Adu Tangkas Bus Kota Kopata, Aspada, Puskopkar, dan Kobutri

Adu Tangkas Bus Kota Kopata, Aspada, Puskopkar, dan Kobutri

Jogja dengan bus kota seperti narasi usang yang sudah lapuk dimakan zaman. Setiap menceritakan kedigdayaan bus kota, selalu saja dimulai dengan kata “dahulu…” seakan Trans Jogja ini nggak ada seksi-seksinya sama sekali. Tapi, memang itu kenyataannya. Bagai evolusi Pokemon, terkadang perubahan sebelumnya tidak mampu tergantikan walau kini sudah menjadi evolusi yang paling kuat.

Ada sebuah ritus khusus warga Bantul yang barangkali tidak akan pernah terjadi lagi. Yakni sebuah pemandangan riuh kala pelajar, pedagang sayur, dan beberapa warga yang mau pergi ke Jogja, biasanya mereka menunggu bus di pinggiran jalan Imogiri Timur. Mereka menunggu bus kota dengan julukan Imogirian karena bus tersebut berasal dari Imogiri dan bermuara di Terminal Umbulharjo yang kini sudah menjadi XT-Square.

Bus kota ini berukuran kecil, isinya sekitar belasan penumpang yang tiap pagi pasti berjubel diisi oleh para anak SMA dan beberapa pegawai kantoran. Tidak kalah nyeleneh dari truk gandeng, biasanya bus-bus ini di bagian pantatnya punya semboyan-semboyan yang menarik. Ada yang bertuliskan, “Astuti wis keju” dengan menampilkan sosok wanita yang tengah tertidur dengan make up menornya. Sosok ini sempat bikin masa kecil saya pusing bukan main. Bukannya apa-apa, saya selalu berpikir, Astuti ini keju kenapa, sih? Sini cerita.

Ada pula bus Baker, bus ini punya sapaan khusus, yakni pendekar. Disebut pendekar lantaran bus ini adalah bus satu-satunya yang berani nanjak hingga Kaliurang. Bayangkan saja, Trans Jogja yang katanya memenuhi semua kebutuhan moda transportasi warga Jogja saja bahkan nggak ada yang berani mengambil trayek menuju Kaliurang. Bus berwarna putih dengan dua garis biru seperti positif hamil ini adalah satria yang dilumpuhkan secara paksa. Hadirnya sudah nggak ada lagi, tapi ketidakadaannya ini tidak ada armada yang mampu menggantikan.

Jika berbicara mengenai bus kota di Jogja, jangan sampai tidak melibatkan empat sekawan yang acap kali menghiasi Jogja dengan kepulan asap hitam. Ya, sang kakak pertama bernama Kopata dan adik-adiknya yakni Aspada, Puskopkar, dan Kobutri. Empat serangkai ini adalah objek pisuhan para pengguna jalan. Dan ketika hadirnya perlahan hilang, baru kerasa jalanan menjadi sepi tanpa mereka.

Bus-bus ini menjamur dalam dekade 80-an, di mana kebanyakan dari mereka yang melintasi UGM, disebut dengan Bus Kampus. Dari sinilah banyak hal-hal puitis yang muncul, mengaitkan antara UGM dengan moda transportasi ini. Kesatria utama yang muncul pada saat itu adalah Koperasi Angkutan Umum Perkotaan atau Kopata. Bus ini adalah bus pertama yang dikelola secara baik dan memiliki izin trayek resmi, berukuran lebih besar dari bus Imogirian dan platnya berwarna kuning.

Lantas, muncul “adik-adik” Kopata bernama Aspada, Puskopkar, dan Kobutri yang juga dikelola oleh koperasi-koperasi angkutan kota. Dekade ini adalah puncak jaya bagi moda transportasi umum yang selalu mengisi arteri jalanan Kota Jogja. Akhir dekade 80-an, tepatnya pada 1989, muncul Damri yang lepas dari perusahaan angkutan berbadan hukum koperasi.

