Pengalaman saya mengunjungi cukup banyak daerah di Indonesia membuat saya sedikit mengetahui jenis-jenis kuliner dari berbagai daerah Indonesia. Tidak hanya mengetahui saya juga telah mencicipi beberapa di antaranya. Saya mengetahui bahwa banyak masakan di luar Jawa berbahan daging sedangkan di Jawa lebih jarang. Apakah kalian memperhatikannya juga?
Masakan-masakan di luar jawa memiliki banyak menu dengan olahan daging lihat saja Rendang, Gajeboh, Sate Padang, Asem Padeh Daging, Dendeng Balado, dan Gulai dari Padang. Makasar juga tidak terlalu berbeda di mana masakan khasnya menggunakan bahan dasar daging seperti Coto Makasar, Sup Konro, Konro Bakar Karebosi, dan Gogoso. Selain itu ada juga yang dari olahan ikan Pallukaci, Pallumara, Pallubasa, dan Pallu-Pallu lainnya.
Saya punya sedikit cerita ketika perantauan saya ke Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Kedua masyarakat ini punya kesamaan selera dalam kecintaannya makan ikan, mereka tidak suka makan ikan yang sudah menyentuh es. Tidak segar buat mereka. Kemudia saya bertanya, “bagaimana dengan ikan pindang?”
“Ikan jenis apa itu mi? Sa tidak kenal”.
Saya mencoba menjelaskan bahwa ikan pindang adalah ikan yang sudah direbus dengan bumbu tertentu terlebih dahulu sebelum dijual di pasar. Biasanya banyak di daerah Jawa. Kalian tahu respon mereka ketika saya menjelaskan itu. “Kita tidak makan ikan seperti itu. Kasiannya itu mi orang Jawa makan ikan seperti itu”. Makjleb!!! Seandainya kalian melihat ekspresi wajah mereka saat itu.
Kawasan Nusa Tenggara pun demikian banyak yang berbahan daging hewan berkaki empat maupun hewan berkaki dua. Di Lombok menu olahan daging ada Sate Rembiga, Sate Pusut, Bebek Bumbu Hijau, dan ada juga Ayam bakar paling ganas sedunia, Ayam Bakar Taliwang (Taliwang adalah nama tempat).
Bergeser ke barat ada Bali yang juga memiliki menu yang kurang lebih yakni olahan yang berbahan daging yang terdiri dari hewan berkaki empat dan kaki dua. Salah satu yang terkenal adalah Lawar.
Saya punya kenangan lucu dengan masakan khas Bali yang satu ini. Waktu itu pertama kali saya mengunjungi Bali, saya kelaparan dan mencari warung di antara begitu banyaknya. Setelah melihat satu lokasi yang dirasa cocok saya memesan menu bernama Lawar, karena ingin mencoba kuliner khas Bali. Betapa naif jiwa kuliner saya saat itu.
Setelah memesan dua porsi dan memperhatikan ibunya menyiapkan makanan saya melihat dia membuka sebuah kebolak yang muncul adalah potongan daging yang menggairahkan sekali. Tapi kok daging satu ini tidak mirip daging sapi maupun kambing, apalagi ayam. Rasa ini daging jenis lain. Saya bertanya, “sebentar bu itu daging apa ya? Menggairahkan sekali rupanya.”
“Owh itu daging babi dek”.
(((Babi)))
Kaget luar biasa hamba. Segera hamba bersimpuh dan memohon ampun “Ya Alloh, ampunilah kebodohan hamba yang hampir saja merasakan nikmatnya makan daging babi ini” tentu saja semua itu saya lakukan dalam hati, termasuk bersimpuhnya juga. Gila apa bersimpuh di hadapan orang asing.
“Maaf bu apa ada daging yang lain?”
“Tidak ada cuma daging babi”.
