“Yang menganggur justru pendidikannya yang tinggi, ini ironi,” begitu kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Wow, ada yang perlu diluruskan nih. Lha, pendidikan akademik dan persoalan dunia kerja tuh sebenarnya dua hal yang tidak selalu berhubungan kok.
Itulah kenapa Kementerian Ketenagakerjaan terpisah dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebab, urusan tenaga kerja tidak serta-merta jadi urusan pendidikan. Kalau ada hubungannya, iya. Tetapi terhubung secara utuh menjadi satu kesatuan, tidak.
Begini, menurut UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan tinggi diklasifikasikan dalam tiga jenis, yaitu pendidikan akademik, pendidikan vokasi, dan pendidikan profesi.
Pendidikan akademik menyiapkan para mahasiswanya untuk menjadi seorang akademisi dengan jenjang strata (S-1, S-2, dan S-3). Lulusannya nanti diproyeksikan untuk menjadi seorang ilmuwan dan teoritisi. Hal ini bisa dilihat dari komposisi pembelajarannya dalam silabus kuliahnya yang 60 persen teori dan hanya 40 persen praktik.
Pendidikan vokasi kebalikannya. Komposisinya 40 persen teori dan 60 persen praktik. Jenjang pendidikan ini menyiapkan para mahasiswanya untuk terampil dan menjadi ahli ilmu terapan. Level pendidikan jenis ini disebut dengan program diploma (meliputi D-1, D-2, D-3, dan D-4).
Adapun pendidikan profesi adalah kelanjutan dari penerapan Strata-1. Bagi mahasiswa yang telah lulus S-1 dan ingin bergelut dengan profesi yang telah ia dapatkan teorinya dalam perkuliahan sebelumnya, dibutuhkan suatu pendidikan profesi. Sebagai contoh, seorang sarjana hukum bila ingin menjadi notaris, ia harus menempuh pendidikan profesi notaris. Begitu pun profesi lain, seperti akuntan, apoteker, dokter, perawat, dan sebagainya.
Landasan berpikir bagi ketiga model pendidikan tinggi di atas harus ditanamkan terlebih dahulu sebelum membuat kesimpulan atas merebaknya intelektual pengangguran. Sebab, kadangkala angka pengangguran tidak tertulis secara akurat dan semestinya. Bisa jadi ia dilabeli “pengangguran” karena belum bekerja dalam ruangan atau belum terikat waktu, serta bukan pula bekerja dengan “semestinya”.
Para “pengangguran” itu bisa jadi telah menikmati passion-nya dalam beraktivitas. Menjadi ilmuwan independen, peneliti, aktivis LSM, penulis, petani, pedagang, buzzeRp, apa saja. Tapi karena ada tolok ukur “pekerjaan” yang pragmatis, jenis-jenis “pekerjaan” tersebut jadi disebut “bukan pekerjaan”.
Hal inilah yang membuat angka pengangguran melonjak drastis. Terlebih, dalam KTP jarang kita menemukan jenis pekerjaan seperti tersebut di atas, paling-paling digeneralisir dengan istilah “swasta” atau “wiraswasta”.
Maka, ketika Ibu Menaker (tidak sengaja?) mengelompokkan ketiga jenis lulusan tersebut dalam satu keranjang yang sama, lantas membenturkannya dengan realitas daya serap tenaga kerja, ujungnya adalah pengambilan kesimpulan yang tidak tepat-tepat amat. Sebab, ketiganya memiliki fungsi dan tujuan pendidikan yang berbeda.
Dunia kerja pragmatis seharusnya bukanlah tujuan utama para mahasiswa program sarjana. Mengingat lulusan sarjana, yang oleh para pemangku kepentingan dan institusi pembuat silabus pembelajaran, memang bukan dipersiapkan sebagai lulusan yang siap pakai di dunia kerja. Mereka lebih difokuskan menjadi seorang akademisi, ilmuwan, atau teoritisi.
Kesalahan umum seperti di atas ternyata terjadi juga kepada para penerima manfaat pendidikan. Kita lebih cenderung mengasumsikan ketika sudah lulus dan memperoleh gelar sarjana, otomatis sudah siap kerja.
Kompetensi lulusan sarjana tidak bisa disandingkan apple to apple dengan kemampuan praktis mereka di dunia kerja. Sebab, apa yang diperoleh di bangku perkuliahan berbeda dengan tuntutan dunia kerja.
Gampangnya begini. Sekolah kesarjanaan itu belajar “tentang”. Contohnya, sarjana bahasa Inggris belajar tentang bahasa Inggris dari segi keilmuan, keperluan penelitian, dan seluk beluk abstrak lain.
Jadilah lulusan sarjana bahasa Inggris yang telah kuliah empat tahun bisa kalah lancar bicara dengan orang yang mengikuti kursus di Kampung Inggris Pare, Kediri.
Itulah mengapa belajar paket kilat (atau kalau mau dilembagakan, sejenis dengan diploma) memang hanya menerapkan ilmunya. Mereka tidak diribetkan dengan fondasi keilmuan, tapi langsung praktik.
Contoh lain biar lebih gamblang. Dalam urusan memperbaiki kerusakan sepeda motor, anak SMK otomotif atau mahasiwa teknik otomotif sekalipun akan kalah dari anak yang tidak pernah sekolah formal, tapi telah terjun di dunia perbengkelan lebih lama. Begitu pun untuk profesi lain yang bisa dicari padanannya.
Makanya, di era M. Nuh menjadi mendikbud dulu, sudah digalakkan pendidikan vokasi. Tujuannya untuk menyelesaikan problem salah kaprah ini. Keterserapan lulusan perguruan tinggi diset agar sejalan dengan kebutuhan dunia kerja—kita tak sedang bicara kebijakan ini benar atau salah lho ya. Oleh karena itulah, pendirian SMK dan sekolah diploma dipermudah.
Sayangnya, popularitas dan kesenjangan kualitas antara kuliah diploma dengan dan kuliah sarjana masih terjadi. Disparitas ini gara-gara salah persepsi yang sudah jamak bahwa sarjana akademik lebih mentereng dan prestisius daripada diploma vokasi.
Kecuali kalau diplomanya dari sekolahan kedinasan sih.
Photo by Joshua Hoehne on Unsplash
BACA JUGA Universitas Terbuka: Masuk Gampang, Keluar Susah, dan Udah School from Home dari Dulu dan tulisan Sofyan Aziz lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.