Sudah sekian lama saya berhasil jauh-jauh dari Jakarta Selatan ketika akhir pekan. Minggu demi minggu saya anteng saja di sekitar tempat saya tinggal, yaitu di Cipayung, Jakarta Timur. Kawasan yang kalau kena hujan barang sedikit aja, suasananya langsung sejuk kayak di Bogor.
Tapi baru-baru ini, saya terhasut ajakan teman untuk ketemuan di daerah Cipete. Salah satu kawasan Jaksel yang paling gaul. Dengan timing terburuk pula, yaitu sore menuju malam minggu di tanggal orang-orang baru gajian.
Entah kenapa pula saya setujui. Baru setengah jalan melintasi TB Simatupang, saya sudah menyesali keputusan tersebut. Iya, Jalan TB Simatupang yang belakangan ramai dibicarakan gara-gara menjadi sarang kemacetan itu. Pada hari itu, saya menjadi salah satu korbannya.
Dari Jakarta Timur ke Jakarta Selatan itu macet
Memang bukan tanpa alasan saya sebagai warga Jakarta Timur menghindari berakhir pekan ke Jakarta Selatan. Ibaratnya, segala aktivitas yang bisa dilakuin tuh semua dilakuin di Jaksel. Akibatnya, tempat itu jadi “padet bener”, kalau kata orang Betawi sini mah.
Otomatis, jalanan menuju ke Jaksel juga ikutan padat. Bayangkan saja, jika TB Simatupang sedang lengang, naik mobil dari Cipayung ke Cipete, Jakarta Selatan membutuhkan waktu paling lama 45 menit. Namun hari itu, waktu tempuh saya 1,5 jam lebih.
Naik Transjakarta juga nggak ada bedanya. Soalnya rute yang melintasi TB Simatupang itu non-BRT alias tidak punya jalur khusus. Dan jangan ungkit tentang kereta, baik LRT ataupun KRL. Soalnya nggak ada rutenya yang direct dari Cipayung, Jakarta Timur ke Cipete, Jakarta Selatan.
Sebetulnya ada alternatif lain. TB Simatupang itu sejajar dengan Jalan Tol JORR. Mestinya lewat tol itu bisa menghemat waktu hingga 20 menit. Namun pada hari Sabtu dan Minggu, terlebih lagi pada sore harinya, tol itu bisa sama padatnya dengan jalanan biasa. Menurut Google Maps pun, ETA-nya cuma selisih 3 menit.
Ngapain bayar Rp17 ribu dari Jakarta Timur ke Jakarta Selatan cuma buat hemat waktu 3 menit? “Ogah gua” kalau kata orang Betawi sini.
Jaksel dipenuhi kafe overrated, antrinya nggak worth it
Udah macet di jalan, sampai mau masuk ke tempat janjiannya pakai ngantri pula! Pemandangan antrian waiting list mengular sampai luber-luber ke jalanan ini sering banget terlihat di Blok M.
Seolah-olah semua orang kebelet banget nyobain makanan dan minuman viral di kawasan paling gaul se-Jaksel itu. Saya akui, memang tampilan makanannya di media sosial terlihat begitu menggiurkan. Tapi apakah sepadan dengan antrian sepanjang itu? Bagi saya tidak.
Sekalinya saya pernah bela-belain antri di salah satu kedai makan di sana, perut saya sampe keroncongan. Meski masih ada lagi hidangan Blok M yang bikin saya penasaran, tapi nggak lagi-lagi deh, saya perjuangkan sampai segitunya.
Di Jakarta Timur juga banyak kafe kayak Jakarta Selatan
Buat apa pergi jauh-jauh dan antri panjang kalau di dekat rumah juga ada kafe yang menggiurkan? Jakarta Timur sekarang dipenuhi sama tempat nongkrong yang beraneka macam, lho. Udah mirip sama yang di Jaksel lah pokoknya!
Lengkap dengan segala jenis nuansa dan hidangan. Mulai dari kafe industrial sampai ala-ala pedesaan Italia. Jaringan waralaba hingga indie. Menyediakan pastry keju hingga smoothie kurma. Pokoknya apa lu mau, Jaktim punya.
Apalagi harga-harganya lebih murah. Soal rasa, itu selera. Bagi saya sih sama enaknya. Lagi pula coba jujur, deh. Bagi yang sudah pernah bela-belain antri buat mencicipi kuliner Blok M, emang rasanya sefantastis itu kah? Atau sebenarnya, kamu melebih-lebihkan saja karena merasa udah effort banget buat mendapatkannya?
Kalau nggak kayak Jaksel juga, emang ngapa dah?
Setelah dipikir-pikir lagi, ngapain juga sih kita pake standar Jakarta Selatan buat nentuin tempat nongkrong yang layak dikunjungi? Padahal udah jelas satu-satunya Warung Es Cekek Asli Brooklyn cuma ada di Pinang Ranti, Jakarta Timur! Kalian belum pernah denger warung itu? Wah, kurang gaul.
Warung itu hanya satu contoh dari begitu nyentriknya Jakarta Timur. Sayang sekali jika kita, sebagai konsumen, maunya hanya nongkrong di tempat estetik yang generik. Padahal banyak sekali keunikan Jakarta Timur yang muncul di kafe-kafe terpencilnya.
Salah satu yang paling saya suka dari tempat nongkrong Jakarta Timur adalah suasana outdoor yang beneran sejuk. Coba saja makan siang di kafe outdoor Jaksel. Dijamin gerah dan gosong. Tapi lain ceritanya kalau di Jakarta Timur. Di sini masih ada cukup pohon yang menahan teriknya matahari.
Makanya saya betah main di Jakarta Timur saja. Lagi pula bagi saya weekend itu adalah saatnya relaksasi, bukan menyiksa diri dengan kemacetan. Bukan pula menahan lapar demi antrian. Jadi, nggak usah lagi ya ngajak saya ketemuan akhir pekan di Jakarta Selatan. Karena dijamin 99%, saya pasti akan menolaknya.
Penulis: Karina Londy
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Jakarta Timur adalah Tempat Terbaik untuk Bermukim di Jakarta: Meski Nggak Elite, tapi Komplet.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















