Alor adalah tempat terbaik untuk kalian menghabiskan akhir tahun dengan tenang, jauh dari hiruk pikuk dunia yang memuakkan
Tahun 2025 akan segera berakhir. Biasanya, orang-orang ingin menutup akhir tahun dengan sesuatu yang berkesan dengan berlibur. Terlebih bagi mereka yang merasa sudah menjalani setahun penuh dengan penuh tekanan kerja sembari menahan nafas di tengah padatnya hiruk-pikuk perkotaan. Sehingga, liburan ke daerah atau kota wisata jadi semacam hadiah untuk diri sendiri. Kata orang zaman sekarang, self reward.
Persoalannya, memilih liburan pada akhir tahun juga ada tantangannya. Kota tujuan wisata seperti Yogyakarta, Bandung, Malang, atau luar Jawa seperti Bali, Labuan Bajo, dan Lombok, adalah destinasi prioritas yang jadi sasaran banyak orang. Nggak hanya dari wisatawan dalam negeri, tapi juga mancanegara. Akibatnya, kota itu jadi terkesan ramai, padat, dan macet.
Tujuan awalnya ingin menikmati akhir tahun dengan bersenang-senang, menikmati ketenangan, dan jalan-jalan, eh malah berujung penat dan nggak waras karena menghadapi banyak orang. Mau tenang, malah tegang. Kan nggak asyik. Terlebih di kota wisata seperti yang saya sebutkan di atas, selain ramai, biaya wisatanya bisa sangat membengkak ketika akhir tahun.
Tapi tenang, masih ada daerah tujuan wisata yang rasanya masih bisa dinikmati dengan waras di akhir tahun, yaitu daerah Alor. Kabupaten di Timur NTT ini punya daya tawar yang nggak kalah mewah daripada Labuan Bajo. Yah ibaratnya ini versi lite dari Labuan Bajo lah. Lautnya yang bening, budaya dan adat yang masih lestari, kemudian suasana Kota Kalabahi yang menawarkan ketenangaan dan keramahan. Semuanya memberikan kombinasi rasa yang bisa menjadi memori indah.
Alor memang bukan destinasi misterius. Hanya saja, saat ini, orang lebih banyak mengira Alor hanya sekadar tanah lahirnya penyanyi Andmesh dan komika aneh, Ade Arkiang. Tapi itu justru jadi poin pentingnya. Sebab, Alor masih bisa dinikmati tanpa harus berpotensi terjebak dalam ketersinggungan karena ramai dan padat hanya karena rebutan spot foto.
Jelajah Alor lewat kata
Mari saya ajak melihat Alor melalui tulisan ini. Kita mulai dari “pintu gerbang” Alor, Pantai Mali. Inilah pantai yang paling popular di sana karena aksesnya yang mudah. Menikmati pagi hari dengan suasana yang tenang, air dangkal memantulkan langit pagi, dan ada satu pohon mangrove yang setia jadi model foto tanpa minta bayaran.
Wisatawan bisa ikut tur observasi dugong dengan kapal khusus. Biasanya konsepnya melihat dari atas perahu (tidak berenang/mengejar), sering dipaketkan bersama rute mangrove dan snorkeling ringan.
Geser ke arah barat laut, ada Pantai Tongke (sering disebut Tongke Lima) di Aimoli. Ini pantai berbentuk teluk berpasir putih, beberapa mangrove berjajar dengan pesona asri di air yang dangkal. Saat menjelang sore, nikmat rasanya menikmati lukisan nyata itu sembari ditemani makanan. Pikiran melayang, mulut mengunyah, sementara mata terjaga menunggu warna langit jatuh ke laut.
Kalau Mali jadi kartu nama pagi, Tongke adalah halaman terakhir buku harian sore. Kamu duduk, angin lewat, dan masalah ikut sejenak terhempas. Di pesisir lain, ada pantai Sebanjar. Ini adalah pantai yang lebih sepi, airnya jernih, pasirnya bersih. Piknik di sini, berbaring sembari mendengar “Aku Tenang” dari Fourtwnty jadi santapan akhir tahun yang menyenangkan.
