Masa-masa saya SMP permainan jelangkung sedang naik-naik daunnya. Beberapa kali saya memainkannya bersama teman-teman satu kompleks. Tidak pernah terjadi sesuatu yang istimewa sampai kami merasa jenuh dan berpikir permainan ini tidak lebih dari omong kosong yang ceritanya direproduksi terus-menerus oleh orang-orang berbeda dengan cerita yang serupa, namun palsu semua. Sampai suatu ketika datang hari di mana saya merasakan ketakutan yang sebenar-benarnya….
Saat itu tetangga kami baru saja meninggal karena kecelakaan. Ceritanya menyedihkan karena saat itu anak keduanya yang masih bayi akan mengulang hari kelahirannya untuk pertama kalinya. Namun, bala tak bisa ditolak, malam itu saat pulang dari lembur kerja, ia mengalami kecelakaan dengan membawa kado berupa hadiah ulang tahun untuk anaknya. Hanya kado itu satu-satunya yang tersisa karena motor serta separuh wajahnya hancur ditabrak truk dan tubuhnya terlempar hingga ke pematang sawah pinggir jalan.
Semua orang bersedih karena Pak Dodi, tetangga kami itu, adalah orang yang sangat ramah. Siapa pun yang ditemuinya akan disapa minimal dengan senyuman. Semua merasa kehilangan akan sosoknya.
Hari itu adalah hari ketiga Pak Dodi berpulang. Setelah mampir tahlilan dari rumahnya, kami berencana menginap di rumah teman saya berada tepat di sebelah rumah Pak Dodi. Saat itu dia ketakutan ditinggal sendiri oleh orang tuanya yang punya bisnis restoran dan penginapan di Gili. Sebenarnya sudah biasa dia ditinggal sendiri namun karena mendengar-dengar cerita tentang anak tetangganya yang selalu tersenyum seperti sedang bermain dengan bapaknya yang sudah meninggal, teman saya ini menjadi takut.
Biadabnya, entah ide siapa, tiba-tiba kami berencana main jelangkung. Sebenarnya kami pernah beberapa kali bermain jelangkung bersama tapi nihil semua. Tidak ada hal apa pun yang datang, tidak ada sensasi horor seperti yang diceritakan orang-orang. Kami sempat berpikir, mungkin karena kami bermain di sore, magrib, bahkan kadang siang. Kami belum pernah main lewat tengah malam. Karena itu, mumpung sedang bersama, ada teman saya yang usul: mengapa tidak bermain jelangkung setelah lewat tengah malam?
Asem, memang gila semua teman saya ini. Sudah gitu sebelum bermain malah menonton film horor pula, film “Jelangkung” I. Namun, baru nonton beberapa menit saya merasa mengantuk karena habis minum obat flu. Setelah rasanya ngantuk tak tertahankan, saya memilih untuk meninggalkan mereka menonton dan pergi tidur. Namun, tidak lupa untuk minta dibangunkan tengah malam. Tidurlah saya sendiri di kamar Rizki dan mereka lanjut menonton film horor.
Lelap sekali rasanya tidur saya malam itu hingga seperti ada yang membangunkan saya. Cukup terkejut rasanya ketika terbangun semua lampu di rumah itu mati, tidak satu pun orang di kamar itu. Hanya terdengar suara lirih teman-teman saya memanggil jelangkung.
“Jelangkung, jelangsat… di sini ada pesta… pesta kecil-kecilan…. Jelangkung, jelangsat… datang tidak diundang, pergi tidak diantar.”
Ritual memanggil jelangkung itu menggema di ruang tengah, berulang-ulang hingga akhirnya saya keluar dan melihat keempat teman saya sedang membuat lingkaran. Di tengahnya, sebuah lilin dan boneka jelangkung terpajang. Asem, selama ini kami main jelangkung hanya menggunakan lilin saja, tapi ini ada boneka jelangkung segala, dapat dari mana mereka?
Saya melihat wajah teman-teman saya serius namun juga ketakutan. Mereka terus tanpa henti memanggil jelangkung dengan ritual itu.
