Jadi gini, ada sebuah acara, menampilkan satu penulis kondang bernama Ahmad Kindi. Tajuk acaranya bikin geger, “Pelatihan Menulis 1 Novel dalam 1 Hari”. Nggak hanya sampai sana, para netizen dibikin heran dengan penjelasan siapa sih Ahmad Kindi itu. Dalam banner tertulis, blio adalah penulis satu novel dalam satu menit.
— Literary Gatekeepers (@litgatekeeper) November 2, 2021
Sabar, sabar, kita bedah satu per satu dulu. Satu jam itu berarti 60 menit, satu novel minimal ya 60 halaman lah. Jadi, Ahmad Kindi, dalam satu menit bisa menulis sebanyak satu halaman. Nah, ketika Anda membaca sampai paragraf ini, blio sudah menyelesaikan kurang lebih satu halaman untuk novel terbarunya.
Seperti biasa, netizen justru menghardik penulis jempolan ini. Katanya, mereka nggak tahu siapa sih Ahmad Kindi itu. Bahkan mereka meragukan kapasitas blio yang bisa menulis satu novel dalam satu jam. Di dunia simulakra ini, apa sih yang nggak mungkin? Lha wong satu pejabat rangkap enam jabatan sekaligus saja bisa. Apalagi mung bikin satu novel dalam satu jam, itu mah kecil.
Penulis kawakan seperti Ahmad Kindi ini jangan sampai hatinya ciut hanya karena diplekoto oleh netizen. Harusnya, kehebatan blio ini harus dibudidayakan dan diawetkan agar masyarakat Indonesia terus produktif akan karya, bukan melulu huru-hara.
Ahmad Kindi, harusnya dibuatkan kelas kepenulisan. Emangnya hanya orang India saja yang bisa membaca cepat dengan kata-kata “chu chu chu chu chu…” Orang Indonesia lebih sakti dan pilih tanding, yakni menulis cepat. Saya curiga, blio ini wartawannya Lambe Turah. Ah, tapi mosok sih sekaliber blio menulis untuk akun gosip yang mengedepankan kecepatan namun keakuratan dipertanyakan?
Saya serius, coba buatkan kelas menulis dan blio yang mengampu, jelas yang daftar banyak. Lha wong kelas menulis Iqbal AD yang jargonnya tulisan bisa tembus media nasional saja laris, apalagi ini yang menargetkan satu novel dalam satu jam. Sekelas Dea Anugrah yang (katanya) kurang bisa menulis cepat, sudah pasti bakalan mendaftar kelas menulis Pa Kindi.
Sudah lah, jargon lebih penting kualitas ketimbang kuantitas itu sudah so yesterday. Kalau bisa kuantitas melaju mulus bersama kualitas, kenapa enggak, kan? Dan blio ini lah jawaban dari rumpangnya sastra Indonesia belakangan ini. (Sial, ketika saya menulis sampai sini, blio sudah menyelesaikan satu buku. Hebat betul blio itu.)
Nulis novel butuh riset? Ah, itu sudah ketinggalan zaman. Nulis novel itu trabas saja. Nggak penting itu yang namanya data. Menulis ala Pramoedya itu ditinggalkan saja. Novel yang berkaitan dengan sejarah Indonesia yang kaya dan pepak, bakalan kalah dengan model kepenulisan novel sat set ala Ahmad Kindi.
Tere Liye yang katanya paling produktif, saya yakin kok nggak bakalan bisa menulis Bedebah di Ujung Tanduk, buku terbarunya itu, dalam waktu satu jam.
— Marwa (@Mharz_IM) November 2, 2021
Nggak hanya menulis novel, namun blio juga pernah membuat acara serupa dengan tajuk yang lebih mencengangkan, yakni menulis satu buku dalam satu jam. Franz Magnis-Suseno menangis mengetahui fakta ini. Bahkan, Goenawan Mohamad yang menulis Catatan Pinggir selama bertahun-tahun, apa kabar, ya? Mana bisa dua nama ini saya sandingkan dengan kebringasan literasi Ahmad Kindi.
Saya menemukan sebuah konklusi, bahwa yang salah di sini bukan Ahmad Kindi lantaran saya begitu gembira dengan datangnya blio. Bak Jesus dari Nazareth, kedatangan blio bukan untuk disindir, melainkan untuk dirayakan. Pun untuk kultur pendidikan Indonesia, kedatangan blio adalah alarm bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita.
Bisa saja, dulu sewaktu masih kuliah, blio ini adalah salah satu korban dunia perkuliahan yang begitu keras. Laprak, esai, dan juga resensi datang satu persatu kepada blio. Dosen meminta tugas diselesaikan dalam waktu satu minggu membuat blio membentuk sebuah kepribadian yang dipaksa untuk menuruti semua itu. Ayolah, sistem macam ini kurang sehat dalam dunia pendidikan kita.
Tak selamanya sistem yang berat seperti ini menghasilkan permata seperti Ahmad Kindi. Bisa saja menghasilkan orang-orang yang justru muntab kepada dunia kepenulisan yang bukannya menghasilkan karya, malah menghasilkan tindak kecurangan yang lebih masif.
Dalam kultur tugas yang banyak dan mepet, menjadikan jalan pintas terbagi menjadi dua; plagiarisme dan jasa joki. Tapi, saya yakin lah kalau Ahmad Kindi nggak mungkin main kopi paste untuk membuat satu buku atau novel dalam waktu satu jam. Namun tetap saja, kultur pendidikan kita yang begini begini saja itu nggak baik, Pak Nadiem.
Ketika Ahmad Kindi sudah mulai terbiasa, menulis sebuah buku dalam satu jam bukan lagi menjadi soal. Bahkan, bisa saja, blio bahkan bilang begini, “Bikin buku dikasih waktu satu jam? Kok lama banget?” Sudah, lupakan saja potensi Sabda Armadio, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, atau Dea Anugrah siapa itu, berikan saja penghargaannya kepada Ahmad Kindi sekarang juga!
Sumber gambar: Pixabay