Kita tentu sepakat setiap pasangan yang akan menikah pasti punya ujiannya masing-masing. Berat atau tidaknya ujian tersebut, setiap orang juga juga punya penilaian sendiri-sendiri. Hal yang menurut kita ujian yang biasa saja, bisa jadi adalah ujian yang berat bagi orang lain, begitu pun sebaliknya.
Salah satu hal yang sering kali menjadi ujian adalah perihal aturan adat yang harus diikuti. Di masyarakat suku Bugis-Makassar aturan adat yang sampai saat ini sering menjadi ujian tersendiri bagi sepasang muda mudi yang ingin menikah adalah perihal uang panai’.
Uang panai’ itu sendiri adalah sejumlah uang yang harus diserahkan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Terkait berapa jumlah uang panai’ yang harus diberikan, tidak selalu sama antara satu dengan lainnya, semua bergantung pada kesepakatan antara keluarga kedua belah pihak. Dalam menentukan jumlah uang panai yang harus disiapkan juga tidak sembarangan, ada beberapa hal yang menjadi penentunya—dua hal yang paling penting adalah status sosial dan tingkat pendidikan. Uang panai’ untuk perempuan dari kaum bangsawan tentu berbeda dengan uang panai’ untuk perempuan dari masyarakat biasa.
Di kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar itu sendiri uang panai’ memang masih menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dibicarakan. Sangat sering terjadi, jika mendengar seorang gadis akan menikah, yang lebih dulu ditanyakan adalah: “berapa uang panai’nya?” Kehadiran pertanyaan ini menjadi sebuah pertanda bagaimana uang panai’ punya peran penting dalam hal pernikahan masyarakat suku Bugis-Makassar.
Hal lain tentang uang panai’ yang juga tidak kalah menariknya untuk disimak adalah, tidak jarang besaran jumlah uang panai’ menjadi semacam adu gengsi. Dalam beberapa kejadian, saking tidak ingin kalah saing, ada yang bahkan tidak peduli jika pihak laki-laki harus berutang agar bisa memenuhi uang panai’ yang sudah ditetapkan. Hal seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu penyebab mengapa uang panai’ menjadi sesuatu yang selalu menuai komentar pro dan kontra—baik di kalangan masyarakat suku Bugis-Makassar itu sendiri maupun di kalangan masyarakat luas.
Kisah nyata tentang perempuan-perempuan yang punya uang panai’ dengan jumlah yang fantastis juga masih sering terdengar sampai sekarang. Sama halnya dengan cerita-cerita dari kisah nyata tentang hubungan sepasang muda mudi yang harus terombang-ambing atau malah bubar jalan sekalian karena terkendala uang ini.
Misalnya saja seperti kisah tentang teman saya. Teman saya—yang adalah seorang laki-laki—sudah mengutus keluarganya untuk membicarakan perihal uang panai’ kepada keluarga pacarnya. Dari penuturan keluarga teman saya, saya mendapat kabar bahwa pembicaraan mereka dengan keluarga pihak perempuan terbilang cukup alot—sulit mencapai kesepakatan. Besaran uang panai’ yang diminta oleh pihak perempuan melebihi jumlah uang yang sudah dipersiapkan oleh teman saya dan keluarganya.
Pihak perempuan memang bukan kaum bangsawan, tapi dia anak perempuan satu-satunya—dan seorang guru. Oleh karena itu, pihak keluarga ingin menggelar resepsi pernikahan yang ramai kalau tidak bisa dibilang meriah. Menyelenggarakan pesta yang ramai tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena itu pihak keluarga perempuan menentukan uang panai’ yang tidak sedikit juga. Nah, jika berbicara tentang nilai uang—sedikit atau banyak—tentu saja adalah penilaian yang relatif. Dianggap banyak menurut teman saya, belum tentu banyak menurut saya sendiri atau pun menurut orang lain, begitu pun sebaliknya. Oleh karena itu, saya tidak menyebutkan angkanya, pada intinya tabungan teman saya ditambah dengan bantuan dari orang tuanya, belum bisa untuk memenuhi uang tersebut dari pihak keluarga pacarnya.
Meski belum menemukan kata sepakat perihal jumlah, setidaknya teman saya masih diberi kesempatan untuk berusaha. Dia masih diberi waktu sekian bulan untuk bisa memenuhi permintaan keluarga pacarnya. Jika dalam hitungan bulan tersebut teman saya tidak bisa memenuhi apa yang diminta, maka ia harus siap patah hati jika kemudian pacarnya menikah dengan laki-laki lain yang dianggap sudah lebih siap dalam hal finansial.
Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, kejadian semacam ini memang sudah sering terjadi. Terlepas dari pro dan kontra terkait uang itu sendiri, memang tidak bisa dimungkiri bahwa setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Apakah kemudian yang dinilai terbaik itu bukan orang yang dicintai oleh anaknya, itu masalah yang lain lagi. Jika ingin membahas tentang cinta memang tidak akan ada habisnya.
Teman saya sendiri juga paham betul bahwa cinta memang butuh perjuangan, dan setiap orang punya kisah perjuangannya sendiri-sendiri. Teman saya harus berjuang keras untuk memenuhi uang panai’, saya sendiri waktu itu harus berjuang keras untuk mendapat restu. Meski keduanya berbeda, tapi punya risiko yang sama. Risiko menjadi tamu di pernikahan mantan.
Di luar dari peliknya masalah uang panai’ tersebut, berbicara tentang pernikahan berarti berbicara tentang jodoh. Nah, jika bicara tentang jodoh, kita semua pasti sudah tahu bahwa hal tersebut adalah kewenangan Sang Maha Segalanya. Sebagai manusia, kita cuma bisa berusaha dan meminta. Jalan untuk bertemu jodoh itu kadang memang tidak bisa ditebak dari mana datangnya. Sama halnya jika sudah tidak jodoh, ada saja hal yang menjadi alasannya untuk berpisah. Entah itu terkendala restu, terkendala aturan adat, atau bahkan terkendala hal seperti belum bisa move on dari mantan yang tiba-tiba ngechat apa kabar atau aku kangen.
Apapun yang menjadi hasil akhir sebuah perjuangan dalam hal mencintai, semua pasti ada hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik. Banyak yang bilang, berhasil atau pun gagal, yang penting adalah sudah berjuang. Jadi, yang sedang berjuang untuk menikah—termasuk yang sedang berjuang mengumpulkan uang panai’—tetap dan terus semangat! Saya ikut mendoakan, semoga dilancarkan dan diberikan jalan keluar terbaik yah. Cheers~