Ketika empat serangkai mengisi jalanan perkotaan, Baker mengambil trayek antarkota dan Imogirian mengisi nadi Bantul-Jogja, Damri mengisi jalur-jalur perintis yang kebanyakan melewati ringroad. Trayek mereka pun kebanyakan ditentukan oleh koperasi itu sendiri sehingga menghasilkan tumpang tindih dan semrawut (sebelum ada aturan rolling). Bayarannya ditentukan melalui setoran, bukan ketetapan bulanan. Itu tandanya, makin ngebut, makin banyak penumpang yang dibawa, makin banyak pula pundi-pundi rupiah yang dibawa.

Berbicara terhadap empat serangkai bus kota, ada hal menarik selain riuhnya ketika mereka kebut-kebutan kejar setoran. Yakni berbicara tentang ketangkasan di antara masing-masing bus. Ada plus dan minus (walau kebanyakan minus). Saya nggak ragu untuk nge-spill daya tarung keempat bus ini karena mereka berempat kini sudah almarhum.

Pertama adalah Kopata. Jika dilihat dari depan, bisa dibayangkan bus ini memiliki wajah yang khas dan cuek-cuek seperti Rangga ketika masuk ke perpustakaan. Tunggu dulu, bukannya menyamakan Nicolas Saputra dengan sosok Kopata, tapi kakak tertua ini memiliki perawakan kurang lebih sama dengan Rangga. Yakni terlihat kalem, tapi bakal langsung njrantal ketika sudah disentuh oleh pilotnya, pak sopir yang sedang bekerja.

Bus kota ini dominan oleh warna putih dan merah bladrus. Warnanya pudar-pudar gitu karena terbakar oleh matahari. Bagian depan, ada yang cembung dan ada yang lurus. Makin cembung bagian depan bus, maka makin tua umur bus tersebut.

Yang semakin menentukan kelayakan armada ini adalah ketika masuk kabin bus. Lihat saja pegangannya di dekat puntu, semacam pipa yang mewujud berupa besi. Biasanya jika kamu pegang akan mbekas dan sangit ngaudubillah. Kadang saya sering mbatin, “Apa saja yang telah dilewati penumpang-penumpang bus ini. Kok ya nieng-nya begitu bikin merinding.”

Tapi, jika sudah ngegas, saya sarankan untuk ambil duduk di bagian depan. Sensasi menaiki wahana roller coster akan Anda dapatkan hanya dengan ongkos dua ribu rupiah. Apalagi, sepengalaman saya, sopir Kopata kebanyakan suka mbadut alias bercandaan yang nggak jelas dengan kondekturnya. Dua hari saya pulang sekolah menggunakan Kopata dengan sopir yang sama, saya bisa tahu bagaimana kondisi dapur rumah tangga sang sopir.

Kedua adalah Aspada. Jika menganggap Kopata adalah bus paling ganteng, maka saya harus perkenalkan Aspada kepada kalian. Secara fisik, bus ini lebih berbentuk “kotak” ketimbang Kopata. Armadanya kala itu, banyak yang diperbaharui dengan model yang cantik. Dengan warna biru tua, makin membuat armada ini semakin elegan.

Jujur, dari keempat bus ini, Aspada adalah armada yang paling jarang saya gunakan. Hanya beberapa kali dan saya ingat pernah naik jalur 7 dari Jalan Veteran menuju Bunderan UGM. Kelebihan bus ini selain tampan adalah kebanyakan sopirnya muda-muda saat itu. Banyak armada yang dilengkapi dengan musik dan sering kali selera mereka sama dengan selera khas warnet. Lagunya mistisnya Gebby, Tinggal Kenangan, saya hafal ketika menaiki bus ini.

Kekurangannya adalah sumuk karena kaca yang bisa dibuka bagian atas. Dan hanya orang dewasa saja yang bisa mencapai kaca tersebut. Berbeda dengan Kopata yang kebanyakan kaca buka tutupnya di bagian bawah dan menyeluruh. Kamu mau mengeluarkan kepala dan badanmu seluruhnya pun bisa. Tapi, ya kamu tahulah kalau hal itu berbahaya.

Ketiga adalah Puskopkar. Secara fisik, bus kota ini sama seperti kakak pertamanya, yakni Kopata. Semakin cembung bagian depan, maka semakan tua usianya. Bahkan (kebanyakan walau nggak semua), bagian bempernya terkadang tampak ngewel ketika bus ini digas oleh sopirnya. Walau terkesan jahat, bus dengan warna dominan putih biru ini adalah bus dengan bagian “wajah” yang paling nggak menarik. Terkadang, terdapat antena di bagian depannya yang hingga saat ini saya nggak paham untuk apa.

