Naik pesawat, bagi saya adalah bagian terbaik dalam kehidupan. Sensasinya nggak hilang begitu saja. Ia melekat dalam pikiran, walau ujung-ujungnya ngeri juga. Setelah transit 12 jam di area metropolis bernama Changi, akhirnya pesawat saya mentas juga. Tujuannya adalah Luang Prabang. Di sana, saya berniat menghabiskan kehidupan bersama kawan-kawan beragama Buddha. Waktu itu, saya butuh ketenangan.
Saya duduk di bagian tengah, agak ke belakang. Kursi yang saya duduki ini harganya kurang lebih sama dengan kamar hotel bintang empat di Jogja. Sebuah kota yang katanya selebtweet selalu romantis itu. Bahkan, harganya bisa saja lebih murah. Ya, namanya juga promo.
Setelah saya duduk nyaman, pramugari datang menjelaskan. Jebul, posisi duduk saya ini menyangkut nyawa banyak orang. Saya bertugas membuka pintu darurat kala hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Saya tak henti-hentinya bilang amit-amit mana kala Mbak Pramugari menjelaskan.
“Bagaimana? Apakah ada pertanyaan?” begitu kalimat pamungkasnya. Menggunakan bahasa Inggris tentunya. Saya justru berharap Mbak Pramugari ini menjadi dosen saya saja. Sudah ramah, sopan pula.
Bagian paling sulit dari naik pesawat adalah saat lepas landas. Kala lampu dimatikan, suara pilot berbisik layaknya dalam gim-gim action, dada saya hanya bisa berdegup lebih cepat dari biasanya. Entah mengapa, ketika pendaratan, saya malah merasa tenang. Jika di udara, saya hanya bisa berserah. Memangnya apa yang bisa saya lakukan, menengok saya bukan agen 007?
Ketika gulu saya nderedeg, kaki saya ngewel, para kru pesawat diam dan tenang, sekonyong-konyong, bapak-bapak di samping saya bilang, “Bisa bahasa Inggris?” saya taksir, blio orang Singapura. Saya hanya mengangguk, ia tersenyum. Saya yakin, dahi saya berkerut-kerut karena takut.
Mulut saya komat-kamit melafadzkan ayat suci. Ayat demi ayat yang bisa saya ingat. Aneh, dari rumah saya masih berpegang teguh bahwa semua manusia ketika dilahirkan itu marwahnya sebagai ateis dan akan beragama ketika dibisiki oleh orang sekitar. Ndilalah pas pesawat mau lepas landas kok bagai orang yang selalu bertuhan.
Di sini saya merasa nggak enak sama Tuhan. Lha gimana, yang biasanya ketika Subuh berkumandang saya tidur, masa kali ini saya memohon perlindungannya? Namun, setelah saya ingat Tuhan maha pengampun, saya sedikit merasa tenang.
“Apakah kebanyakan orang Indonesia itu mendadak religius ketika naik pesawat?” katanya, ketika pesawat lepas landas dan perlahan naik dari Bumi Singapura. Saya yang nahan ngeri hanya bisa haha hihi saja. Lepas landas itu hidup dan mati.
Saya nggak mau mikir apa yang Kokoh ini tanyakan. Setidaknya, kalau ada apa-apa dan ndilalahnya hari ini adalah hari terakhir bagi saya, saya nggak mati penasaran. Saya nggak mau membebani pikiran dengan pertanyaan njlimet dari Kokoh Singapura yang satu ini.
Setelah pesawat berimbang di angkasa, muluk bagai layangan, saya pun kepikiran. “Saya nggak pernah merasa religius,” jawab saya dengan anehnya. Kokoh itu hanya tersenyum. Mungkin blio mbatin: nggak religius matamu! Dari tadi mulutmu komat-komit.
Ia tersenyum lagi. Ia membawa buku berjudul Steppenwolf. Seperti menanti lampu pesawat dinyalakan kembali. Dari ketinggian, Singapura terlihat sangat kecil. Kapal-kapal kargo seakan mengitari pulau yang dulu bernama Tumasik ini.
“Saya ke Luang Prabang untuk mencari jati diri untuk menyongsong masa tua,” katanya. Saya lamat-lamat perhatikan lagi wajah pria yang umurnya jauh di atas saya itu.
“Seberat itu hidup di Singapura?” tanya saya.
Ia tampak terkejut. Memperhatikan saya di balik kacamata tebalnya itu. “Kok bisa tahu bahwa saya asal Singapura?” saya kepengin jawab begini: lha Kokoh saja bisa deduksi saya orang Indonesia, masak saya nggak bisa deduksi bahwa Kokoh itu orang Singapura? Namun, saya urungkan karena saya nggak bisa ngomongnya pakai bahasa Inggris. Payah memang.
