Alasan-Alasan Siswa Meninggalkan Kelas yang Ada-Ada Saja!

meninggalkan kelas

meninggalkan kelas

Mengajar di jam terakhir adalah tantangan utama seorang guru. Pada jam tersebut, biasanya siswa sudah terlalu lelah untuk menerima pelajaran. Apalagi, jika sekolah tersebut memberlakukan lima hari kerja. Artinya, jam terakhir adalah sore hari. Kalau saya sih, sore hari enaknya tidur. Melek buat ikut kelas itu sangat tidak mengasyikkan. Apalagi kalau gurunya membosankan. Lebih baik ditinggalkan. Bolos adalah jalan keluar!

Sayangnya, saat ini posisi saya bukan lagi sebagai siswa. Akan tetapi, saya menjadi orang yang membosankan tersebut. Eh, sebentar… membosankan dan tidaknya kan tergantung pembawaan kelasnya, ya? Jadi, mungkin baiknya saya memposisikan diri sebagai “yang netral” dulu.

Setelah beberapa waktu mengajar di kelas, saya mulai mencatat alasan-alasan tidak masuk akal dari siswa.

Alasan pertama, ketika saya sedang menjelaskan satu materi, siswa tersebut tiba-tiba mengacungkan tangan kanan dan bertanya. “Pak, boleh izin ke belakang?”—pertanyaan pertama ini mampu saya jawab dengan mudah. Sayangnya, setelah saya mengiyakan pertanyaan tersebut, siswa itu keluar meninggalkan kelas sambil membawa temannya.

Ketika saya menegurnya supaya keluar sendiri, siswa tersebut tidak mau. Malahan, dirinya mengatakan kalau tidak jadi kebelet. Astaga, memang kebelet bisa didelay, ya? Saya tegaskan padanya—silakan keluar dan tuntaskan daripada nanti sakit. Tapi siswa itu tetap menolak dan memilih menahannya.

Setelah saya amati baik-baik, siswa tersebut tidak terlihat gelagatnya kalau sedang menahan sesuatu. Saya kira, sepandai-pandainya tupai melompat orang menyembunyikan sesuatu, pasti akan terlihat lucu ketika sedang nahan kebelet pipis.

Kamu pasti pernah merasakannya, bukan? Kamu berusaha merapatkan kedua paha. Seolah-olah itu mampu menahan alirnya air seni. Nyatanya, air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Logika ini mematahkan upayamu menahan hanya dengan merapatkan kedua paha. Setelah sudah berada di ujung, kamu akan mulai menggerakkan pinggul ke kiri dan kanan. Lagi-lagi, upaya tersebut kamu kira akan membantu. Padahal, tidak sama sekali.

Lah, saya tidak melihat kelucuan-kelucuan tersebut. Akhirnya, saya tanyakan pada siswa itu, dia ingin ke belakang untuk apa? Saya cukup paham ketika jawabannya hanya senyuman yang diselingi cengar cengir.

Alasan kedua, siswa izin meninggalkan kelas untuk membuang sampah. Alasan yang kedua ini cukup mulia. Awalnya, saya dengan lapang dada memberikan izin. Mereka adalah siswa yang cukup cerdas karena punya kesadaran lingkungan. Saya membayangkan, seandainya semua warga sekolah mempunyai kesadaran yang sama, betapa bersihnya sekolah tempat saya mengajar.

Sayangnya, setelah saya telusuri, sampah yang mereka buang adalah produksi sendiri—artinya, selama pembelajaran berlangsung, mereka memproduksi sampah-sampah kecil. Mereka sibuk memotong-motong kertas atau sengaja meninggalkan bungkus makan-minum di laci. Kalau sudah cukup wajar untuk dibuang, mereka pun izin keluar meninggalkan kelas.

Sejak berhasil membongkar oknum tersebut, saya lebih berhati-hati dalam memberikan izin. Ternyata, semulia-mulianya sebuah niat baik, terkadang terkandung hasrat yang kurang mengenakkan. Saya tidak mau lagi kecolongan. Saya bosan tertipu. Menyedihkan!

Alasan ketiga bagi saya sungguh tidak masuk akal, yaitu izin keluar meninggalkan kelas untuk mencuci tangan. Hello, apa hubungan tangan bersih dengan penyerapan materi oleh otak manusia? Apakah seseorang dengan tangan kotor tidak akan mampu memahami pelajaran? Apakah tangan kotor akan menjadikan materi yang dipelajari ikut kotor? TIDAK, kan?

Bukan hanya itu, gregetannya lagi, saya kan mengampu kelas Bahasa Indonesia. Di dalamnya tidak ada praktik membuat replikasi gunung berapi dan melakukan simulasi gunung meletus. Tidak ada adegan meletus dan membuat tangan kotor dan kelas berantakan. Saya rasa, kelas saya adalah kelas yang cukup bersih sehingga tidak akan menimbulkan tangan kotor. Palingan hanya sedikit kotor terkena tinta bolpoin yang ditandaskan dalam kertas.

Saya heran, kenapa alasan-alasan seperti itu bisa muncul? Seperti yang sudah saya katakan di awal tulisan ini, saya ingin menjadi “yang netral”. Untuk itu, sekarang saya akan membela siswa dan menentang diri saya pribadi. Setelah saya renungi sepulang sekolah sampai masuk ke sekolah lagi, alasan utama munculnya alasan-alasan tersebut hanya satu—KELAS SAYA TIDAK MENARIK!

Tertampar oleh kenyataan tersebut, saya pun berkesimpulan: seharusnya sejak awal tulisan ini saya katakan bahwa SAYA MEMBOSANKAN!

Setelah sampai pada paragraf ini, coba ganti kata “saya” dengan namamu. Apa pernah merasakan hal yang sama? Yuk, kita buat WhatsApp grup buat sambat bersama! (*)

 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.

Exit mobile version