Kuliah di UIN bukan berarti bikin kamu otomatis suci lho, Gaes
Twitter, bagi saya, ibarat Pochinki. Semua berlomba turun terlebih dahulu dalam gelanggang pertempuran dan saling melempar granat satu sama lain. Bagi pelaku keributan, adrenalin mereka meningkat drastis. Bagi penonton, seperti saya, menyenangkan betul melihat orang saling melukai demi sesuatu yang artifisial.
Sebelum, identitas atau hal yang dekat dengan Anda jadi bahan tubir.
Beberapa waktu lalu, mata saya terbelalak gara-gara kabar terkait almamater kampus saya yaitu UIN Walisongo. Kabarnya, ada salah satu oknum mahasiswi UIN Walisongo yang diduga melakukan penipuan arisan. Nggak tanggung-tanggung, katanya, uang hasil penipuan mahasiswi tersebut dan pasangannya, lebih dari satu miliar. Luar biasa.
Posisi saya di sini bukan mau berkomentar banyak mengenai kasus tersebut. Apalagi mau membela terduga pelaku. Biar pihak berwenang yang menyelesaikan kasus ini. Dan semoga kasus ini cepat selesai serta berjalan sesuai dengan prosedur.
“Anak UIN kok nipu”
Yang mau saya kritisi dari kasus ini adalah komentar netizen. Setelah data diri (jurusan dan kampusnya) terduga penipu banyak tersebar di akun menfess, serangan tujuh hari tujuh malam dari netizen langsung menghantam tweet tersebut. Sangat wajar sih, mengingat ini kasus dengan nominal yang sangat besar.
Sialnya, ada beberapa komentar yang menurut saya menyebalkan. Salah satu contohnya adalah “anak UIN kok nipu? Padahal kuliah agama”. Yang digarisbawahi oleh netizen seperti ini malah alamamaternya. Bukan modus operasi penipuannya. Atau nominal nilai penipuannya yang bisa lebih dari satu miliar.
Sebenarnya, komentar semacam itu bukan cuma ada di dunia maya saja. Di dunia nyata juga terjadi yang seperti itu. Bahkan, saya sempat mendengarnya secara langsung ketika masih menjadi mahasiswa.
Misalnya ketika anak UIN demo di depan jalan raya sambil bakar ban. Komentar warga sekitar biasanya begini, “Katanya kuliah dan paham agama, kok begitu kelakuannya? Barbar sekali.” Walaupun kegiatan demo sambil bakar ban dan mengganggu ketertiban lingkungan tetap nggak bisa dibenarkan, tapi komentar seperti ini, saya rasa tetap kurang tepat.
Harus suci, tanpa noda
Berbagai komentar seperti itu seakan-akan mengkhususkan kalau sudah jadi anak UIN itu harus suci dan nggak pernah salah. Padahal, selayaknya manusia pada umumnya, semuanya pasti pernah punya salah dan dosa. Kenapa cuma anak UIN yang ketika melakukan kesalahan atau dosa, seolah-olah ada tambahan beban moral?. Cuma karena kuliah di kampus agama.
Emangnya seleksi masuk UIN itu berdasarkan sering atau tidaknya melakukan dosa? Kalau jarang melakukan dosa, bisa langsung menjadi mahasiswa UIN, gitu? Seleksi masuk UIN kan sama kayak kampus pada umumnya, seperti UGM, UI dan lain sebagainya. Yang sedikit membedakan, mungkin cuma soalnya saja.
Sama saja kek yang lain
Asal kalian tau ya, nggak setiap anak UIN itu suci. Putih seperti kain, tanpa noda sedikit pun. Justru, saya dan mungkin banyak orang lain yang masuk UIN, kuliah di sana agar dapat memperdalam ilmu agama. Melalui materi agama yang didapat dalam bangku perkuliahan.
Namun, setelah lulus dari UIN, saya sebenarnya nggak merasa menjadi orang suci atau lebih tau tentang agama. Saya malah refleksi diri. Dan merasa banyak kekurangan di bidang agama. Ada berbagai dosa masa lalu, yang mestinya nggak perlu saya lakukan atau cobain.
Mahasiswa atau alumni UIN itu ya sama kek manusia pada umumnya. Mereka masih makan nasi, masih kayak kamu, kamu, dan kamu. Perkara mereka terlihat lebih saleh, saya pikir itu nggak eksklusif untuk mahasiswa kampus Islam saja. Orang kampus lain ya boleh-boleh aja terlihat alim dan saleh.
Makanya, bagi saya pribadi, kuliah di UIN itu bukan tiba-tiba mengubah seseorang menjadi suci atau selalu berkelakuan baik. Melainkan, sebagai wadah seseorang untuk belajar di berbagai bidang keilmuan serta ditambah ilmu agama. Syukur-syukur, ilmu agamanya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Nggak perlulah kita bawa-bawa almamater sampai sebegitunya dalam menghakimi. Fokus pada yang ia lakukan saja, kampus nggak jadi tolok ukur absolut, dan mungkin nggak akan pernah bisa jadi tolok ukur yang absolut.
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Apa Bedanya UIN, IAIN, dan STAIN?