“Tapi, dalam perjalanan seperti ini, saya selalu siap setidaknya untuk jatuh,” katanya tersenyum. Kalau memukul orang asing itu nggak melanggar hukum, mungkin saya sudah chokeslam si Kokoh ini.
Saya hanya diam. Ternyata, di pesawat ini, selain maksud dan tujuan setelah sampai ke Laos berbeda-beda, doa mereka pun setidaknya berbeda. Pertentangan doa, kesamaan nasib mungkin sangat pas jika kita berada di dalam pesawat, menanggung apa pun hasilnya secara bersama.
Pesawat jebul seperti negara. Maksud dan tujuannya berbeda, si baik dan si buruk menjalankan misinya, pada akhirnya jika senang akan bersama-sama, hancur pun secara kompak tanpa bisa diganggu-gugat.
“Kalau saya tiba-tiba membuka pintu darurat, bagaimana?” tanyanya.
Cuk, ini sudah ada yang salah. Saya hanya tercekat dan diam. Ingin saya beri kopi beracun, tapi saya sadar ini bukan pesawat tujuan Jakarta-Amsterdam dengan Munir di dalamnya. Sebuah perkara yang tidak pernah usai sampai sekarang. Saya nggak mau menambah dosa pemerintah dalam berjanji menegakan keadilan.
“Hehehe, bercanda,” jawabnya. Ia membuka-buka buku di tangannya, tapi tak kunjung dibaca-baca.
Saya pun nggak mau kalah. Saya macak jadi Andy F. Noya, “Orang Singapura kalau liburan ke mana, Sir?” Ya, saya pakai Sir. Entah salah atau nggak. Saya nggak paham selain pakai mate, friend, atau bro. Canggung karena ia tidak terlalu tua, tapi nggak bisa dikatakan muda.
“Saya di Luang Prabang mau main air di Sungai Mekong,” ia senyum dengan cara yang baik dan benar. Alias nggak bikin saya takut lagi.
Begitu sederhananya tujuan orang Singapura saat plesiran. Saya curiga, di mata orang Singapura, ketika beberapa orang Indonesia plesiran untuk belanja barang branded, ia akan mbatin begini, “Begitu sederhananya tujuan orang Indonesia saat plesiran.”
Semua memang sesuai porsi dan kebutuhan. Depan rumah saya, itu Sungai Gajahwong. Nggak kalah riuhnya dari Sungai Mekong walau Gajahwong nggak melewati berbagai negara. Mungkin hanya melewati berbagai kecamatan saja, Kota Gede dan Banguntapan sebagai contohnya.
Tiba-tiba saya membayangkan si Kokoh ingin nyari ikan cethol di Sungai Mekong, dan saya pun senyum-senyum sendiri sembari melihat awan yang mobat-mabit diterjang pesawat. Nggak kalah sama mobat-mabitnya obrolan kami yang nggak tahu juntrungnya ke mana.
“Saya suka ngobrol dengan Anda,” katanya. Padahal saya dominan diam. Kalau saja saya lolos mata kuliah Bahasa Inggris Filsafat, saya balas ke-mobat-mabit-an kata-kata Anda itu, Kisanak!
Lantas, ia bertanya kembali, “Apa yang kamu dapatkan dari obrolan ini?”
Mbak Pramugari membawa semacam lemari berjalan, menawari kami. Si Kokoh memesan nasi daging, saya pun diberinya satu. Wajah saya masih ndomblong melihat kebaikan hati Kokoh aneh yang satu ini. Ia melihat saya, seperti menanti jawaban dari mulut saya.
“Saya dapat satu hal yang menarik,” kata saya dengan terbata-bata. “Orang Indonesia itu mendadak religius ketika sedang tertekan. Saya sebagai contohnya. Bukan, begitu?”
Ia hanya mengangguk. Saya melanjutkan obrolan mobat-mabit ini, “Tapi saya juga punya indikasi tersendiri untuk orang Singapura, yakni kalau megang buku, nggak pernah ia baca sampai selesai.”
Ia tertawa. Terkutuklah Changi dengan harga yang tersemat di daftar. Kecuali bagi manusianya. Ternyata masih ada yang baik walau sedikit aneh dan cenderung menakutkan. Tetap saja, naik pesawat lebih menakutkan. Ndilalahnya, sudah naik pesawat bikin takut, jejernya orang asing yang makin bikin takut.
BACA JUGA Apa Orang Miskin Tidak Berhak Naik Pesawat? dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.