Akun Shitposting Kampus, Oase di tengah Gersangnya Kritik untuk Kampus

Akun Shitposting Kampus, Oase di tengah Gersangnya Kritik untuk Kampus

Akun Shitposting Kampus, Oase di tengah Gersangnya Kritik untuk Kampus (Pixabay.com)

Akun shitposting kampus lebih vokal dalam mengkritik kampus, ketimbang badan yang harusnya jadi penyeimbang kekuasaan

Beberapa waktu terakhir kita tentu mengetahui bagaimana dinamika kritik di Indonesia. Fenomena kritik tangkap dengan dalih pencemaran nama baik adalah salah satu dari beberapa alat pukul yang mampu membuat bungkam masyarakat. Diakui atau tidak, ada pola kemiripan antara Orde Baru dan Pemerintah sekarang dalam memandang kritik. Belum lagi dengan RUU baru yang semakin embuh. Bukan hanya sebagai alat pukul yang sekadar membungkam mulut, RUU baru bisa menjadi alat pukul yang menikam jantung.

Sayangnya, respons yang kurang baik dalam menanggapi kritik bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, tapi juga dilakukan oleh kampus yang (katanya) miniatur dari negara itu sendiri. Sudah berapa kali kita membaca berita mahasiswa yang disanksi karena demo kepada pimpinan kampusnya sendiri. Beberapa kasus pembekuan UKM karena mengkritik pimpinan kampus, sekalipun tidak dibekukan, UKM yang dianggap berbahaya kebanyakan tidak dipermudah dalam hal pendanaan.

Hal yang tak kalah menjengkelkan adalah bagaimana anak penerima Bidikmisi yang mendapat ancaman pencabutan beasiswa jika mengikuti demonstrasi, yang nggak waras siapa? Mbuh. Kampus, yang seharusnya menjadi tempaan pemikiran dan kepekaan malah menjadi amplas yang membuat dua hal tersebut menjadi tumpul.

Belum lagi jika mahasiswa yang duduk di birokrasi (BEM/DEMA/semacamnya) yang juga tumpul kepekaannya terhadap mahasiswa di kampusnya (atau pura-pura tumpul?). Sebagai mahasiswa yang biasa-biasa saja tentu berharap kepada mahasiswa yang tidak biasa-biasa saja. Begini, mereka yang sering izin perkuliahan untuk rapat organisasi, atau izin telat mengumpulkan tugas dengan alasan serupa tentu harapannya adalah mewakili keresahan para mahasiswa biasa saja seperti saya. Seperti penurunan UKT, pembaharuan fasilitas kampus yang usianya seperti sudah seabad, kejelasan jadwal wisuda, keterbukaan keuangan, jaringan kerjasama kampus yang mentok hanya se-kabupaten dan lain-lain.

“Lha, kalau mahasiswa tidak biasa seperti mereka juga tumpul kritiknya, lantas harapan mahasiswa biasa saja harus pada siapa?” begitu pikiran saya yang juga dirasakan beberapa teman mahasiswa yang sama biasa saja.

Sampai beberapa waktu kemudian saya menemukan akun shitposting yang berisi kritik lucu nan pedas terhadap kampus. Kritik khas meme yang mudah dicerna dengan cepat dan mengenyangkan, yang lebih membuat riang adalah akun tersebut bukan hanya mengkritik kampus, tapi segala sesuatu yang ada di dalamnya. Termasuk BEM/DEMA/semacamnya.

Hal ini tentu saja membuat bahagia, bagaimana tidak. Organisasi-organisasi yang beberapa kali berteriak mengatasnamakan rakyat, penindasan, ketertinggalan atau apa pun yang berisi bualan ketika kampanye atau apalah itu tapi tidak bergerak ketika benar bahwa ada mahasiswa yang menjadi yatim piatu tapi ditolak banding UKT-nya atau fasilitas kampus yang sudah reot tapi diam saja.

Sebenarnya akun-akun shitposting sejenis bukan hanya ada di kampus, banyak akun-akun yang juga secara militan melakukan kritiknya terhadap pemerintahan. Lebih trengginas bahkan. Kritik dengan meme bukan suatu hal yang bisa dianggap sebelah mata, terlebih berisi keresahan-keresahan terhadap negara. Akun shitposting membawa kesegaran, menjadi oase di tengah tandusnya pemikiran kritis atau kritik kepada kampus bahkan pemerintahan. Kritik yang memang seharusnya dilakukan oleh akun-akun lain tapi hanya diam saja. Akun-akun tersebut menjadi oposisi, baik dari kampus dan organisasi yang seharusnya menjadi oposisi dari kampus itu sendiri.

Kita semua mengetahui bahwa kekosongan oposisi hanya akan membuat penguasa makin semena-mena. Hal tersebut bukan hanya berlaku pada birokrasi di skala pemerintahan, tapi juga universitas yang (konon) katanya adalah miniatur dari sebuah negara. Ketiadaan tersebut menumbuhkan pemikiran bahwa yang seharusnya beroposisi malah berkoalisi pada birokrasi yang kemudian bertambah gemuk, buncit nan hampa.

Memang jika dilihat secara sekilas, akun shitposting tidak berefek langsung terhadap kampus, tapi saya yakin akun-akun tersebut membuat orang-orang yang ada di birokrasi menjadi risih. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kali adanya usaha untuk melaporkan bahkan meretas akun-akun shitposting. Selain membuat resah, saya juga yakin apa yang di-upload, meski terlihat receh, juga berisi kritik yang juga membuka mata mahasiswa-mahasiswa biasa saja agar lebih melek, agar lebih banyak memiliki sudut pandang dalam melihat birokrasi yang ada di kampus. Dengan caranya sendiri, mereka melakukan hal-hal yang sepatutnya dilakukan oleh orang lain.

Saya jadi berpikir, ketika tugas tersebut malah dilakukan oleh akun shitposting, lalu mereka yang seharusnya melakukan itu ngapain?

Penulis: Ahmad Yusrifan Amrullah
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Tidak Ada Batman di Babarsari Gotham City

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya
Exit mobile version