Acara Keluarga Artis Menjamur, Tanda Pertelevisian Indonesia Sudah Kacau

Acara Keluarga Artis Menjamur, Tanda Pertelevisian Indonesia Sudah Kacau terminal mojok.co

Acara Keluarga Artis Menjamur, Tanda Pertelevisian Indonesia Sudah Kacau terminal mojok.co

Pada suatu malam saya berlatih olahraga jari, memencet tombol-tombol remot TV untuk mencari acara menarik. Namun, hasilnya nihil. Saya tidak menemukan acara yang mampu menarik perhatian saya. Bahkan NET TV hingga saat ini masih setia menayangkan drama Turki yang entah kapan selesainya. Saya sedikit menyayangkan penurunan kualitas stasiun TV tersebut, padahal di awal debutnya NET TV selalu menayangkan acara-acara berkualitas dan tidak recehan. Saya ingat sekali NET TV pernah menayangkan Korean Blockbuster setiap malam minggu, di mana film-film Korea banyak ditayangkan di sana. Acara musik Breakout yang dibawakan Boy William dan Sheryl Sheinafia juga merupakan salah satu acara yang saya rindukan. Tapi, acara keluarga artis kok makin banyak?

Hal tadi disebabkan rendahnya rating yang diperoleh sehingga pernah mencuat kabar NET TV terancam bangkrut. Padahal, acara-acara mereka merupakan angin segar bagi sebagian masyarakat yang tidak suka menonton sinetron atau acara penuh gimmick lainnya. Maklum, penonton televisi Indonesia kebanyakan rakyat kelas menengah, terutama menengah ke bawah. Semakin rendah pendapatan, semakin sering seseorang tersebut menonton TV. Sebaliknya, orang-orang kaya justru tidak ada waktu untuk menonton TV dan menghabiskan waktu santainya untuk berkumpul dengan keluarga. Setidaknya seperti ini asumsi singkat saya.

Semakin hari acara yang mengekspos kehidupan keluarga artis menjamur di beberapa stasiun TV dan jujur itu membuat saya muak dan sebal. Apa pentingnya sih tahu kehidupan seseorang? Dimulai dari acara Raffi dan Nagita yang awalnya hanya meliput acara pernikahan megah mereka, eh keterusan deh sampai sekarang. 

Kemudian muncul acara keluarganya artis lain seperti Ruben Onsu, Baim dan Paula, dan yang terbaru adalah keluarga artis Sule. Templatenya gitu-gitu aja, kalau nggak bagi-bagi rezeki ke orang-orang di pinggir jalan ya mengekspos isi rumah gedongan masing-masing.

Memang sih, acara bagi-bagi rezeki tersebut jika kita menilik dari sisi positifnya jelas ada. Artis-artis tersebut mungkin ingin memotivasi kita agar rajin bersedekah. Namun, dari acara tersebut tentu saja mereka mendapatkan pundi-pundi rupiah dan jumlahnya lebih besar dari uang yang mereka sedekahkan ke orang-orang jalanan tersebut. Yah, semacam cashback tapi lebih dari 100%. Di sisi lain mereka telah membuktikan bahwa Tuhan akan melipatgandakan pemberian sedekah kita. Masya Allah.

Terlepas dari berpikiran positif di atas, saya lebih banyak berpikiran negatif terhadap acara-acara tersebut. Terkadang mereka menyelipkan gimmick dan terlalu dibuat-buat alias lebay sehingga lama-lama saya juga malas nontonnya. Apa bedanya coba sama sinetron? Hal-hal ini yang membuat saya lebih memilih nonton YouTube, tentunya dengan konten menambah wawasan bukan prank-prank-an, misalnya National Geographic, TED Talks, dan PutCast Mojok.

Nah, yang menjadi permasalahan adalah tidak semua rakyat negeri ini memiliki akses menonton tayangan-tayangan berkualitas. Tidak semua mampu memiliki akses internet memadai untuk sekadar nonton Youtube. Tidak semua mampu berlangganan Netflix, Viu, dan sejenisnya tiap bulan. Kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan terpenuhi saja sudah bersyukur. Pada akhirnya acara TV adalah satu-satunya hiburan mereka. Kalaupun bisa mengakses YouTube, konten-konten macam Atta Gledek dan sebangsanya menjadi pilihan berdasarkan apa yang biasanya mereka tonton di TV.

Sebetulnya stasiun TV memang jeli dalam melihat peluang, mereka tahu persis kebanyakan penonton acara TV adalah rakyat kelas menengah ke bawah sehingga mereka membuat suatu konten dengan kekayaan sebagai komoditas utama. Siapa orang kaya yang mau diekspos kehidupannya? Tak lain tak bukan adalah selebriti. Peluang ini tentu memberi keuntungan bagi kedua pihak. Stasiun TV mendapatkan pundi-pundi dari rating acara yang tinggi dan si artis mendapatkan pekerjaan baru. Secara tidak langsung stasiun TV telah memberikan sebuah gambaran kehidupan ideal dan standar kebahagiaan bagi seorang manusia kepada rakyat kalangan menengah ke bawah, yaitu harta melimpah.

Kalau mau nekat sih, mestinya seluruh stasiun TV di Indonesia bekerja sama secara kompak untuk sedikit demi sedikit mereduksi tayangan tidak berkualitas dan tidak mendidik, mensubstitusikannya dengan acara-acara yang menambah wawasan di jam prime time. Ada banyak hal-hal di dunia ini yang bisa dikorek, toh dunia ini tidak hanya bicara soal kehidupan artis-artis bergelimang harta. Misalnya, stasiun TV dapat membuat acara kumpulan life hacks membuat catatan belajar, merapikan baju di lemari, menata rumah, memperbaiki alat-alat elektronik sendiri tanpa perlu memanggil tukang, dan sebagainya.

Agak berat pasti, apalagi taruhannya rating. Perlahan sebagian masyarakat mulai meninggalkan TV karena kebanyakan dari mereka mungkin menganggap acara-acara berwawasan tersebut membosankan. Akan tetapi, suatu saat masyarakat akan kembali menonton TV karena itulah sarana hiburan mereka yang paling konvensional. Mau tidak mau mereka “terpaksa” menonton acara-acara mendidik tadi dan tadaaa! Akhirnya misi mencerdaskan kehidupan bangsa pun terlaksana sebab stasiun TV telah sedikit demi sedikit mengubah mindset masyarakat Indonesia. Ah, tapi angan ini terlalu optimistis.

BACA JUGA 4 Alasan Ini Membuktikan bahwa Punya Pacar Sejurusan Ternyata Merepotkan! dan tulisan Jasmine Nadiah Aurin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version