Di bagian kabin, ketika bus ini mulai berpacu di jalanan, rasanya seperti ngereteg nggak karuan. Bau nieng bertaburan, kerak-kerak di bagian kaca seakan hendak mengelupas. Ketika digas ngebut, saya bisa ngerasa seperti naik pesawat walau saat itu saya belum tahu bagaimana rasanya naik pesawat. Dan beberapa tahun setelahnya, ketika saya merasakan take off pesawat, rasanya nggak semenakutkan ketika menaiki armada paling tangguh bernama Puskopkar.

Keempat adalah Kobutri. Bisa dibilang, bus ini adalah bus yang paling imut. Mungkin jika di Bogor, bus bertipe lebih mungil dari kakak-kakaknya ini disebut dengan kol. Banyak warga Jogja yang mengatakan, ketika menaiki bus ini, mereka menyebutnya dengan ngekol. Banyak juga yang memplesetkan Kobutri dengan sebutan Kolbutri. Terlepas dari tetek bengek urusan nama, bus ini memiliki ukuran dan kapasitas yang paling mungil di antara Kopata, Aspada, dan Puskopkar.

Saya sering naik bus ini di luar trayek yang jamak ditemui. Kobutri, bus berwarna kuning ngejreng dengan spesifikasi ketangkasan ala Isuzu Bison keluaran 1984 adalah andalan para ibu-ibu pengajian untuk disewa. Entah untuk menjenguk ke rumah sakit, atau plesiran ke tempat wisata. Bentukannya yang mini, pas untuk charteran dalam jumlah yang sedikit.

Bus ini hadap-hadapan antar penumpang. Versi kecil, sederhana, dan apa adanya ketimbang Trans Jogja, berbeda dengan kakak-kakaknya lainnya. Urusan kenyamanan dan ketangkasan bisa dibilang kalah. Namun, masalah kelincahan, yah, begitulah. Fasilitasnya hanya satu, kita bisa duduk njejeri sopir jika beruntung.

Bus kota ini bukan favorit anak-anak sekolahan karena mereka nggak bisa ngawe-ngawe keluar. Nggak bisa nggodani pengguna jalan lain ketika terjebak di bangjo. Lantaran pintu akses keluar masuk hanya satu, itu pun diperuntukan bagi kondektur yang ngitung duit atau teriak-teriak seperti ini: “Hauwww hauuww hauwww,” embuh artinya apa. Tapi saya yakin itu adalah daya magisnya.

Jika ditarik garis lurus di antara keempatnya, penyebab bus-bus ini kini tidak eksis lagi itu karena buruknya fasilitas. Apalagi ketika menyongsong tahun 90-an, taksi mulai masuk ke dalam skema transportasi Kota Jogja. Sekarang? Apa yang bisa diharapkan dari bus tua renta pesakitan yang hanya bisa menyimpan secarik kertas bertuliskan kenangan?

Saya pun menyimpan ragu yang berlangsung lama kepada Trans Jogja. Hadirnya, walau dengan label lebih baik dan bersih ketimbang bus kota sebelumnya, tak pelaknya hanya sebagai eksistensi belaka. Tidak pernah menyentuh sebuah esensi yang menyeluruh. Secara tidak langsung, Trans Jogja ini mengerdilkan kebesaran Jogja itu sendiri lantaran hanya mengisi bagian kota saja.

Kopata, Aspada, Puskopkar, dan Kobutri adalah masa lampau yang harus terus dipupuk. Bukan sebagai bangkai dan tulang belulang berupa kerangka besinya, melainkan sebuah monumen yang pernah hadir disertai riuh hiruk pikuk kota Jogja. Berjejelan manusia yang beradu waktu guna masuk ke sebuah bus. Bukan manusia yang berjejelan mengisi kemacetan dan menjadikan kota ini pesaing ketat ibukota nun jauh di sana.

BACA JUGA Angkot, Sahabat Sejati Mahasiswa yang Ingin Hidup Minimalis dan tulisan Gusti Aditya lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version