Ada Shaqiri di Restoran Swiss (Kisah Tukang Kontrol Sertifikat Vaksin)

Menjadi tukang kontrol sertifikat vaksin di restoran membuatku menemui macam-macam respons orang pada aturan pandemi.

Ada Shaqiri di Restoran Swiss (Kisah Tukang Kontrol Sertifikat Vaksin) Terminal Mojok.co

Ada Shaqiri di Restoran Swiss (Kisah Tukang Kontrol Sertifikat Vaksin) (Shutterstock.com)

“Grüezie Mitenand,” sapaku di depan pintu, setelah aku membukakan pintu pada beberapa anak muda.

“Grüezie,” balas seorang remaja.

Hampir setahun ini tugasku di restoran sebagai pelayan berganti menjadi tukang kontrol sertifikat vaksin. Celanaku jeans biru, kaus putih, dan harus memakai rompi oranye mirip narapidana KPK. Aku dibekali telepon genggam yang di-setting khusus hanya bisa untuk memindai.

Aku harus berdiri di belakang pintu kaca tertutup. Sebagai orang Jawa, aku merasa para tamu yang akan masuk adalah keluarga yang harus dihormati. Jangan sampai tamu kita itu merasa tak nyaman. Lebih-lebih mereka datang akan memasukkan makanan ke perut. Tentu saja mereka harus memiliki batin gembira, bukankah kata orang tua kita, makanan itu akan jadi daging.

Menurut peraturan dari pemerintah Swiss, negara yang kutinggali sejak 1996 ini, setiap tamu restoran yang datang harus mengenakan masker. Jika tamu hendak makan di dalam ruangan, harus menunjukkan sertifikat vaksin dan kartu identitas. Jika tamu tak memiliki sertifikat vaksin, ia harus duduk di teras luar restoran atau take away.

Tugasku hanya berdiri menunggu tamu yang akan masuk restoran. Lewat pintu kaca tembus pandang aku bisa mengintai tamu yang akan masuk. Ketika tamu sudah dekat, maka pintu aku buka, masuklah mereka. Pun ketika tamu akan keluar, aku buka lagi pintunya. 

Buka tutup pintu ini tak diharuskan, cuma inisiatifku sendiri, semata-mata untuk menaburkan rasa keramahtamahan budaya kita.

Ini musim dingin, suhu udara di luar sekitar 3-6 derajat Celsius. Untuk itu pintu harus selalu ditutup dan dibuka kalau ada tamu akan masuk atau keluar.

Tugas baruku sebagai tukang kontrol sertifikat vaksin tak bisa dianggap mudah.

Pertama, sertifikat vaksin harus diperiksa lewat telepon genggam. Setelah bukti sertifikat itu ditunjukkan, harus saya scan dengan telepon genggamku. Jika sertifikat itu masih berlaku, di ponsel akan muncul tulisan “Erfolg”, artinya beres. Tapi jika hasil scan memunculkan warna merah, artinya sertifikat itu sudah kedaluwarsa, maka tamu tak diizinkan masuk. Ia harus memilih antara makan di teras atau take away.

Kedua, setelah urusan scan sertifikat vaksin selesai, si tamu harus menunjukkan kartu identitas. Tugasku mencocokkan apa benar nama di sertifikat vaksin dan nama di kartu identitas, termasuk mencocokkan foto dengan wajahnya.

Nah, di sini kebanyakan tamu ngeyel dan tak mau menunjukkan. Jika mau sambil ngedumel bahwa memangnya aku polisi. Bahkan kadang dengan kasar bertanya balik, apakah aku juga sudah divaksinasi?

Dengan kalem kujawab, sudah tiga kali dengan vaksin Moderna. Setelah mendapat jawaban itu, biasanya ia ngeluyur pergi.

Mengingat pemberlakuan kontrol sertifikat vaksin dan menunjukkan kartu identitas merupakan langkah baru dari pemerintah federal Swiss. Tampak orang-orang merasa enggan, canggung, bahkan ada yang nyeletuk seperti hidup di negeri diktator.

Peraturannya, remaja di bawah 16 tahun boleh makan di restoran tanpa menunjukkan sertifikat vaksin. Tapi ia harus tetap memakai masker dan menunjukkan kartu identitas yang tertera tahun kelahiran.

Aku sering terkecoh dengan postur anak muda. Ada anak Afrika tinggi sekali, aku minta tunjukkan sertifikat vaksin, ia menolak, mengaku masih berusia 11 tahun. Aku hampir tak percaya, tapi dugaanku berguguran, setelah ia perlihatkan kartu identitasnya memang berusia 11 tahun.

