Maraknya kasus pelecehan seksual yang muncul di media sosial membuat beberapa pertanyaan muncul di benak saya. Misalnya, sejak kapan saya mengenal isu seksual? Atau, sejak kapan dan dari siapa saya mendapat pendidikan seksual?
Renungan itu membuat saya teringat pada masa kelas 1 SMP, ketika saya menyukai sebuah grup JKT48. Munculnya JKT48 sejak akhir 2011 di dunia musik Indonesia langsung membuat saya tertarik. Kemasan grup yang bernuansa Jepang membuat mereka terlihat unik dari musik pop Indonesia kebanyakan.
Sebagai adik dari AKB48 (grup idola legendaris Jepang yang kala itu sedang naik daun), JKT48 menganut konsep yang sama, yakni fans bisa menemui idola. Secara rutin mereka menggelar pertunjukan sehingga penggemar mudah untuk menonton langsung.
Tahun 2012, saya semakin mengikuti perkembangan mereka, meski tidak melihat langsung di teater (karena rumah saya jauh dari Jakarta). Namun, dari sekian belas lagu mereka saat itu, ada dua lagu yang bagi saya saat itu terdengar aneh.
Pertama, “Kiss Shite Shite Son Shicatta” (Rugi Sudah Dicium). Dari judul lagunya saja saya merasa risih. Lagu itu bercerita tentang keluhan gadis SMA yang baru pertama kali dicium pria.
Lagu kedua yakni “Inochi no Tsukai Michi” (Cara Menggunakan Hidup). Haha, yang ini lebih membuat saya risih, sebab mengisahkan seorang gadis yang sudah putus asa dan siap dicintai oleh siapa saja yang bersedia, serta… ehem, dia rela diapakan saja.
Saya yang masih polos saat itu, jadi tertarik untuk membicarakan lagu-lagu ini dengan ibu saya.
“Dua ini lagunya aneh banget. Kok kayak gitu sih?” ucap saya saat itu.
Ibu saya lalu menjelaskan bahwa ke depannya saya pasti akan menemukan lebih banyak lagu, film, bacaan, dan sebagainya yang berbau seperti itu.
“Setiap daerah punya kebiasaan yang berbeda. Yang di sini tabu, belum tentu di sana tabu,” ucap ibu saya.
“Kalau aku pacaran, bolehnya ngapain? Nggak bolehnya ngapain?” tanya saya iseng kepada Ibu.
“Emangnya mau ngapain?”
Alih-alih menjawab pertanyaan balik dari ibu saya, saya berusaha menghentikan percakapan. Semakin saya meliarkan pikiran, semakin saya tidak sanggup menjawab.
Setelah sempat teralihkan, ibu saya menjelaskan, “Kita punya batasan. Kita sebagai warga di sini, apa-apa saja yang tabu. Kita sebagai umat beragama, apa-apa saja yang nggak boleh. Dan kita sebagai warga negara, juga ada hukum yang harus dipatuhi, ada juga yang diatur dalam undang-undang.”
“Kayak pelecehan seksual gitu, ya? Ada aturan hukumnya kan itu?”
Pertanyaan saya terkait hukum, tidak banyak dijawab oleh ibu saya. Beliau merasa kurang paham dan menyuruh saya mempelajari sendiri jika memang butuh jawaban pasti. Tapi, saya yang saat itu membaca UUD 1945 saja malas, mana mungkin saya mau membaca UU?
Percakapan hari itu berlanjut panjang. Cerita-cerita tentang isu seksual di sekitar kami menjadi pembahasan. Ibu saya bilang, meski hal berbau seksual terbilang tabu, namun pengetahuan tentang itu perlu saya kulik.
Sejak saat itu, saya mulai nyaman membahas topik seksual dengan ibu saya. Hal-hal yang dulunya malu untuk saya tanyakan, satu per satu menjadi topik diskusi di rumah.
Kembali pada lagu…. Dua lagu tersebut membuat saya penasaran dengan lagu-lagu lain dari AKB48 yang saat itu belum diterjemahkan dan dibawakan ulang oleh JKT48. Dan benar saja, saya menemukan berbagai jenis lagu yang mengandung unsur seksualitas.
Salah satu yang saya tandai adalah lagu berjudul “Seifuku ga Jama wo Suru”. Lagu tersebut menceritakan tentang gadis SMA yang merasa terganggu dengan seragam sekolahnya. Seragam tersebut membatasi dirinya untuk berhubungan lebih jauh dengan pria yang dia cintai. Statusnya sebagai anak SMA membuat dia tidak bisa bebas sehingga dia ingin melepas dan membuang seragam itu.
Seiring berkembangnya JKT48, semakin banyak lagu AKB48 yang mereka bawakan dalam bahasa Indonesia, termasuk lagu yang bernuansa dewasa. Lama-lama saya makin terbiasa. Lagi pula, lagu yang terlalu vulgar (terlebih yang secara detail menceritakan hubungan seksual), kebanyakan hanya jadi konsumsi teater, konser, dan acara sejenisnya; tidak ditampilkan di acara televisi.
Lagu “Seifuku ga Jama wo Suru” kelak diterjemahkan dan dinyanyikan JKT48 dengan judul “Seragam Ini Sangat Mengganggu”.
Saat ini, saya telah berusia 20 tahun. Lagu-lagu yang dulu terdengar risih, kini mulai terasa biasa. Lucu jika mengingat dan mengakui, perkembangan pendidikan seksual saya sangat dibantu oleh lagu-lagu JKT48.
Saya jadi menyadari bahwa remaja punya banyak rasa penasaran terhadap berbagai hal, salah satunya tentang seksualitas. Apa yang mereka lihat dan dengar bisa menjadi berbagai pertanyaan yang harus mereka cari jawabannya.
Mengingat banyaknya percakapan saya dengan ibu saya terkait topik seksualitas, saya jadi sadar peran orang terdekat (biasanya orang tua) dalam mendampingi anak.
Jika dulu saya tidak berdiskusi dengan ibu saya, mungkin saya akan mencari jawaban dengan cara yang belum baik untuk saya lakukan saat itu.
Jauh sebelum saya SMP, sebenarnya pendidikan seksual pun telah diberikan oleh orang tua saya tanpa saya sadari, misalnya memberi tahu hal-hal sederhana seperti batas-batas bagian tubuh yang boleh dan tidak boleh disentuh orang lain.
Saya jadi sadar bahwa ketika saya jadi seorang ibu suatu hari nanti, pendidikan seksual pun harus saya berikan. Pastinya, dengan cara yang bisa dimengerti anak sesuai usianya.
BACA JUGA Penguntitan Member JKT48: Bentuk Cinta yang Tidak Keren Sama Sekali dan tulisan Nursyifa Afati Muftizasari lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.