Setelah kurang lebih dua minggu sebelumnya official poster resmi dirilis, 4 Juli 2019, trailer film Bumi Manusia dan Perburuan resmi tayang di YouTube channel Falcon Pictures. Seperti yang sudah kita ketahui, kedua film ini diangkat dari buku karya penulis yang sama, Pramoedya Ananta Toer.
Sejak awal, kabar alih wahana Bumi Manusia dari buku ke film, memang sudah menuai beragam komentar. Ada yang pro tapi tidak sedikit juga yang kontra. Ada yang meragukan akting Iqbaal—yang didapuk sebagai Minke—ada juga yang meragukan kemampuan Hanung dalam menyutradai film tersebut.
Terlepas dari pro dan kontra itu sendiri, tidak bisa dimungkiri bahwa tidak sedikit orang yang memang penasaran menantikan film Bumi Manusia. Meski lagi-lagi alasan penasarannya juga beragam, ada yang memang murni penasaran saja bagaimana Bumi Manusia dalam bentuk film, ada juga yang penasaran karena ingin memastikan bahwa keraguannya pada sosok Iqbaal sebagai Minke dan Hanung sebagai sutradara adalah sesuatu yang tepat atau justru adalah sesuatu yang salah.
Jadi, habis nonton film Bumi Manusia, bisa langsung posting Instagram story “kan, saya bilang juga apa, Iqbaal terlalu unyu jadi Minke. Mas Hanung, Bumi Manusia tuh bukan film cinta-cintaan doang keleuss” atau “Wah, ternyata saya salah, Iqbaal oke banget jadi Minke, Mas Hanung…aku padamu 3000” Yah, kurang lebih begitulah ramalan Instagram story yang akan muncul nantinya. Perihal yang mana yang akan dipakai, semua terserah padamu, aku begini adanya, kuhormati keputusanmu, apa pun yang akan kau katakan.
Mencoba meramal akan seperti apa film Bumi Manusia—di tangan Hanung sebagai sutradara dan Iqbaal sebagai Minke—bagi saya pribadi adalah hal yang sudah lewat. Dalam artian sudah banyak dan sering dibahas. Oleh karena itu, saya ingin bergeser ke buku dan film Perburuan. Akan tetapi, saya juga tidak akan membahas buku atau pun film Perburuan secara lebih detail. Apa yang akan saya tuliskan semata hanya sekadar unek-unek yang muncul setelah official poster resmi dirilis.
Kabar bahwa buku Perburuan akan difilmkan sebenarnya sudah beredar sejak tahun 2014 silam. Akan tetapi, entah karena faktor apa, film tersebut baru bisa memasuki proses syuting pada tahun 2018 dan tayang pada tahun 2019—bersamaan dengan film Bumi Manusia.
Salah satu dampak positif dari difilmkannya sebuah buku adalah, banyak orang yang pada akhirnya mulai tertarik atau penasaran untuk membaca bukunya—entah sebelum atau sesudah menonton filmnya. Hal ini bisa kita lihat dari buku Bumi Manusia. Sampai saat ini, buku tersebut masih laris manis di toko buku, baik di toko buku daring maupun di toko buku luring.
Antusiasme yang tinggi juga sebenarnya dialami oleh buku Perburuan, sayangnya buku ini sudah langka di pasaran. Sangat sulit untuk bisa mendapatkan buku ini. Di beberapa marketplace banyak yang menawarkan, tapi ternyata buku KW alias bajakan. Di perpustakaan mungkin masih ada yang mengoleksi, tapi jumlahnya tentu saja tidak sebanding dengan calon peminjam. Apa mau baca versi PDF alias ebook ilegal? Hmm…
Kenyataan ini tentu saja menjadi kegelisahan tersendiri bagi saya dan mereka yang penasaran ingin membaca buku tersebut. Solusinya apa? Saya sendiri masih belum tahu harus bagaimana. Membaca versi bajakannya, rasanya kok gimana gitu yah. Sudah tahu salah, masak masih dilakukan? Ya tapi mau bagaimana dong, mau beli buku ori juga sudah susah. Sekalinya ada yang jual harganya sungguh luar biasa sekali—sobat misqueen can’t related. Mau menabung dulu, bukunya keburu dibeli orang lain. Mau patungan sama teman, mereka lagi pada puasa belanja buku. Hadeuhh…
Selama ini, kita tentu sudah sering mendengar dan membaca tentang kampanye anti buku bajakan. Banyak hal yang ditawarkan untuk menjadi solusi. Akan tetapi, tidak bisa dimungkiri, solusi-sulusi yang ditawarkan kadang kala sulit untuk realisasikan. Contohnya seperti buku Perburuan itu tadi—setidaknya begitu yang saya rasakan. Harapan saya sih semoga buku Perburuan bisa segera dicetak ulang, supaya yang belum baca bisa terlampiaskan rasa penasarannya.