Problem yang paling aku sering alami, jika tamu yang datang tidak menyimpan hasil sertifikatnya di telepon genggam, tapi berupa fotokopian di kertas. Di sini proses kontrolnya cukup memakan waktu. Tak jarang tamu tak sabar dengan mengumpat, berapa lama untuk mengontrolnya, satu jam, dua jam?

Kusadari bahwa di kotaku Zug ini, hidup lebih dari 120 bangsa sehingga aku sering menemukan berbagai sertifikat vaksin dari Kanada, Bosnia, Ceko, Peru, AS, Turki, dan negara-negara lain.

Yang paling sulit jika bertemu tamu kebangsaan Yunani, Rusia, dan Israel karena mereka memiliki alfabet yang bukan bahasa latin. Letak kerepotannya ada pada mencocokkan nama mereka di sertifikat dan di kartu identitas. Kalau aku bertemu tamu tiga bangsa ini, aku agak sedikit “tutup mata” karena menyita banyak waktu.

Selama ini ada dua orang yang ngotot dan sangat sulit diatur. Mereka menolak mengeluarkan sertifikat vaksin dengan bahasa kasar dan mata melotot. Boro-boro mau menunjukkan kartu identitas. Setelah perbincangan alot dengan dibantu teman kerjaku, akhirnya mereka menurut.

Dari Mustofa sampai Shaqiri

Apakah situasinya tegang terus? Ya, benar, di pintu masuk itu. Tapi ada hiburannya juga. Terutama ketika aku mengecek kartu identitas, tentu aku membaca nama mereka. Yang membuat aku kadang tersenyum, ada beberapa nama yang mirip dengan nama di Indonesia. 

Misalnya, ada perempuan bernama Muji dari Bosnia. Ada nama Mustofa dari Mali, ada nama Abdulrachman dari Etiopia.

Tak jarang anak-anak muda dengan guyon memanggilku, “Hello Chef.”

Orang Turki banyak punya nama Faruk, Memed, dan Osman. Nama yang sulit dan panjang dari Sri Lanka, seperti Mahanthiran Sivagori, Baswheri Rajanam, Rino Suthawarman.

Ada pula bule Swiss yang namanya Karl Max. Kebetulan ia duduk di meja dekat aku berdiri, maka aku ajak guyon dengan bilang, “Nama Anda seperti Sang Revolusioner Karl Marx, apa masih saudaranya?” Sambil makan dengan santai dia jawab, “Ya, mirip saja.”

Ada dua tamu lelaki, usai aku periksa sertifikat vaksinnya, menyusul kuminta mereka tunjukkan kartu identitas. Seorang mencabut kartu identitasnya, begitu sulit terselip di dompet di antara kartu-kartu lain. Seorang yang lain bilang, lupa membawa kartu identitas, dia tunjukkan kartu bertuliskan polizei. Oh, polisi rupanya, dengan pakaian sipil.

Aku jadi tahu, bentuk dompet dan di mana mereka menaruh kartu identitas, karena seringnya melihat kartu nama mereka. Rupanya banyak orang punya tempat khusus menaruh kartu-kartu, ada kartu bank, asuransi, dan kartu lain pada semacam kotak segi empat dari kulit. Dan jika orang akan mengambil salah satu kartu di tempat kulit itu, cukup ditekan salah satu, kartunya keluar dengan sendirinya.

Melihat gestur orang belum makan dan sesudah makan memang berbeda. Orang yang belum makan, tatapannya agak kosong, sedikit lemah, optimismenya mengambang. Jika mereka usai makan, kebanyakan mereka bergerak lebih mengayunkan tangan sambil romannya penuh kepuasan.

Tamu bule-bule ini memang secara postur lebih gede dari rata-rata orang kita. Cakep? Nggak juga, tapi kalau ada yang cakep tampak penampilannya biasa. Yang kunanti-nanti sebenarnya kepala hitam dengan nama khas Indonesia, seperti Puthut, Muhidin, atau Kurniawan. Eh, sama sekali dari ratusan mungkin ribuan tamu nggak ada seorang pun dari Indonesia.

Ada perempuan muda bernama Nguyen. Aku sapa dan tanya, dari Vietnam kah? Ia membenarkan sambil duduk dengan cowok bulenya. Nama-nama Vietnam aku agak ingat, karena pernah berkunjung ke negerinya Paman Ho itu.

Ada beberapa tamu China, dengan nama sangat irit huruf, ada nama Tan, Lee, dan Yu.

Ada dua anak muda berjaket tebal nyelonong masuk, di saat aku sibuk mengontrol tamu lain. Setelah aku selesai mengontrol tamu, aku datangi dengan memanggilnya, “Entschuldigung, sertifikat vaksin, Bitte?” 

