Hampir semua headline media di dunia membahas potensi rekor Cristiano Ronaldo. Dua gol kemenangan Juventus memang dicetak oleh Ronaldo. Kini, rekor 36 gol dalam satu musim yang masih dipegang Gonzalo Higuain sudah di depan mata. Sayang, hampir tidak ada yang melirik sosok penting bernama Paulo Dybala.
Selepas laga, Ronaldo mengakui bahwa dirinya memang berhasrat mengejar rekor Higuain. Satu lagi rekor berpotensi pecah. Angka. Statistik. Sebuah aspek kecil di sepak bola yang hampir selalu sukses membuat orang mabuk. Terpesona. Kagum. Membuat orang enggan menyiapkan pujian untuk unsur terbesar di sepak bola, yaitu tim itu sendiri.
Jika menonton laga Juventus vs Lazio, keberadaan Ronaldo memang krusial, terlepas dari dirinya sebagai eksekutor penalti. Bahkan peman asal Portugal itu hampir saja bikin trigol kalau saja sundulannya tidak mental di mistar gawang. Siapa yang melepas umpan silang akurat itu? Paulo Dybala.
Peran Paulo Dybala hampit tidak terlihat. Namanya pun tidak ada di papan pencatat skor. Nama pemain asal Argentina itu hanya terpatri di dalam benak Juventini sebagai pemain yang sangat tidak egois. Memberikan “asis 99 persen” untuk gol kedua Ronaldo. Memberikan satu kesempatan emas bagi Ronaldo untuk menejar gelar capocannoniere di akhir musim.
Orang kebanyakan mungkin akan memuji Ronaldo, yang berkontribusi atas gol keduanya sendiri. Atas inisiatifnya untuk melakukan pressing secepat mungkin kepada bek Lazio yang kehilangan opsi umpan. Namun, pressing itu tidak akan menjadi peluang jika Paulo Dybala gagal membaca intensi Ronaldo.
Sebagai 2 pemain di depan, Paulo Dybala bertindak menyesuaikan. Bermain dengan peran sebagai second striker memang sukses menarik semua kemampuan dirinya. Salah satunya adalah pembacaan pertandinga yang brilian. Pressing Ronaldo dibaca dan dikolaborasikan dengan kemampuannya menutup jalur umpan.
Kemampuannya mencuri bola dari kaki pemain Lazio perlu mendapat apresiasi. Cerdik sekali. Jika telat satu langkah saja, bisa jadi Lazio mendapat pelanggaran karena kaki Dybala bertaut dengan kaki pemain Lazio. Namun, timing dan teknik tekelnya sangat baik. Lembut, sekaligus tegas.
Dybala, yang bermain sedikit di belakang Ronaldo, banyak bergeser ke sebelah kanan. Pemosisian dirinya membuat Cuadrado dan Ramsey punya akses untuk umpan vertikal ke depan. Silakan cek peta umpan dan pergerakan Juventus. Sepanjang babak pertama dan paruh awal babak kedua, posisi kanan jadi opsi Juventus untuk masuk ke kotak penalti lawan.
Meskipun posturnya kecil, Paulo Dybala sangat kokoh mempertahankan bola. Bisa memanfaatkan low center of gravity dirinya dengan baik.
Pemain sepak bola dengan low center of gravity menjadikannya lebih mudah menurunkan kecepatan lari, bergeser untuk mengantisipasi perubahan posisi lawan, dan menaikkan kecepatannya secara sekejap.
Dybala tak hanya menggunakan kemampuan ini untuk menunjukkan kebolehannya menggiring bola melewati dua atau tiga pemain. Ketika bermain dengan punggung menghadap gawang lawan, ia tetap bisa menjadi pemantul bola yang baik. Kemampuan akselerasi ia gunakan dengan baik di momen ini.
Dengan posisi membelakangi gawang, gambaranya begini: Juve menyerang. Bek lawan menempelkan badannya ke punggung Dybala secara ketat. Ia mencoba menjaga dan mengukur jarak dengan mengulurkan tangan ke belakang seperti gerakan memeluk. Bola berada di kaki gelandang Juve, misalnya, Ramsey.
Ketika “memelukkan” tangan ke belakang, Dybala akan merendahkan tubuhnya, menekuk lututnya, membuat bek lawan kesulitan menggeser posisi berdirinya. Ia seperti “menancapkan” kakinya ke dalam tanah.
Tubuhnya yang liat, mendukung aksi ini. Pada momen ini, ia melakukan aksi yang kompleks, yaitu: mengukur jarak dengan bek, menguatkan posisi berdirinya mengandalkan kaki, fokus ke bola, sekaligus mengamati situasi sekitar.
Dan satu lagi aksi yang penting, yaitu lentingan dirinya dari posisi diam, dengan gerak yang presisi. Ketika Ramsey melepas umpan vertikal ke arahnya, dengan akselerasi yang cepat, Paulo Dybala akan menjauhkan dirinya dengan bek lawan. Targetnya adalah menciptakan jarak sekitar dua hingga tiga meter.
Dengan “jarak” tersebut, ia bisa mengalirkan bola dengan satu sentuhan. Ingat, selain menahan bek lawan, ia juga mengamati situasi sekitar. Ia memindai posisi kawan dan lawan. Atau, ia tak mengalirkan bola, tetapi mengontrolnya. Ketika mengontrol (menghentikan bola), ia bisa membalikkan badan dan menghadap gawang lawan. “Jarak” yang ia ciptakan memungkinkan momen ini terjadi.
Aksi yang kompleks itu memastikan aliran bola Juve tetap lancar. Sangat kontras ketika dirinya diganti di babak kedua. Tidak ada pemain yang bisa menjadi opsi umpan-umpan vertikal. Dalam posisi unggul 2-1, Juventus banyak menggunakan kelebihan Cuadrado atau Ronaldo untuk 1 vs 1 dengan pemain Lazio. Bahkan hanya untuk sekadar mencari pelanggaran dan mengulur waktu.
Satu hal lagi, Paulo Dybala bermain sambil menahan cedera punggung. Saya baru tahu fakta ini selepas pertandingan. Padahal, selama kurang lebih 60 menit, saya menyaksikan sajian apik dari pemain yang terlihat sangat bugar.
Dia ditabrak, adu badan dengan pemain Lazio, tapi tidak bergeming, tidak mengaduh kesakitan. Dia masih bisa berkelit, mengirim umpan matang untuk Ronaldo. Masih bisa melakukan sprint jarak pendek dengan punggung cedera.
Oleh sebab itu, di mata saya, Paulo Dybala adalah pemain terbaik Juventus. Kenapa? Karena dia mau berkorban, mengorbankan tubuhnya demi kemenangan tim. Pemain seperti ini adalah sosok yang harus ada di setiap tim juara.
Sumber gambar: Wikimedia Commons.
BACA JUGA Milan Kalahkan Juventus, tapi Dapat Penalti, Milanisti Kecewa dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.