Sebagai warga perantau yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi, melihat Kota Malang tentu saja membuat saya terkesima. Hampir 24 jam di beberapa sudut kota masih tetap “hidup”, ditambah nuansa dingin dan romantisme untuk berencana liburan ke tempat-tempat wisata.
Meski begitu, ada persoalan yang lumayan pelik bagi saya saat hidup di Malang. Destinasi wisata alam favorit saya itu pantai. Ala-ala pujangga muda yang ingin menghirup bau samudera dan mendengar deburan ombak sembari duduk di atas pasir putih. Masalahnya adalah, pantai di Malang ini jauh-jauh jaraknya!
Setiap berangkat ke pantai di Malang, saya bergumam “otw minggat” karena jarak tempuhnya bisa 2-3 jam. Edan opo kulon, Rek?
Daftar Isi
Tetep nekat, demi menghirup angin pantai Malang
Bodohnya lagi, saya nggak pernah kapok dan tetep “gas!” tiap diajak ke pantai. Padahal jalannya jauh plus gronjal-gronjal. Jelek buanget pokoknya. Niat healing bisa berakhir sinting kalau gini.
Tapi tetap saja, ajakan camping atau kegiatan apa pun asal ke pantai juga tidak bisa saya tolak. Saya bahkan rela terpontang-panting duduk di jok mobil belakang demi menikmati kebersamaan camping bersama kawan-kawan. Udah jauh, ngantuk, selalu ada drama nyasar, mau tidur di perjalanan hawanya selalu diajak dugem, mana bisa merem.
Keindahan Pantai Malang yang tidak bisa saya tolak. Tapi yang namanya keindahan, memang butuh pengorbanan. Saya ceritakan pengalaman saya camping pertama kali di pantai Malang, biar kalian paham rasanya.
Pengalaman berkemah ke pantai yang pertama saya di Malang adalah ke Pantai Banyu Meneng. Jujur saya bingung, karena saya tidak tau asal usul nama tersebut, padahal tetep ada suara ombak. Ombaknya nggak “meneng” kayak di pantai Bama Baluran. Tapi kenapa namanya pantai Banyu Meneng?
Baca halaman selanjutnya
Berasa nemu private beach di balik Banyu Meneng…
Berasa nemu privat beach di balik Banyu Meneng
Ketika menelusuri di pantai tersebut, ternyata ada spot pantai yang lebih tenang dan gak rame. Saat itu saya berdelapan sampai di pantai Banyu Meneng sekitar pukul 03.00 dini hari karena ada drama nyasar, mobil terperosok karena salah jalur, dan memang kami berangkat sekitar jam dua belas malam.
Saat itu Desember 2022 dan Malang sedang musim penghujan, jadi spot untuk mendirikan tenda terendam air. Sehingga saya dan kawan-kawan mendirikan tenda di pesisir pantai, dini hari itu juga. Karena ‘meneng-meneng’ airnya naik sampe masuk tenda, akhirnya kita pindah di spot yang memang ramai ketika pukul sembilan pagi, tenda kami bongkar dan kita menuju spot lain yang lebih ramai pengunjung.
Beberapa teman saya yang gabut sempat jalan jauh sampai bukit bebatuan di hampir ujung Pantai Banyu Meneng. Kembali dengan kabar kalau ada spot pantai yang lebih sepi dengan pemandangan bagus di balik bukit. Karena kami ngerasa nanggung dan kurang puas hanya duduk-duduk saja di pesisir pantai Banyu Meneng, akhirnya kami sepakat untuk menuju ke balik pantai Banyu Meneng. Voilaa… ini baru namanya pantai buat healing.
Surat terbuka untuk Pemkab Malang
pada awalnya saya sedikit meremehkan pantai di Malang yang hanya selajur tapi beda-beda nama aja. Saya kira ya bakal gitu-gitu aja modelannya. Eh ternyata ada spot yang mirip Uluwatu. Tenang, jauh dari keramaian, indah, dan membuat saya nyaman untuk berjemur di bawah terik matahari sambil menikmati bau samudera. Ya itu tadi, pantai di balik bukit Banyu Meneng.
Tapi, gara-gara mikirin berangkat dan pulangnya, bikin saya pengen misuh. Kita harus milih, mau pulang lewat jalan pas berangkat yang sangat amat “bergelora”. Kalau ingin jalan yang lebih mulus, mau nggak mau harus menempuh Jalur Lintas Selatan yang jelas lebih jauh.
Jujur saja, hal ini bikin saya merasa aneh. Malang itu punya pantai yang nggak bisa dianggap sepele. Tapi, kok ya jalurnya jelek banget. Potensinya jadi ketutupan gara-gara hal ini. Oleh karena ini tempat wisata, bukannya infrastruktur yang beres adalah prioritas?
Menurut saya, perkara jalan (jalan doang loh) harus segera diperhatikan. Bayangkan saja kalau aksesnya bagus dan mulus, jelas bikin pemasukan daerah meningkat sih. Kalau aksesnya kek gini, orang berkunjung sekali jadi kapok. Padahal ya, yang namanya jualan itu kan nyari repeat order, bukan bikin pelanggan kapok, betul apa betul?
Nom-noman Malang butuh healing, dan saya rasa, Pemerintah Malang perlu mengakomodir hal ini dengan cakap. Setidaknya ya, dengan bikin jalan pantai yang bagus. Itu doang loh, nggak susah kan?
Penulis: Ferika Sandra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Selamat Ulang Tahun Kota Malang, Jangan Jadi Kota yang Problematik