Saya menelan air liur karena lapar dan tergoda melihat daging itu. Namun iman saya lebih kuat dari nafsu saya. Sebajingan-bajingannya saya yang masih tergoda untuk minum sekali dua kali saya masih mampu menahan godaan makan daging babi. Bahkan di saat cacing-cacing dalam perut saya sudah mengumpat-ngumpat karena marah.
Akhirnya saya dan teman saya memutuskan undur diri setelah minta maaf dengan ibunya. Betapa gobloknya saya berfikir memilih warung di Bali segampang di kampung saya di Lombok. Kemudian kami berhenti di warung dengan tulisan besar “Warung Jawa”.
Di warung Jawa itu hanya terdapat dua menu, nasi campur dan nasi pecel. Karena sudah sering makan nasi campur yang tidak mencerminkan kedaerahan akhirnya saya dan teman saya tertarik memesan nasi pecel. Begitu dua piring nasi pecel dihidangkan, saya terkejut. Saya tidak pernah seterkejut itu sebelumnya. Bah, tidak ada lauknya. Hanya ada sedikit pecel dengan nasi porsi kuli. Akhirnya saya tidak tahan lagi saya minta lauk, bapaknya terheran.
“Kan tadi katanya nasi pecel kalau minta lauk jadinya nasi campur tambah pecel”.
“Tidak apa-apa pak, mau ayam, daging, ikan yang penting tambahkan lauk. Kami tidak bisa makan kalau tak ada lauknya”.
Bapak itu hanya tersenyum. Kemudian kami mengobrol dan darinya saya tahu bahwa kalau mau aman sebagai muslim di Bali pilih warung yang ada tulisan “Jawa”. Dalam hati saya “Sial bapak ini sempat-sempatnya promosi”. Tapi itu benar, meski tidak hanya orang Jawa yang berjualan masakan yang halal untuk orang muslim namun untuk mudahnya lebih baik mengikuti saran bapak ini jika di Bali.
Mengenai Lawar masakan khas Bali yang hampir membuat saya murtad itu sebenarnya tidak hanya berbahan daging Babi ada juga daging lainnya. Hanya saja agak susah ditemukan. Ada Lawar dari daging ayam maupun bebek, tapi tidak ada Lawar dari daging kelelawar meskipun namanya mirip-mirip.
Menu-menu masakan khas Bali memang rata-rata berbahan daging, jika tidak daging babi maka menggunakan daging ayam dan itik. Tapi jarang atau bahkan tidak sama sekali berdaging sapi. Alasannya kurang lebih sama dengan umat Islam yang tidak makan babi, yakni alasan kepercayaan. Bedanya Islam menganggap babi haram, umat Hindu menganggap sapi suci. Meski begitu tidak semua umat Hindu memilih tidak makan sapi.
Daerah-daerah lain yang juga saya temukan hal yang kurang lebih sama banyak sekali menu dari daging baik yang berkaki empat, berkaki dua, maupun tak berkaki (baca: ikan). Beda sekali dengan masakan khas Jawa yang menonjol jarang sekali saya temui dari olahan daging. Yang saya temukan mungkin hanya varian Rawon dari Jawa Timur dan varian Soto, itupun sedikit dagingnya.
Susah sekali untuk melihat makanan yang benar-benar khas Jawa yang berbahan dasar daging. Misalnya masakan khas Jogja ada Gudeg dan Tempe Bacem yang justru sayur. Ada sesuatu yang lucu mengenai tempe, jika di Jawa ia masih bisa dianggap lauk, di daerah timur seperti Sulawesi mau dia Tenggara, Selatan, Tengah, Utara dan daerah Nusa Tenggara, ia begitu tidak punya harga diri untuk masuk golongan lauk. Ia hanya jadi pelengkap lauk tapi tidak pernah menjadi lauk utama. Mengapa demikian?