Bila laut adalah bagian yang membuatmu bersyukur, maka Pulau Kepa jadi wajib untuk disinggahi. Pulau mungil di seberang kecil ini cukup naik perahu sebentar. Dari Kepa, operator menyesuaikan pilihan spot, pilihannya adalah teluk terlindung saat arus kuat, atau keluar ke Selat Pantar ketika cuaca bersahabat. Untuk day trip yang praktis, Pulau Sika di depan bandara juga cocok dikunjungi, terlebih ketika cuaca lagi cerah, nyebrang sebentar, berenang, foto, lalu kembali sebelum sore menggelap.
Tak hanya tentang pantai dan laut
Alor nggak hanya soal pantai dan laut. Kampung Adat Takpala milik Suku Abui membawa wisatawan ke dimensi yang berbeda. Di sana, terdapat rumah lopo beratap ilalang, batu-batu besar, dan lego-lego. Biar makin terkenang, pengunjung bisa mencoba pakaian adat setempat yang biaya sewanya hanya sekitar Rp50 ribuan. Pakaian ada tersebut menjadi bukti bagi seseorang bahwa dia pernah menapakan kaki di Alor.
Selesai dari sana, objek yang nggak kalau kulturistik adalah Museum 1000 Moko di pusat Kalabahi di mana di sana ada koleksi moko (gendang perunggu), tekstil, dan artefak. Semua itu memberi konteks kenapa tenun dan ritus punya tempat khusus di ingatan orang Alor.
Geser untuk belanja. Adakah pasar tradisional ala-ala di Jogja yang bisa dirasakan nuansa tempo dulunya? Mari saya kenalkan Pasar Baulang yang letaknya di pinggir pantai. Di sana, bisa dapat tenun Alor dengan pilihan banyak dan harga ramah, bahkan sekitar Rp200 ribu sudah bisa membawa pulang satu sarung tenun.
Ada ikan segar dari nelayan. Kalau mau harga paling murah, datang saat perahu baru merapat. Jajanan pasar juga hadir. Jagung titi yang otektik, kue rambut yang manis, dan aneka kue-kue lain yang tidak butuh caption panjang. Nggak hanya itu, ada Pasar Alor Kecil dengan view pantai yang indah. Semuanya menawarkan keindahan, kesederhanan, dan nuansa klasik yang tidak ditawarkan kota-kota besar.
Kalabahi
Di sisi lain, ketika sudah habis tenaga, suasana Kalabahi sebagai Ibu Kota Kabupaten memberikan aspek lain tentang mengambil jeda. Jalan utamanya memanjang mengikuti tepi teluk, deretan ruko rendah bergantian dengan warung ikan bakar yang asapnya pelan-pelan nyenggol angin asin. Pagi hari, pasar ramai secukupnya, tawar-menawar cepat, sayur, ikan, dan suara motor yang saling bersautan. Menjelang siang, ritmenya turun, toko-toko setengah buka, setengah mengantuk. Kadang hujan sebentar, bikin aspal berkilat, lalu berhenti seperti orang yang baru ingat menutup keran.
Saat malam, lampu kuning dari rumah dan warung memantul, memberikan rasa tenang dan sedikit sentimentil. Berjalan menyusuri trotoar pendek, berhenti bila sejenak, menatap area sekitar lalu melanjutkan lagi. Kalabahi tidak menuntut untuk mengejar apa-apa, ia cuma menyediakan tempat untuk bernapas, menata pikiran, dan mengikat satu dua rencana baru sebelum tahun baru menyapa.
Pada akhirnya, Alor adalah tempat untuk menutup tahun tanpa drama. Tidak ada kembang api yang berlebihan. Yang ada hanya ingatan yang mendalam dan menetap bahwa melihat indahnya Tuhan bisa dari Alor. Dan bukankah itu tujuan dari liburan? Bukan sekadar sampai, melainkan pulang dengan sesuatu yang tidak bisa diunggah seluruhnya.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 6 Fakta Tentang Nusa Tenggara Timur yang Harus Kalian Tahu
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















