Saya tidak tahu kapan tepatnya revolusi transportasi laut di Indonesia terjadi. Tapi jika menarik waktu ke belakang, tepatnya awal 2000an, pastinya banyak yang masih ingat busuknya transportasi pada masa itu. Terutama kereta api dan kapal laut.
Berhubung di Kalimantan tidak ada kereta api, saya tidak pernah merasakan berjejal di kereta atau bahkan duduk di atas gerbong seperti yang dilakukan para penumpang di zaman itu. Pengalaman pertama menaiki transportasi jarak jauh adalah dengan kapal laut.
Maklum saja, di masa itu belum banyak yang sanggup beli tiket pesawat. Dan pengalaman menaiki transportasi laut yang busuk itu saya alami ketika baru berusia 6 tahun.
Sekitar 2003, kami sekeluarga berencana mudik ke Jawa Tengah dari Kalimantan Barat, tepatnya Ketapang. Tujuannya adalah pelabuhan Tanjung Emas, Semarang. Waktu itu, transportasi yang paling masuk akal untuk dijangkau memang hanya transportasi laut.
Bagaimana tidak, harga tiket kapal laut hanya 1/5 dari harga tiket pesawat. Saya yang masih bocah sangat antusias menaiki besi raksasa yang bisa mengambang itu. Sejenak membayangkan kemegahaan kapal pesiar seperti di film-film. Membayangkan betapa serunya berada di laut lepas dengan lampu-lampu gemerlap di malam hari.
Tapi antusiasme itu akhirnya berubah menjadi malapetaka. Dan tanda-tanda malapetaka itu mulai terlihat bahkan sebelum kami naik ke kapal.
Kami sekeluarga sudah sampai di pelabuhan pada siang hari dan jadwal keberangkatan saat itu sore hari (mungkin pukul 3 atau 4), saya lupa tepatnya. Sampai waktu keberangkatan, belum ada tanda-tanda kapal akan bersandar di pelabuhan, suaranya pun tidak terdengar.
Terdengar kabar kalau kapal yang saya nantikan itu ternyata karam di dekat muara. Ya, pelabuhan di kota Ketapang memang berada di daerah sungai dan kapal besar rawan karam karena sungainya dangkal.
Kabar itu ternyata benar adanya, petugas pelabuhan meminta penumpang untuk menunggu sampai air pasang dan kapal bisa bergerak. Namun apesnya, hingga malam datang, kapal masih juga tidak bergerak.
Tidak kehabisan akal, petugas kemudian menyiapkan ide brilian nan jahanam yang kemudian saya sumpahi setiap teringat peristiwa itu lagi. Dan ide itu adalah mengangkut ratusan penumpang ke muara tempat kapal kandas dengan kapal tongkang. Ya, tongkang yang umumnya dipakai untuk mengangkut batu bara atau hasil tambang lainnya.
Ketika itu saya belum mengenal sumpah serapah. Kalau sudah tahu, pasti banyak sumpah serapah yang menyembur. Mungkin telinga petugas yang menggagas ide jahanam itu akan panas saya sumpahi.
Kalian bisa bayangkan, ratusan orang harus menyusuri sungai yang lebarnya lebih dari 100 meter hingga ke pinggiran Laut Jawa dengan besi berbentuk persegi panjang yang diciptakan bukan untuk mengangkut manusia. Belum lagi, tongkang tidak punya mesin dan bergerak karena ditarik kapal di depannya. Alhasil, butuh waktu lama untuk sampai di lokasi kapal.
Ketika gemerlap lampu kapal mulai terlihat dari kejauhan, jiwa anak kecil saya yang kampungan itu gembiranya bukan main. Tapi namanya ekspektasi, kadang memang diciptakan untuk bermusuhan dengan realita. Sekitar 50 meter sebelum tongkang yang kami naiki bersandar di lambung kapal, terlihatlah wujud asli kapal itu.
Kapal itu tidak ubahnya onggokan besi tua yang siap dikilokan. Jika diibaratkan manusia, kapal itu seperti nenek-nenek yang dipaksa berenang ratusan kilometer. Aroma karatnya saja mampu mengalahkan bau angin laut.
Tepat saat tongkang sudah menempel dengan kapal, ratusan penumpang berbondong-bondong berebut naik ke kapal. Orang tua saya tak kalah sigap dalam usaha berebut naik ke kapal. Namun nahasnya, ketika akan menaiki tangga, badan saya yang kurus kering terpental-pental ditabrak para penumpang lain, terpisah dari orang tua kemudian terhimpit di lambung kapal. Saya berteriak dan menangis sejadi-jadinya. Dada saya sesak luar biasa dihimpit orang-orang berbadan besar.
Bajingan betul, tidak ada seorang pun penumpang yang peduli dengan bocah kerempeng itu. Rasanya mereka lebih peduli untuk berebut tempat yang nyaman dibanding menyelamatkan nyawa bocah yang kelak bisa saja menjadi menteri itu.
Waktu berfantasi soal keindahan kapal seperti di film, saya sepertinya lupa bahwa film-film tentang kapal sering berujung tragis. Untungnya, Tuhan sedang tidak mengamini fantasi itu. Saat nafas hampir menipis karena terjepit, orang tua saya lekas menyelamatkan saya. Selain sukses menyelamatkan anaknya, orang tua saya juga sukses menyelamatkan bangsa dari kehilangan sosok revolusioner macam saya.
Sampai di atas, rupanya ruang khusus penumpang nyaris penuh. Bahkan sudah ada penumpang yang tidur di geladak dan buritan kapal. Kami sekeluarga akhirnya menempati lorong dekat kamar mandi yang berarti harus bersandingan dengan bau pesing lebih dari 48 jam.
Emosi anak-anak saya memuncak dan kemudian bersumpah, ‘’Besok-besok tidak ada lagi ceritanya naik kapal. Kalau masih naik kapal laut mending tidak ikut.”
Tapi kondisi ekonomi memang bedebah. Tahun berikutnya dan tahun-tahun setelahnya toh saya tetap naik kapal yang busuknya tidak jauh beda. Ahh, saya gagal menepati sumpah pertama di hidup saya.
BACA JUGA Mempertanyakan Prinsip Syariah RSUD: Memangnya Nungguin Orang Sakit Bikin Kamu Horny? dan tulisan Reno Ismadi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
—