Ketika bulan Ramadan tiba masjid pada umumnya akan menyediakan takjil sebagai menu berbuka puasa. Hal ini merupakan sesuatu yang positif, dan merupakan perwujudan kesalehan sosial. Namun, tidak dengan kakek yang melarang saya dan keluarga lain untuk berburu takjil di masjid.
Masjid di desa tempat saya tinggal selama bulan Ramadan menyediakan takjil, ini sudah menjadi tradisi yang sudah berjalan sejak dulu. Makanan untuk berbuka ini dibuat tidak menggunakan uang kas masjid, tapi berasal dari warga yang membuat secara bergiliran. Dalam satu hari setidaknya ada 5 warga yang menyediakan menu berbuka puasa di masjid.
Setahu saja, takjil yang disediakan di masjid itu diperuntukan bagi para musafir. Tapi, karena letak masjid desa saya bukan di jalan utama, mobilitas di jalan tersebut terbilang rendah. Jadi kemungkinan terdapat musafir yang lewat sangatlah kecil, maka dari itu yang menikmati ya warga sendiri.
Setiap sore di masjid desa saya ada yang namanya jiping (ngaji kuping), pembicaranya adalah para kerabat saya. Para warga yang niatnya untuk mengaji bisa dihitung dengan jari, sementara para warga yang niatnya berburu takjil lebih banyak.
Sewaktu saya kecil, teman-teman saya datang ke masjid itu 5 menit sebelum azan. Dari situ sudah terlihat jelas, niat sebenarnya adalah berburu takjil. Bahkan ada juga teman saya yang tidak ikut puasa, tetapi datang ke masjid untuk makan. Konyolnya lagi kawan saya ini sesampainya di masjid langsung makan, padahal azan magrib belum berkumandang.
Sementara itu saya tidak ikut berburu takjil seperti teman-teman saya, karena dilarang oleh kakek saya. Menjelang buka puasa, saya selalu dicari oleh kakek saya, disuruh pulang. Suatu ketika saya meminta izin kepada kakek untuk berbuka di masjid seperti teman-teman saya, tetapi tidak diperbolehkan. “Ngisin-ngisina, takjil nang masjid iku nggo musafir, koen ta nang umah panganan akeh ouh,” katanya waktu itu.
Kerabat-kerabat saya yang mengisi jiping (ngaji kuping) di masjid tersebut lebih memilih langsung pulang ke rumah, mereka lebih memilih untuk berbuka puasa di rumah.
Kalau anak kecil datang ke masjid, lima menit sebelum azan Maghrib bisa dimaklumi lah, namanya juga anak-anak. Tetapi ada juga orang dewasa yang datang ke masjid 5 menit sebelum azan magrib, begitu takjil mau dibagikan baru datang, dan itu bukan hanya satu atau dua orang tetapi banyak.
Salah satu dari mereka yang datang 5 menit sebelum azan magrib adalah Toma (bukan nama sebenarnya / nama samaran), ketika sedang pengajian kuping di masjid ia duduk di teras rumahnya ngobrol-ngobrol. Begitu azan magrib kurang 5 menit, ia langsung bergegas ke masjid.
Suatu ketika mungkin karena saking asyiknya mengobrol, ia lupa kalau 5 menit sebelum azan magrib harus segera ke masjid. Azan magrib pun berkumandang, ia langsung tersentak kaget, dan menyalahkan kawannya yang tidak mengingatkannya. “Waduh, ora keduman takjil nang masjid kieta,” ujar Toma.
Toma pun langsung berlari secepat kilat ke masjid. Kebiasaan Toma ternyata sudah sejak dulu, dan berlangsung hingga sekarang. Ironisnya lagi, istri Toma tidak pernah kebagian jatah untuk membuat takjil di masjid, padahal dari segi finansial tergolong mampu.
Kakek saya termasuk orang yang tidak setuju adanya takjil di masjid desa saya, pertama karena banyak yang datang 5 menit sebelum azan magrib, sudah jelas niatnya bukan untuk jiping (ngaji kuping). Kemudian kedua mereka adalah orang-orang mampu, menurut kakek itu sama saja mengambil yang bukan haknya. Selanjutnya ketiga menyakiti yang membuat makanan untuk berbuka, jadi mereka pilih-pilih, takjil yang terlihat murah dibiarkan begitu saja, tidak disentuh.
Menurut pendapat saya berburu takjil di masjid adalah hal yang sah-sah saja, tapi jangan sampai malu-maluin lah. Biar dapat pahala juga, bukan hanya takjil saja, ikuti juga pengajiannya.
Penulis: Malik Ibnu Zaman
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA 5 Rekomendasi Takjil Bandung yang Wajib Banget Kalian Coba