Percaya sama saya, kalian jangan jadi orang yang nggak enakan. Jadi orang yang nggak enakan itu betul-betul nggak enak. Kadang, saya sering mencoba jadi pribadi easy going. Ya, meski nggak jarang masih gampang ngerasa nggak enakan. Gampang ngerasa sungkan gitu.
Cerita ke-nggak-enakan saya ini, ada di pengalaman bukber saya sebelum adanya pandemi corona. Setelah berbulan-bulan tinggal di perantauan untuk belajar, biasanya di penghujung Ramadan saya akan pulang ke rumah untuk mudik. Nah, kesempatan ini biasanya diagendakan untuk bertemu kangen dengan teman-teman masa kecil dengan buka bersama.
Buka bersama di luar rumah semacam ini sesungguhnya sangat ribet. Pasalnya, pasti setelah makan kami nggak enak kalau ujug-ujug langsung pulang. Nanti malah dikira temen “SMP” alias Sudah Makan Pulang. Padahal, waktu antara azan Magrib dan Isya sangat mepet. Hal-hal semacam inilah, yang sering bikin saya males buat buka bersama di luar rumah. Seru sih, ngobrol-ngobrolnya, tapi banyak bikin nggak tenangnya.
Kalau berangkat buka bersama dari rumah, saya selalu dapat pesan-pesan dari kedua orang tua, semacam,
“Jangan jauh-jauh.”
“Pulang setengah tujuh.”
“Habis makan langsung pulang.”
“Sebelum tarawih harus udah pulang.”
Dan namanya nasihat orang tua, semenyebalkan apa pun ya sebisa mungkin kita sebagai anak harus menaati, kan? Pun tidak jarang, beliau menyarankan buat buka bersama mengundang teman-teman saya untuk makan di rumah saja.
Susahnya jadi orang yang gampang sungkan itu, mau bilang, “Pulang duluan, ya?” itu sungguh sangat susah. Harus nunggu waktu dan tempat yang pas. Harus nunggu temen-temen selesai ngobrol dulu, misalnya. Nunggu semua orang yang ikutan bukber sudah pada gantian buat salat Magrib. Atau nunggu mepet Isya, sekiranya bisa terjangkau sebelum jamaah Isya di masjid mulai sudah harus sampai di rumah. Pokoknya, nunggu keadaan pamitan yang paling tepat, deh!
Eh, udah nyari waktu yang pas sampai segitunya, masih saja dapat cibiran, “Kok, buru-buru amat, sih?”, “Kamu nggak kangen sama kita-kita, ya?”, “Ah, dasar anak mami yang nggak bisa pergi lama.”
Pernah nih, gara-gara rasa nggak enakan itu dan nunggu waktu yang tepat tadi, saya memberanikan diri ke temen-temen untuk izin duluan. Jadi setelah berbuka bersama dan salat Magrib, saya sudah ambil ancang-ancang untuk izin. Eh, ternyata masih ada sesi foto bersama. Okelah, akhirnya saya ikut foto dulu, daripada nanti nyesel kan, ya? Pas temen-temen upload foto-foto bukber di Instastory, masak saya doang yang nggak ada?
Setelah sesi foto bersama berakhir, saya langsung buru-buru pamit pulang. Sudah mepet azan Isya juga akhirnya. Sampai di depan rumah, semua pintu sudah terkunci. Mau nyusul ke masjid, juga nggak bawa mukenah. Mau balik ketemu temen-temen juga jauh. Akhirnya saya nunggu orang rumah pulang sampai selesai salah Tarawih di masjid.
Sudah nunggu satu jam di depan rumah, pas orang tua pulang dari masjid, eh masih aja kena omelan. Dikiranya saya baru pulang. Padahal, sudah dari jam tujuh di depan rumah. Hiks banget, kan?
Pasca kejadian itu, rasa-rasanya saya jadi malas buat mengiyakan tawaran teman-teman buat ikutan bukber, apalagi kalau tempatnya jauh. Ya, daripada merasa serba salah dan masih kena omelan, kan? Mending ketemuannya di lain waktu. Di waktu yang lebih panjang dan nggak nabrak salat Tarawih yang sayang dilewatkan.
Ya, meski kalau dipikir-pikir, susah juga cari momen ketemu kalau nggak lewat agenda bukber semacam ini~
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.