Entah mereka dengar atau tidak karena aku bilang dari belakang mereka. Maka seorang aku sentuh lengan jaketnya pelan. Ia menoleh ke arahku, dengan wajah marah. Ia tidak terima aku menyentuh jaket di lengannya. 

Pada kesempatan yang berbeda ada lima anak muda makan di teras dan seorang dari mereka memanggil namaku Sigi. Agak terperanjat juga, kenapa dia tahu namaku. Rupanya sebelumnya ia mendengar teman kerjaku memanggil namaku dan ia menirukannya. 

Aku memang sering dipanggil Sigi tanpa t, oleh teman-teman kerjaku, mungkin lebih mudah saja, sebab ada nama Siegfried dalam bahasa Jerman dengan singkatan Sigi. Teman-temanku yang dari Italia memanggilku malah Sigito. Bajindol, ditambah o, layaknya nama di Italia.

Aku merasa sok akrab dengan yang memanggil namaku tadi, maka aku mendekatinya. Teman di sebelahnya aku pegang lengan jaketnya. Ia bereaksi, “Jangan pegang-pegang, ini pelecehan seksual. Bisa kulaporkan polisi.”

Mendadak aku kaget sambil berpikir, batasannya di mana sentuhan sok akrabku dianggap melanggar pelecehan seksual? Aku tangkis dengan mengatakan, “Kamu laki-laki, bukan perempuan.” Rupanya teman-teman sebelahnya meledeknya bahwa dia perempuan, padahal ya laki-laki. Semua anak di situ tertawa. Mungkin anak itu bercanda denganku, tapi agak kaget juga aku. 

Model sok akrab ala di Indonesia dengan sering sentuh lengan atau bahu, tak mudah dipraktikkan di budaya individu liberal di sini.

Ketika aku libur, teman kerjaku menggantikan dan cerita bahwa ada dua polisi datang langsung mengecek satu per satu tamu di dalam restoran memakai telepon genggam polisi. Untungnya semua tamu sudah lengkap persyaratannya. Pemerintah memang serius, jika ketahuan ada tamu yang makan di dalam ruangan, tapi tidak memiliki sertifikat vaksin, petugas yang mengontrol akan dikenai denda dan paling berat, restoran akan ditutup.

Kebanyakan orang tak suka dengan peraturan yang membatasi, termasuk saat makan. Aku sering lihat, beberapa ibu tak melakukan vaksin dan membawa anak mereka makan di restoran. Bagaimana caranya? Kami menoleransi, anak-anak boleh makan di dalam ruangan, sementara ibunya menunggu di teras luar.

Ada tamu lelaki yang ramah minta aku melihat mata birunya, daripada lihat kartu identitasnya. Yang aku kaget ada anak muda cukup berotot dengan nama Shaqiri. Kontan aku menanyakan, apakah dia Shaqiri pemain sepak bola yang terkenal itu? Ia tersenyum malu, selain wajahnya beda, juga karena teman-temannya ikut tertawa. 

Belakangan aku menemukan nama Shaqiri sampai tiga orang yang berbeda. Aku pernah mengontrol kartu identitas lelaki tinggi bernama Granit. Lagi-lagi aku nyeletuk, keluarganya Granit Xhaka? Ia tersenyum renyah, sementara teman di sebelahnya tertawa sambil mengangguk-angguk.

Swiss memang banyak dihuni pendatang, terutama dari Balkan, eks Yugoslavia. Selain banyak pula pengungsi dari Tamil, Sri Lanka. Di Swiss nama Xherdan Shaqiri sangat terkenal, hampir sama dengan nama Roger Federer, pemain tenis kelas dunia.

Ada seorang gadis anggun dan cantik berasal dari Kosowo yang sering datang Penampilannya kalem, ada tahi lalat kecil di atas bibir. Aku jadi teringat kisah Bung Karno saat dijamu Josip Broz Tito di Belgrad, di sebuah disko di lantai bawah hotel. Tito mengundang para Miss Yugoslavia untuk berdansa bersama Bung Karno.

Kelebihan sebagai tukang kontrol sertifikat vaksin itu: aku merasa lebih dekat dengan para tamu. Mungkin aku bisa kontak satu per satu bahkan melihat identitas nama. Di beberapa sudut tampak ada pasangan berpacaran dan berciuman.

Ada sekelompok kecil gadis datang dengan muka berkeringat. Ketika kutanyakan kenapa berkeringat, mereka mengaku usai bermain sepak bola. Sayang mereka kalah melawan kesebelasan lain.