Dari segi film juga ada hal yang menarik—dari film Perburuan tersebut. Yaitu jadwal tayangnya yang bertepatan dengan film Bumi Manusia. Sebenarnya bukan hal yang baru sih dua film yang katakanlah ditunggu banyak orang tayang di waktu yang sama. Akan tetapi, film Bumi Manusia dan Perburuan ini punya satu hal yang memantik rasa penasaran— tentang apa alasan yang mendasari kedua film ini tayang dihari yang sama. Apakah Cuma kebetulan semata atau memang disengaja—sebagai bagian dari strategi pemasaran.
Hal yang memantik rasa penasaran tersebut adalah pemeran pria utamanya. Iqbaal Ramadhan dan Adipati Dolken. Bukan, ini bukan tentang siapa yang aktingnya paling bagus, tapi tentang cerita di film sebelumnya yang masih terbawa sampai sekarang. Sebelum berperan di film Bumi Manusia, Iqbaal bermain di film Dilan 1990 sebagai Dilan, dan Adipati Dolken berperan sebagai Ditto di film Teman Tapi Menikah. Pemeran utama wanita di kedua film tersebut adalah orang yang sama, Vanesha Prescilla. Film Teman Tapi Menikah itu sendiri tayang kurang lebih satu bulan setelah film Dilan 1990 tayang—saat pencinta novel Dilan dan fans Iqbaal masih baper-bapernya dengan film Dilan 1990.
Chemistry yang kuat antara Vanesha dan Iqbaal di film Dilan 1990, membuat banyak penggemar Iqbaal—dan mungkin penggemar Vanesha—seakan sulit menerima saat Vanesha ternyata disinyalir menjalin hubungan dengan Adipati. Terlebih saat ada beberapa unggahan Adipati di media sosial yang dianggap menyinggung Iqbaal. Makin menjadilah “perang” antara fans Iqbaal dan fans Adipati.
Kejadian seperti ini juga sebenarnya memang sangat sering terjadi. Chemistry yang kuat di film dibawa-bawa ke kehidupan nyata. Akhirnya yah kalau ternyata dalam kehidupan nyata seorang pemain film menjalin hubungan bukan dengan lawan mainnya di film, banyak yang lantas kecewa atau tidak suka.
Berkaca dari hal di atas, tidak heran jika kemudian ada yang menganggap jadwal tayang Bumi Manusia dan Perburuan yang jatuh pada hari yang sama, seperti ingin mengulang kembali “perang” antara fans Iqbaal dan fans Adipati. Setelah Dilan vs Ditto, terbitlah Minke vs Hardo. Ckckckck…
Terlepas dari fenomena versus-versus di atas, setiap dari kita tentu punya hak masing-masing: mau menonton kedua film tersebut, mau nonton salah satunya, atau tidak menonton dua-duanya sekalian. Bebas, mau pilih yang mana. Saya sendiri, selama ada rezeki untuk nonton dan dapat izin dari suami untuk ninggalin anak sebentar, saya pasti akan nonton. Apakah nonton keduanya atau cuma salah satunya, bergantung pada rezeki yang ada dan berapa lama dikasih izin sama suami. Semoga saja bisa nonton dua-duanya, hahaha.
Saya juga tahu, banyak yang menolak menonton film yang diadaptasi dari buku karena tidak ingin merusak imajinasi yang sudah telanjur dibangun. Hal ini sah-sah saja, tidak ada masalah—bagi saya. Andaipun yang menonton juga niatnya untuk sekadar membandingkan antara buku dan film, ya silakan saja. Meskipun pada kenyataannya ada juga yang menganggap buku dan film itu adalah dua hal yang sebaiknya jangan dibandingkan. Biarkan saja mereka (buku dan film) berbicara dengan bahasanya masing-masing.
Akan tetapi kembali lagi, semua adalah tentang memilih, dan semua orang berhak untuk memilih dalam hal apa pun. Tidak terkecuali memilih dalam hal: mau ditraktir nonton atau mau mentahnya saja, iya kan? Hiyahiyahiya~