Teman saya bernama Rian menoleh. Ia mengatakan kepada saya, sudah dua kali ada “sesuatu” yang datang, tapi pergi lagi. Sekarang mereka hendak memanggilnya kembali. “Tadi sudah coba bangunin kamu tapi nggak bangun-bangun,” katanya. Makanya mereka memulai permainan tanpa saya.
Tok, tok, tok….
Terdengar bunyi pintu diketuk tiga kali. Kemudian ketokan itu diulang lagi tiga kali. Begitu terus berulang-ulang.
“Siapa?” tanya Andre.
Tidak ada jawaban selain ketukan tiga kali. Pertanyaan diulang, kali ini oleh Rizki, empunya rumah. Jawabannya masih hanya berupa ketukan.
“Dho, buka pintunya,” perintah Danang.
“Godek… nte aja sana,” kata saya.
“Nte paling kecil di sini hep. Siapa suruh ikut.”
Saya ketakutan setengah mati. Semuanya meminta saya bukan karena saya paling kecil, tapi saya bisa lihat mereka ketakutan tapi juga penasaran. Bulu kuduk saya berdiri semua dan saya memberanikan diri berjalan ke arah pintu depan.
Terdengar bunyi ketukan itu lagi. Sepertinya makhluk ini tidak mau masuk sendiri. Akhirnya saya beranikan diri untuk membuka pintu. Selangkah, dua langkah saya berjalan, sampailah saya di depan pintu. Ragu-ragu rasanya ketika berada di depan pintu, tapi setelah mengambil napas panjang…
“Klek” bunyi kunci saya buka memecah keheningan. Kemudian perlahan-lahan saya buka pintu. Saya terkejut bukan main.
Tidak ada siapa-siapa.
Saya tutup pintu kemudian membalikkan badan dan saya lebih terkejut lagi karena melihat sesosok berbaju putih seperti kemeja yang biasa digunakan Pak Jokowi. Namun, yang membuatnya serem, ada banyak sekali noda darah. Belum lagi kepalanya yang pecah di bagian kiri memperlihatkan sebagian isi kepalanya yang terbalut darah kental. Saya tidak pernah melihat secara langsung pemandangan semengerikan itu. Bahkan lebih mengerikan dari melihat leak.
Saya lihat teman-teman saya menggigil, mulut mereka seolah berkata sesuatu namun tak terdengar sepatah kata pun. Yang membuat suasana makin mencekam, si tamu yang diundang itu meminta sesuatu.
“Antarkan saya ke tempat anak saya!”
Saya tahu suara ini. Saya pernah mendengarnya.
Pak Dodi!!!
Saya kaget betul ketika tahu siapa tamu kami.
Permintaan itu diulang lagi olehnya dengan suara yang lirih juga perih. Teman-teman saya tidak ada yang mampu bersuara. Mereka tampak syok. Bahkan Rizky sudah pingsan.
Karena tidak ada jawaban dia, menoleh ke arah saya dan saya semakin terkejut dengan penampilannya. Kepalanya pecah, wajahnya penuh darah, dan yang paling mengerikan, salah satu mata tidak memiliki kelopak, melotot keluar seperti akan copot dari wajahnya. Sensasi mengerikan itu terasa betul karena jaraknya terlalu dekat.
Bruk… tiba-tiba semua gelap….
Sepertinya saya pingsan dan saat tersadar bangun, saya agak kaget karena terbangun di kasur dalam suasana rumah masih gelap. Apakah saya bermimpi?
Kemudian lirih terdengar suara teman saya seperti bernyanyi.
“Jelangkung, jelangsat… di sini ada pesta… pesta kecil-kecilan…. Jelangkung, jelangsat… datang tidak diundang, pergi tidak diantar.”
Saya berjalan ke arah ruang tengah mengulang pengalaman saya. Kemudian saya mendengar Rian berkata, “Dho, cepet sini. Ada yang datang tadi. Tapi sepertinya nggak mau masuk rumah.”
Masih mengantuk saya berjalan ke arah mereka sampai saya kaget dengan suara itu. Suara yang saya dengar dalam mimpi tadi: ketukan pintu tiga kali.
Tok, tok, tok….
BACA JUGA Pengalaman Diikuti Jin Berkepala Babi saat Mendaki Gunung Rinjani dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.