Setiap kota punya ikon kuliner yang seolah “wajib coba” bagi siapa pun yang singgah, termasuk Kudus sendiri. Kalau di Jogja orang langsung menyebut gudeg, di Solo ada selat, di Surabaya ada rawon, maka di Kudus nama garang asem sudah begitu melekat. Dan salah satu tempat makan yang hampir selalu direkomendasikan orang untuk mencicipi garang asem adalah Garang Asem Sari Rasa.
Bagi warga Kudus maupun wisatawan, nama ini sudah sangat populer. Bahkan, bisa dibilang tempat makan ini menjadi jujukan pertama bagi mereka yang ingin merasakan langsung garang asem dengan cita rasa otentik Kudus. Dari luar, kesannya sederhana namun sarat tradisi. Di benak saya, ekspektasi pun muncul: makan enak, porsi pas, harga bersahabat, dan tentu saja pengalaman kuliner yang berkesan.
Namun, setelah benar-benar datang dan mencoba garang asem Sari Rasa, pengalaman saya pribadi tidak seindah ekspektasi. Ada beberapa hal yang membuat saya agak enggan untuk kembali, meski saya sepenuhnya paham bahwa selera orang bisa berbeda-beda.
Porsinya itu lho
Garang asem Sari Rasa memakai ayam kampung. Semua orang tahu, ayam kampung punya tekstur daging yang lebih kenyal, rasanya lebih gurih, dan memang jadi standar bagi kuliner tradisional khas Kudus. Tapi, ada satu hal yang bikin saya merasa agak kecewa: porsinya.
Saat memesan, saya tidak diberi pilihan bagian ayam. Ternyata, yang datang ke meja hanyalah sayap dan sedikit jeroan. Rasanya kurang mantap ketika melihat harga yang dipasang sama, tanpa ada perbedaan meski bagian ayam yang didapatkan tidak seimbang. Kalau dapat paha atau dada, mungkin sensasi makannya terasa lebih “worth it”. Tapi ketika hanya sayap, rasanya agak tanggung, apalagi perut lagi benar-benar lapar.
Saya bisa memahami bahwa ayam kampung memang ukurannya lebih kecil dibanding ayam potong biasa. Namun, di titik ini saya merasa ekspektasi saya tidak sepenuhnya terjawab. Saya ingin makan garang asem dengan puas, bukan sekadar icip-icip.
Harga yang nggak “ngepas” di kantong
Soal harga, sebenarnya tidak masalah jika sepadan dengan kualitas rasa maupun pengalaman makan. Namun, untuk ukuran Kudus—yang masih termasuk kota dengan biaya hidup relatif terjangkau—harga di Sari Rasa ini terasa lumayan tinggi.
Bagi wisatawan dari luar kota besar mungkin wajar, wong tujuannya liburan ngabisin duit. Tapi bagi saya yang terbiasa dengan harga lokal, jujur, terasa berat di kantong. Terlebih, saat porsinya nggak sesuai sama harapan. Ibarat beli tiket konser, bayarnya kelas VIP, tapi duduknya terasa seperti kelas festival. Ada sedikit rasa janggal di situ.
Pelayanan Garang Asem Sari Rasa yang kurang hangat
Satu hal lagi yang saya rasakan adalah soal pelayanan. Entah mungkin karena saya datang di waktu yang ramai, atau memang standar pelayanannya seperti itu, tapi saya merasa kurang mendapat sambutan yang ramah.
Padahal, untuk tempat makan yang jadi ikon kuliner daerah, pelayanan yang hangat bisa jadi nilai tambah besar. Rasa masakan enak akan lebih terasa nikmat kalau disajikan dengan keramahan. Sebaliknya, makanan seenak apa pun bisa terasa hambar kalau interaksi yang muncul terasa dingin.
Ekspektasi kuliner ikonik
Jujur saja, mungkin faktor utama yang membuat saya agak kecewa adalah tingginya ekspektasi. Nama besar garang asem Sari Rasa membuat saya berharap menemukan pengalaman kuliner yang nyaris sempurna. Tapi, ketika realitas tidak sejalan dengan harapan, rasanya jadi sedikit berat.
Saya nggak menutup mata bahwa banyak orang yang tetap puas dan senang makan di sana. Bahkan, nggak sedikit yang datang berkali-kali. Itu artinya, memang ada nilai dan cita rasa yang tetap bisa membuat orang kembali. Hanya saja, bagi saya pribadi, beberapa hal kecil tadi cukup membuat saya berpikir ulang untuk mampir lagi.
Alternatif dan harapan untuk Garang Asem Sari Rasa
Kudus sendiri bukan hanya soal Sari Rasa. Banyak tempat makan lain yang juga menyajikan garang asem dengan variasi rasa, porsi, dan harga. Ada yang lebih sederhana, ada yang lebih “rumahan”, bahkan ada yang memberi porsi lebih besar dengan harga lebih bersahabat.
Tentu, pilihan kembali ke masing-masing orang. Kalau mencari pengalaman “resmi” mencicipi ikon kuliner, Sari Rasa tetap jadi destinasi populer. Tapi kalau mencari kenyamanan personal, mungkin mencoba warung-warung kecil lain bisa jadi alternatif menarik.
Harapan saya, ke depan garang asaem Sari Rasa bisa memberi sedikit fleksibilitas: misalnya pilihan bagian ayam, atau variasi porsi. Dengan begitu, pengunjung bisa merasa lebih puas, sesuai dengan uang yang dikeluarkan. Ramuan garang asemnya sendiri sudah kuat, tinggal bagaimana membuat pengalaman makan jadi lebih berkesan.
Bagi saya, pengalaman ke Garang Asem Sari Rasa Kudus adalah pertemuan antara ekspektasi besar dengan realitas yang agak mengecewakan. Bukan berarti makanannya tidak enak—rasa garang asemnya tetap khas, segar, dan otentik. Namun, beberapa hal seperti porsi, harga, dan pelayanan membuat saya pribadi enggan sering-sering kembali.
Tentu saja, ini hanyalah pengalaman subjektif. Bisa jadi orang lain menemukan kepuasan penuh di sana. Kuliner, bagaimanapun, selalu soal selera, kondisi, dan harapan masing-masing. Satu hal yang pasti, garang asem tetaplah bagian penting dari identitas Kudus, dan layak untuk dicicipi siapa saja yang datang. Hanya saja, untuk saya, mungkin akan lebih senang mencari tempat lain yang bisa memberi pengalaman makan lebih sesuai dengan keinginan hati.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Garang Asem RM Gasasa Kudus Memang Ikonik, tapi Nggak Cocok untuk Semua Orang