Dari cerita mereka, aku jadi tahu, rupanya para pendatang asing yang tinggal di Swiss punya klub main bola atas nama asal kebangsaannya. Ada tim bola dari Tibet, Afghanistan, Kosowo, dan Turki. Barangkali mereka ingin mengikuti jejak pendahulunya, seperti Hakan Yakin asal Turki, serta Shaqiri dan Xaka asal Kosowo.

Ada satu kejadian yang mengagetkanku. Seorang lelaki Swiss masuk restoran langsung nyelonong, tanpa aku kontrol. Dengan jalan pelan aku hampiri orang itu. Sungguh tak kusangka, dia kutanya dalam bahasa Jerman, malah dijawab dalam bahasa Indonesia, “Maaf, saya tak makan di dalam, saya hanya datang untuk beli dan pergi lagi.” 

Seketika aku diam sesaat, baru kali ini aku bertemu orang Swiss bisa bahasa Indonesia sangat lancar. Ketika aku hendak bertanya siapa nama dan tinggal di mana, sekiranya pernah ke Indonesia. Dengan cekatan dia menjawab, istri saya Lestari, orang Indonesia.

Deg, oh alah, rupanya dia suaminya Lestari dari Jember yang tinggal sekota denganku di sini.

Siaran di TV Swiss menunjukkan demonstrasi di berbagai kota tanpa izin kepolisian. Mereka menentang pembatasan gerak manusia. Atas nama nilai kebebasan, mereka memprotes pemerintah. Di Swiss, vaksinasi memang bukan sebuah kewajiban, tetapi atas kesadaran sendiri. 

Siaran radio di Swiss menyebutkan ada beberapa negara yang mewajibkan rakyatnya divaksinasi, salah satunya Indonesia.

Dua hari menjelang pemerintah mengumumkan kebijakan baru, antara penggunaan masker dan vaksin berlanjut atau dihentikan, terasa tamu-tamu mulai agak galak. Mereka sebut ini politik saja. Tak perlu pakai masker dan divaksinasi.

Pemerintah akhirnya memutuskan mulai tanggal 17 Februari 2022, restoran, supermarket, fitness, dan tempat lain dibebaskan tanpa memakai masker dan tunjukkan sertifikat vaksin.

Hari pertama tamu-tamu memasuki restoran dengan berlenggang santai. Wajahnya sejuk tak tegang seperti ketika mereka harus dikontrol sertifikat vaksin.

Beberapa orang yang pernah kukenal, karena hampir tiap hari bertemu. Mereka menyapaku dan tampak lebih ramah. Jika suasana kubandingkan, saat wajib pakai masker dan vaksin itu tegang, tapi ada kedekatan batin. Sekarang suasana bebas. Tak hanya para tamu yang bebas tanpa masker dan vaksin, namun karyawan restoran juga dibebaskan, 

Saat aku pertama kali mendapat tugas menjadi penjaga pintu, aku teringat cerpen Franz Kafka berjudul “Di Depan Hukum”. Seorang warga desa hendak menghadap ke pengadilan dan dihadang penjaga pintu. Akulah yang menghadang orang-orang yang hendak makan. Tapi aku hanyalah penjaga pintu yang rendahan, makin ke dalam makin banyak pintu dan selalu ada penjaganya. Terutama pintu ketiga itu, nggak bisa kubayangkan.

Varian Omicron sudah merebak di negara-negara Eropa beberapa bulan silam. Di Swiss sendiri orang yang terkena virus ini mencapai 30 ribu lebih setiap hari. Ini sangat tinggi dibanding jumlah penduduk Swiss yang hanya sekitar 8 juta.

Kini di Swiss sudah mulai dibebaskan orang beraktivitas tanpa pembatasan masker lagi, apalagi vaksin. Kecuali orang yang menggunakan transportasi umum seperti kereta api dan bus masih diwajibkan memakai masker.

Berdasar statistik per 28 Februari 2022 warga di Swiss yang telah melakukan vaksin sekali sebanyak 70,4 persen, vaksin dua kali 69,2 persen, dan yang sudah divaksin tiga kali sebesar 41,5 persen.

Jika dibandingkan dengan negara tetangga Swiss, seperti Jerman, Austria, Italia dan Prancis, kebijakan menghadapi Covid-19 ini, di Swiss termasuk cukup longgar. Kini penerbangan ke Bali mulai akan dibebaskan tanpa karantina.

Semoga pandemi ini lekas berakhir dan manusia bisa kembali dengan aktivitasnya seperti semula.

Penulis: Sigit Susanto
Editor: Prima Sulistya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version