Bagi sebagian orang, bersekolah di madrasah merupakan suatu kebanggaan. Namun, sebagian orangnya lagi menganggap bersekolah di madrasah merupakan suatu kebetulan. Saat saya tanya teman-teman saya kenapa masuk madrasah, sebagian besar jawaban mereka adalah karena tidak lolos sekolah impian mereka.
Pada dasarnya, madrasah dan sekolah itu sama saja, sama-sama tempat belajar. Toh, kata “madrasah” sendiri berasal dari Bahasa Arab yang artinya “sekolah”. Hanya saja, praktik dan aturan keislaman di madrasah jauh lebih ketat dibandingkan dengan sekolah pada umumnya. Selain itu, sekolah ini juga berada di bawah naungan Kemenag, bukan Kemendikbud.
Madrasah mengharuskan muridnya berpakaian sesuai syariat agama Islam, setidaknya selama di sekolah. Karena hal inilah, siswa madrasah kerap kali dianggap sebagai orang yang alim. Tiga tahun bersekolah di madrasah, julukan “ustazah” dari teman-teman non-madrasah tidak lepas dari saya.
Kami-kami ini dituntut menjadi manusia sempurna agamanya oleh orang-orang di luar lingkungan sekolah. Padahal urusan menyempurnakan agama, kan, kalau sudah menikah wkwkwk. Ngomong kasar sedikit langsung ditegur, nggak salat tepat waktu langsung di-istighfar-in, belum lagi seringkali ditanyain perkara agama mendadak. Aduh!
Daftar Isi
Lebih banyak pelajaran agama
Di sekolah umum, pelajaran agama yang diterima hanya satu, yaitu mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) saja. Berbeda dengan sekolah umum, anak-anak madrasah dicekoki 5 mata pelajaran agama: Al-Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab.
Kelima mata pelajaran ini dipelajari bergantian dalam setiap pekannya, sama halnya dengan mata pelajaran umum. Banyaknya pelajaran agama ini menjadi salah satu sebab siswa non-madrasah menjuluki kami dengan “ustaz dan ustazah”. Kayaknya kami dikira benar-benar paham semuanya, kali, ya.
Jadi tempat konsultasi keislaman dadakan
Banyaknya pelajaran agama yang diterima juga biasanya membuat anak madrasah menjadi tempat konsultasi keislaman dadakan. Saya sering mendapat pertanyaan dadakan seputar agama dari keluarga atau teman saya. Misalnya, mereka bertanya tentang waktu yang tepat untuk membayar zakat fitrah. Saya nggak masalah dan justru senang kalau bisa jawab pertanyaannya.
Lha, kalau saya nggak bisa jawab gimana? Syukur-syukur kalau ketemu sama orang yang maklum bahwa ilmu agama saya belum sampai situ. Kalau ketemu sama yang nggak maklum, saya bisa dianggap nggak merhatiin pelajaran, dicap sebagai anak yang rebel, bahkan dianggap percuma sekolah di madrasah.
Keseimbangan urusan dunia dan akhirat
Di poin sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa anak madrasah menerima lebih banyak pelajaran agama. Meski begitu, tidak ada alasan bagi kami untuk mendapat nilai jelek di mata pelajaran umum. Keseimbangan mata pelajaran ini melatih kemampuan anak madrasah dalam menyeimbangkan urusan mereka.
Selain itu, karena berada dalam lingkungan pendidikan keislaman yang ketat, kami sangat dianjurkan untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah meski di tengah istirahat. Salat sunnah rawatib, dhuha, hingga membaca Al-Qur’an tidak lepas dari kehidupan sehari-hari kami. Setelah melakukan semua hal-hal ini, sekolah tetap menginginkan kami untuk menjuarai kompetisi sains, kompetisi seni, dan kompetisi lainnya. Yaaa kek sekolah-sekolah yang lain.
Betul. Madrasah adalah sebaik-baik tempat untuk (melatih) kehidupan dunia akhirat yang seimbang.
Ujiannya lebih banyak
Sekolah umum biasanya kalau ujian hanya ujian akhir semester saja. Madrasah pun begitu, hanya saja ditambah dengan ujian akhir madrasah atau UAM. Ujian praktikum pun sama, lima mata pelajaran tadi biasanya ada ujian sendiri. Baik itu hafalan, praktik salat, maupun bacaan Al-Qur’an.
Sebagian besar madrasah juga umumnya mewajibkan hafalan Al-Qur’an. Bahkan tidak aneh kalau siswa wajib menghafal setidaknya juz 30 sebagai syarat lulus. Di tempat saya dulu, hafalan Al-Qur’an bahkan menjadi kunci dalam pembagian kelas. Saya sendiri pernah tidak kebagian kelas karena belum selesai setoran hafalan.
Kesimpulannya, anak madrasah ini sama seperti siswa biasa, hanya saja praktik keislaman selama sekolah lebih banyak. Kalau ilmu agamanya–syukur-syukur–cukup dalam, itu karena hasil cekokan selama sekolah. Saya tahu ucapan adalah doa dan saya berterima kasih atas hal itu. Tapi tolonglah, julukan ustaz, ustazah, atau sebutan orang-orang alim lainnya terlalu berat untuk kami emban. Jadi, panggil kami dengan nama saja, jangan ada embel-embel lainnya, ya. Berat, Luuur.
Penulis: Aulia Syafitri
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Kenakalan Siswa Madrasah, Siswa Non-Madrasah Can’t Relate
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.