020
Julukan TikTok sebagai "Kandang Monyet" Sama Sekali Tak Berlebihan, Saya Kena Mental Melihat Konten-kontennya

Julukan TikTok sebagai “Kandang Monyet” Sama Sekali Tak Berlebihan, Saya Kena Mental Melihat Konten-kontennya

24 Agustus 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bali, Surga Liburan yang Nggak Ideal bagi Sebagian Orang

Pengalaman Motoran Banyuwangi-Bali: Melatih Kesabaran dan Mental Melintasi Jalur yang Tiada Ujung  

19 Desember 2025
Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

Tinggal di Kabupaten Magelang: Dekat Borobudur, tapi Tidak Pernah Merasa Hidup di Tempat Wisata

18 Desember 2025
Potensi Wisata Indramayu yang Belum Tergarap Maksimal (Wikimedia)

Potensi Wisata Indramayu yang Belum Tergarap Maksimal

21 Desember 2025
Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

22 Desember 2025
Isuzu Panther, Mobil Paling Kuat di Indonesia, Contoh Nyata Otot Kawang Tulang Vibranium

Isuzu Panther, Raja Diesel yang Masih Dicari Sampai Sekarang

19 Desember 2025
Nggak Punya QRIS, Nenek Dituduh Nggak Mau Bayar Roti (Unsplash)

Rasanya Sangat Sedih ketika Nenek Saya Dituduh Nggak Mau Bayar Roti Terkenal karena Nggak Bisa Pakai QRIS

21 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kisah Kelam Pasar Beringharjo Jogja di Masa Lalu yang Tak Banyak Orang Tahu
  • Melacak Gerak Sayap Predator Terlangka di Jawa Lewat Genggaman Ponsel
  • Regenerasi Atlet Panahan Terancam Mandek di Ajang Internasional, Legenda “3 Srikandi” Yakin Masih Ada Harapan
  • Jogja Mulai Macet, Mari Kita Mulai Menyalahkan 7 Juta Wisatawan yang Datang Berlibur padahal Dosa Ada di Tangan Pemerintah
  • 10 Perempuan Inspiratif Semarang yang Beri Kontribusi dan Dampak Nyata, Generasi ke-4 Sido Muncul hingga Penari Tradisional Tertua
  • Kolaboraya Bukan Sekadar Kenduri: Ia Pandora, Lentera, dan Pesan Krusial Warga Sipil Tanpa Ndakik-ndakik

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.