Saya sebenarnya memiliki hipotesis yang mungkin akan kurang disukai oleh orang asli Jawa. Semua ini bermula ketika saya bekerja selama dua tahun di Sulawesi Tenggara. Waktu itu saya masuk ke Rumah Makan Padang untuk makan. Saya ngobrol dengan pemilik penjual Nasi Padang ini yang ternyata orang Jawa bukan orang Minang. Karena penasaran saya bertanya,
“Lah kok orang Jawa jualan Nasi Padang? Jauh-jauh di Kendari pula?”
“KFC dan Mc Donald saja di sini dijual oleh orang Indonesia buka Amerika.”
Mati kutu saya dengar jawaban bapak itu. Saya tidak menyangka dia akan menjawab demikian. Kemudian darinya saya tahu ternyata Warung Padang ini bukanlah miliknya, ia hanya semacam pengelola bisnis waralaba seperti KFC, Mc Donald, dan Burjo di Jogja. Dia bercerita alasannya dan banyak orang Jawa yang merantau di berbagai penjuru wilayah Indonesia adalah karena mereka miskin.
(((Miskin)))
Dari situ saya berhipotesis kenapa banyak masakan Jawa lebih jarang berbahan daging, lebih banyak berbahan sayur atau umbi adalah karena Jawa terlalu padat. Dengan pada wilayah Jawa menyebabkan banyak warganya yang berada pada atau di bawah garis kemiskinan. Hal ini menyebabkan banyak dari mereka tidak bisa membeli lauk pada umumnya wilayah Indonesia lainnya. Karena itu diciptakannya lauk alternatif dari tempe dan sayur-sayuran lainnya. Tapi kan orang Jawa yang kaya juga ada?
Tentu saja ada tapi jumlahnya tidak seberapa sehingga menimbulkan kesenjangan yang tinggi. Mungkin orang kaya di istana memakan daging tapi tidak dengan orang miskin di luaran sana. Hanya ada segelintir orang kaya dan orang kaya ini tidak membangun kebudayaan tapi mengeksploitasinya. Kebudayaan itu dibangun oleh masyarakat miskin dan karena masakan adalah produk kebudayaan maka produk kebudayaan inilah yang populer dan bertahan sampai saat ini.
Berbeda dengan wilayah-wilayah yang ada di luar Jawa seperti di Sumbawa dan Sulawesi Tenggara yang sapi dan kambing di lepas bebas untuk hidup bersama alam sampai beberapa tahun untuk kemudian di panen atau di jual. Tidak ada yang mencuri sapi-sapi ini dikarenakan kesenjangan yang tidak terlalu jauh seperti kehidupan di Jawa.
Saya melihat di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara sapi ini di lepas di gunung sampai menjadi liar. Kemudian jika ada yang akan membelinya atau akan disembelih untuk pesta pernikahan maka disewalah pawang sapi untuk menangkap dan melacak keberadaan sapi ini.
Saya tidak pernah melihat sapi berlari sekencang kuda, selain di Sulawesi Tenggara. Karena itu dibutuhkan seorang profesional untuk melacak dan menangkapnya dengan upah rata-rata 500 ribu keren kan. Untuk orang kampung ini keren. Di mana lagi dapat profesi suuatu profesi yang sekali kerja dapat 500 ribu di kampung? Guru honor saja Cuma dapat 300-400 ribu sebulan. Tapi jangan pikir pekerjan cow hunter ini mudah kadang mereka butuh 2-3 hari untuk berhasil menangkap sapi yang telah menjadi liar ini.
Itulah alasan kenapa jarang sekali kita menemukan menu khas Jawa yang berbahan dasar daging. Karena kebudayaan tidak dibangun oleh orang kaya tapi oleh masyarakat mayoritas, jadi susah sekali menemukan menu berbahan dasar daging yang menarik di Jawa. Sebenarnya ada sih satu masakan Jawa Timur yang berbahan dasar sapi, tapi ya itu pun bukan dagingnya, cuma lidahnya.
Rujak Cingur!!!!
BACA JUGA Pengalaman Spiritual yang Saya Alami Saat Bertemu Rawon Kuah Kecap atau tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.