Di era pandemi saya jadi mengasah beberapa kemampuan, entah yang saya miliki atau tidak sama sekali. Termasuk bakat mengamati dan mencermati televisi. Zaman sekarang mungkin banyak orang, terutama yang seumuran dengan saya sudah mulai meninggalkan televisi.
Kendati begitu, mulai dari Power Rangers tayang di Indosiar sampai pindah ke RTV, saya masih setia menonton televisi, tak terkecuali sinetron. Meski kebanyakan orang menyebut sinetron adalah tayangan yang nirfaedah, berbahaya, dan hal-hal negatif lainnya, tapi tidak bagi saya.
Sinetron memang sampah, alasannya banyak adegan yang tak rasional. Namun, kalau kita rutin nonton televisi, masih ada tayangan yang lebih sampah dari sinetron.
Tayangan itu adalah berita di televisi. Iya, tayangan ini sebenarnya nggak penting-penting amat. Coba kalian tanyakan saja ke keluarga kalian yang hobi nonton televisi, lebih milih sinetron yang lenyap atau tayangan berita.
Saya yakin, orang yang kalian tanyain itu bakal memilih tayangan berita yang lenyap daripada sinetron yang tak lagi tayang. Soalnya, setelah saya amati, berita di televisi itu sudah nggak perlu lagi. Kita sebaiknya tak perlu lagi mengonsumsi program berita ini.
Saya bilang begitu bukan tanpa alasan. Ada beberapa alasan yang bisa kalian terima. Bisa jadi karena alasan yang saya tulis ini bikin kalian nggak mau nonton berita di televisi lagi.
#1 Kurang cepat
Berita televisi itu lambat. Bandingkan saja dengan berita di media online. Itulah mengapa sekarang stasiun televisi sudah mulai merangsek ke media online.
Contoh nyatanya Kompas dan MetroTV, oh ya satu lagi Liputan6. Dari awal kita tahu bahwa ketiganya terkenal dengan tayangan atau stasiun televisi yang menyediakan beragam berita.
Barangkali karena memproduksi berita televisi bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan kerjasama tim paling tidak dua orang. Sedangkan media online dengan satu saja wartawan bisa menghasilkan 1-10 berita per hari.
Saya pernah ngobrol bareng salah seorang wartawan televisi. Dia bilang sehari paling tidak ditarget satu berita, nggak sampai 5 atau bahkan 10 berita. Itu artinya banyak berita-berita yang tak tercover alias terlewatkan begitu saja.
Si wartawan televisi ini harus multitasking. Ia merekam sendiri, mewawancarai sendiri, dan mengedit beritanya sendiri untuk kemudian disetorkan ke pihak redaksi.
Hal itulah yang mungkin membuat berita di televisi terkesan lambat. Pasalnya publik sudah dapat sebuah informasi itu terlebih dahulu, walaupun dia belum menonton berita di layar kaca.
Kalau dulu, ya kira-kira masa peralihan antara orde baru ke reformasi, berita televisi masih layak diperhitungkan. Sekarang berita televisi itu hidup segan mati tak mau.
#2 Beritanya tak mendalam
Berita di televisi bakal bertahan di era kecepatan informasi seperti kiwari, asalkan punya pembeda. Namun masalahnya, berita televisi dan berita di media online nyaris tak ada bedanya. Keduanya sama-sama minim konfirmasi.
Pemberitaan itu butuh konfirmasi setidaknya lebih dari satu narasumber. Atau ketika ada kasus tertentu, si wartawan tak hanya mengulik ke satu sumber. Pada kenyataannya, berita di televisi masih terpaku pada satu narasumber.
Saat saya menulis ini, saya baru saja menyaksikan sebuah berita di televisi yang mirip dengan berita di media online. Menayangkan pemberitaan tentang razia baliho bergambar Habib Rizieq Shihab yang dilakukan oleh anggota TNI.
Berita yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi nasional tersebut mewawancarai Pangdam Jaya, Mayjen Dudung Abdurachman. Intinya kurang lebih, baliho-baliho dianggap tidak tertib aturanlah, inilah, itulah. Namun, dalam berita tersebut sama sekali tak menampilkan pendapat atau video wawancara dengan si pemasang baliho misalnya. Atau pihak dari pendukung Habib Rizieq.
Ini sama sekali nggak cover both side. Lantas, apa bedanya berita televisi dengan media online yang hobinya asal comot tweet, linimasa, dan postingan Instagram? Publik sudah mendapat informasi itu lebih dulu lewat media online daripada televisi, karena tiap hari yang dipegang adalah hape bukan televisi 21 inchi.
Loh, televisi kan ada Mata Najwa, ILC, dan semacamnya yang informasinya lebih detail? Iya sih, informasi di program-program tersebut memang lebih komprehensif. Namun, program yang dipandu Najwa Shihab dan Karni Ilyas itu bukanlah tayangan berita di televisi. Melainkan program talkshow.
#3 Dikotomi pemilik televisi
Bukan lagi rahasia bahwa televisi nasional kita memang dikuasai oleh pengusaha-pengusaha top yang tak jarang juga merangkap sebagai politisi. Di antaranya ada yang dekat dengan pemerintah dan ada yang tidak. Susah melihat bahwa berita televisi itu nggak terkontaminasi dengan kepentingan tertentu.
Pemilu presiden tahun 2014 sebagai contohnya. Kita tentu akrab dengan dikotomi bahwa TV One condong ke Prabowo, sementara Metro TV condong ke Jokowi. Hal itu kemudian merembet hingga Pemilu Presiden lima tahun berikutnya.
Belum lagi tayangan berita yang seolah pesanan dan memang sengaja ditampilkan. Misalnya pemberitaan yang menyorot Harry Tanoe sebagai pemimpin Partai Perindo di MNC Group. Kendati berkali-kali kena teguran, pemberitaan citra positif pemilik MNC Group dan partainya masih tayang.
#4 Bahaya framing
Informasi dengan objek yang sama, tapi diberitakan dengan mengambil sudut yang berbeda, itulah disebut framing. Semisal pada pemberitaan Omnibus Law, televisi lebih berselera untuk memberitakan aksi penolakannya yang berujung ricuh, sedangkan beberapa media online fokus ke muatan Omnibus Law yang bermasalah.
Framing ini bisa sangat berbahaya. Lantaran apa yang tampak di kamera bisa menutupi fakta lain yang nilainya bisa jadi jauh lebih penting daripada yang ditampilkan kamera. Kalau ingatan saya tak berkhianat, wartawan Andreas Harsono pernah menulis, “Para penyerang itu tampak mengenal baik sang kameramen. Bahkan di video seorang penyerang memberi salam tabik.”
Sebegitu bahayanya framing. Televisi sering melakukannya. Orang yang menonton berita di televisi akan dengan mudah terbius. Sehingga menafikan fakta-fakta lain yang tak ditayangkan televisi.
Bagaimana? Dengan alasan-alasan tadi, kalau menonton televisi lebih baik nonton sinetron yang jelas-jelas fiktif atau MasterChef daripada berita televisi yang kian hari kian buruk kualitasnya.
BACA JUGA Beberapa Hal Menyenangkan yang Saya Dapati Saat Banjir di Cilacap dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.