Pada masa kuliah tepatnya semester 4 adalah waktu di mana saya sedang gencar-gencarnya mencari pacar, minimal jadi gebetan dulu. Memangnya para pekerja saja yang merasa penat dengan segala tugas dan beban kerjanya? Mahasiswa juga bisa penat dengan kegiatan belajarnya, toh? Dengan adanya gebetan, paling tidak saya menjadi ada penyemangat belajar dan kalau bosan tinggal kencan di akhir pekan. Sederhananya, seperti itu harapan saya.
Dan benar saja, pada masa itu saya sempat memiliki gebetan yang terbilang manis dan tidak membosankan, penuh perhatian dan betul-betul memanjakan saya. Apa yang saya mau, dengan segera disediakan. Kapan pun saya ingin bertemu dia selalu menyisihkan waktu. Cukup sempurna untuk jangka panjang dan di masa mendatang. hehe.
Hubungan kami tak terlepas dari menjaga komunikasi satu sama lain, karena masih kuliah dan uang saku yang dimiliki seadanya, kala itu kami lebih sering berbalas chat untuk menghemat pengeluaran. Saya dan gebetan memang berbeda gaya saat chattingan, dia selalu kirim chat per-bar atau bubble dan info setengah-setengah juga penggunaan kata yg santai, sedangkan saya berusaha menggunakan kalimat yang baku, mulai dari huruf kapital, penggunaan titik-koma dan tanda baca lainnya diusahakan tepat pada posisinya.
Pada waktu itu, saya mendapat teguran dari gebetan “Kamu kalau chat formal banget, sih. Aku pegel bacanya,” begitu katanya. Bukan tanpa alasan saya seperti demikian, mungkin terkesan seperti keren-kerenan tapi pada waktu itu saya betul-betul ingin membiasakan mengetik secara formal untuk persiapan skripsi. Saya tidak mau banyak revisi hanya karena tanda baca dan penggunaan beberapa kata yang harusnya bisa diantisipasi di awal.
Hasilnya betul-betul saya rasakan saat pengerjaan skripsi, soal tanda baca hanya ada beberapa yang masih salah, selebihnya teori dan penambahan sedikit kesimpulan.
Selain itu, entah karena kebiasaan atau memang saya yang kurang menyesuaikan gaya bahasa, kadang sewaktu menggunakan kata “kami” pada percakapan secara langsung beberapa teman saya menertawakan, “hah, kami? Formal banget, sih,” begitu kata mereka. Padahal saya memang sedang bercerita tentang saya dengan orang lain pada waktu itu, bukan saya dengan mereka—teman-teman yang sedang mendengarkan cerita saya secara langsung.
Ya, walaupun saya tidak sekaku itu sewaktu berbicara secara langsung dan masih bisa menempatkan diri, hanya saja ada beberapa kata yang baiknya dibiasakan penggunaannya secara benar, toh? Karena tidak selamanya kita semua berbicara dengan teman sebaya, untuk urusan pekerjaan dan secara profesional tentu harus menyesuaikan gaya bahasa—apalagi pada atasan atau pimpinan.
Selama sopan dan dapat dimengerti, baiknya tidak perlu dibuat heboh. Apalagi jika seseorang tersebut memang sedang belajar dan membiasakan menggunakan pedoman bahasa Indonesia yang baik dan benar. Berbicara setengah-setengah menggunakan antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia ala anak JakSel tidak boleh dan jadi bahan celaan, lalu belajar menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar pun dicela juga tanpa reward sedikit pun?
Yang seperti demikian artinya tidak fair. Hanya mencela sewaktu membuat kesalahan tapi tidak pula memuji saat melakukan sesuatu yang benar. Katanya, sebagai orang Indonesia harus bangga menggunakan bahasa sendiri, nyatanya saat ada yang mengusahakan seringkali terbentur oleh nyinyiran dan omongan merendahkan.
Dalam berkomunikasi—baik secara langsung atau lewat pesan singkat—sudah sewajarnya menyesuaikan dengan lawan bicara. Bagaimana berbicang dengan yang lebih tua, dengan teman sebaya, atau yang lebih muda—bukan berarti bicara dengan mereka yang lebih muda terkesan dan terlihat sok tahu akan segala hal.
Tidak ada yang salah dengan belajar dalam hal apa pun selama baik dan memberi manfaat, baik bagi diri sendiri pun orang lain termasuk dalam belajar mengaplikasikan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan ejaan yang berlaku. Salah hanya bagian dari proses belajar yang harapannya membuat seseorang semakin lebih paham akan suatu hal di waktu mendatang.
Seperti apa yang seringkali disampaikan oleh Ivan Lanin dan menjadi salah satu quote favorit saya, utamakan bahasa Indonesia, pelihara bahasa daerah, kuasai bahasa asing.