Tiap kali saya berselancar di media sosial dan ketemu konten dari akun karang taruna, pasti, pasti nih, kontennya tentang menyindir pemuda dan warga desa yang nggak bisa gabung rapat atau kegiatan. Pasti.
Saking seringnya saya nemu konten begituan, saya sampai berpikir kalau akun karang taruna itu diciptakan buat nyindir. Nggak nyindir, nggak makan. Jelas ini asumsi dangkal ya. Saya sendiri tau kalau mereka jelas bisa bikin dan punya konten selain ngrasani tetangga sendiri. Tapi kalau kebanyakan nyindir dan ngamuk, ya itulah yang melekat di benak orang-orang kan.
Saya tahu, yang namanya kumpul, srawung, dan mengikuti kegiatan di kampung itu penting. Hanya saja, dunia masa kini udah beda banget dengan dulu. Beberapa tulisan tentang karang taruna di Terminal Mojok juga sudah memberikan gambaran bahwa karang taruna tak menarik, bahkan obsolete.
Bisa dibilang, saya masih 50:50 perkara apakah karang taruna ini obsolete atau tidak. Tapi, saya jelas tidak setuju dengan konten media sosial yang bukannya menyadarkan, malah memberi alasan kenapa sebaiknya memang tidak usah gabung organisasi pemuda tersebut.
Karang taruna nggak lagi menarik, dan itu nggak bisa dihindari
Kita nggak bisa memungkiri lagi, bahwa untuk bisa hidup aman, persiapan harus dimulai sejak dini. Dekade lalu, orang masih bisa mencari jalan hidup setelah lulus kuliah. Masih bisa eksplorasi opsi, mencoba, dan gagal. Kini, kau tak punya opsi gagal sama sekali. Dunia memang semengerikan dan sebajingan itu.
Maka tak mengherankan jika mahasiswa dan pemuda pada umumnya di masa kini jauh lebih ambisius. Dulu ambisiusnya mahasiswa itu kalau nggak ngumpulin piagam, ya IPK 4. Kini, sertifikasi magang, online course, skill certificate adalah jalan ninja mereka.
Kenapa? Ya karena mereka ingin selamat dalam hidup mereka dan bisa kerja dengan gaji tinggi.
Rasanya amat masuk akal jika para pemuda tersebut tidak memasukkan karang taruna sebagai prioritas mereka. Bahkan organisasi kampus aja mulai terlihat sepi ketimbang dekade lalu (pengamatan pribadi, dan saya amat bisa salah). Bagi mereka ya, waktu di rumah adalah waktu mengisi energi dan pergi dari hiruk pikuk dunia. Sebab, mereka sudah habis-habisan di luar sana.
Organisasi karang taruna juga tak menarik bagi mereka karena yang mereka dapat di organisasi tersebut nggak jadi apa-apa. Maksudnya, tidak ada sertifikat, tak memberi nilai tambah bagi para rekruiter. Ya sebenarnya organisasi ini bisa memberi kalian pelajaran how to behave dan how to act sih, tapi ya tetap saja nggak bisa dimungkiri, ini tidak terkonversi jadi poin juga kan.
Kalau ujungnya para mahasiswa tersebut keliatan amat sombong di kampung, sebenarnya ini ya nggak mengagetkan. Bagi mereka, dunia baru yang mereka jalani jauh lebih masuk akal dan dunia yang dulu pernah mereka sambangi, jadi terlihat tak menarik. Ini siklus yang wajar sebenarnya. Saya nggak menormalisasi ya, cuman nggak kaget aja.
Perlakuan tak menyenangkan
Nah, ini juga yang bikin kenapa pemuda malas sama karang taruna: value yang berbeda serta perlakuan yang bisa dibilang nggak menyenangkan. Sedikit banyak kita udah bahas value di atas, nah kini kita bicara perlakuan.
Di komen postingan akun karang taruna, nggak sedikit yang bilang di organisasi tersebut ada kubu-kubuan. Udah gitu, status ekonomi bikin perlakuan jadi berbeda. Dari dua ini saja, wajar jika orang udah males.
Contoh perlakuan tidak menyenangkan lainnya adalah kadang, pemuda yang sedang sibuk ini sebenernya masih niat gabung, tapi udah kena sikat. Misal, mereka skip karena katakanlah ada acara di kampus. Nah, abis itu dikatain lupa daratan, pedot oyot, dan sebagainya. I mean come on, kalau organisasi itu mempersatukan, yang mereka lakukan ini justru memecah belah.
Perlu diingat juga, mahasiswa yang kuliah itu bebannya nggak cuman perkara akademik, tapi juga batin. Orang tua mereka di rumah pasti mengingatkan bahwa biaya yang dikeluarkan itu besar, jadi jangan gagal. Itu saja sudah cukup bikin pundak mereka begitu berat. Ditambah dengan tuntutan dunia kerja yang makin hari makin nggak ngotak.
Lha kok koe ngerti-ngerti nyocot “ra srawung rabimu suwung”, joh, rumangsamu koe sing nyekel dunia po pie, Bos?
Sebenarnya ini nggak eksklusif permasalahan karang taruna sih, perkumpulan bapak-bapak aja ada masalah kayak gini. Contoh, bapak-bapak yang kerjanya merantau dan jarang pulang diminta sama aktifnya dengan bapak-bapak yang nganggur. Kalau nggak sama aktifnya, didenda dan dikucilkan.
Jane sing goblok sapa sih?
Kontraproduktif
Bagi saya, konten akun karang taruna yang menyindir dan sok keras itu kontraproduktif. Alih-alih menyadarkan, malah bikin para pemuda punya alasan untuk jauh-jauh dari organisasi tersebut. Value beda, perlakuan tak menyenangkan, yo prei wae, Bolo.
Justru ini waktunya karang taruna melihat celah. Berubah mengikuti zaman, tapi tetap pegang nilai-nilai yang baik tanpa harus kompromi kelewat jauh. Gimana caranya ya itu terserah kalian, golek dewe. Wong enom kok bingungan.
Tapi ya kalau karang taruna masih seperti sekaran, pasukan manut senior ra mashok di kampung, ya, mohon maaf aja nih ya…
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sarjana Lulus Kuliah Nggak Harus Cari Kerjaan Enak, Jadi Ketua Karang Taruna pun Nggak Ada Salahnya



















