Sebagai warga Banyuwangi yang tinggal cukup dekat dengan Bali, liburan ke Bali itu hanya perkara biasa. Tidak perlu cuti panjang, tidak perlu rencana ribet. Jarak tempuh dari Banyuwangi ke Bali bahkan cuma satu jam menyeberangi Selat Bali. Setelah kapal bersandar, kalian sudah resmi menginjak tanah tujuan dan langsung disambut patung Mahadewa yang berdiri gagah di depan Pelabuhan Gilimanuk. Seakan mengucap selamat datang, silakan mempersiapkan mental untuk menghadapi macet dengan khidmat.
Ya, Bali memang sedekat itu, jika tujuan kalian hanya ingin bersantai di wilayah Gilimanuk. Tapi cerita akan sangat berbeda jika kalian berniat menuju ibu kota, Denpasar. Sebab motoran dari Pelabuhan Gilimanuk menuju Kota Denpasar, perjalanan masih membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Empat jam yang akan terasa seperti satu hari kerja penuh, lengkap dengan ujian kesabaran.
Jalur Gilimanuk-Denpasar menguji kesabaran dan mental
Jalur dari Gilimanuk ke arah Denpasar pada dasarnya hanya jalan lurus. Lurus secara peta, tapi berliku secara batin. Sebab selepas keluar dari Gilimanuk, perjalanan ke arah Denpasar sebenarnya cukup menyenangkan. Sepanjang jalan, kawasan Taman Nasional Bali Barat menyuguhkan pemandangan rindang, hijau, dan menenangkan. Pohon-pohon besar berjajar seperti sedang berkonspirasi menciptakan suasana liburan yang terlalu indah untuk dicurigai.
Namun jangan salah. Jalur aspal yang terlihat lurus, mulus dan sejuk itu justru perlu diwaspadai. Bukan apa-apa, sepanjang Gilimanuk hingga Selemadeg, jalan-jalan berlubang kecil tapi dalam sering kali tak terlihat oleh pengendara motor. Lubangnya tidak besar, tapi cukup untuk membuat kendaraan oleng jika tidak fokus. Tidak jarang di titik ini sering sekali kendaraan yang melaju terlalu kencang mengalami kecelakaan tunggal.
Belum lagi pemandangan di sepanjang jalan yang menampilkan bentang alam pantai selatan Bali berpadu dengan kondisi vegetasi yang masih alami. Jika kalian tidak fokus, lokasi ini juga kerap membuat pengendara terjatuh.
Jalanan Tabanan yang terasa tak berujung
Sejak dulu, bagian perjalanan ke Bali yang paling membuat saya kesal adalah ketika sudah memasuki wilayah Tabanan. Entah mengapa, Tabanan terasa amat panjang dan tak kunjung selesai. Seolah-olah kabupaten ini diciptakan khusus untuk menguji iman pengguna jalan. Sebab setelah berhasil melewati jalan raya Jembrana, pengendara masih harus menyiapkan napas panjang.
Tantangan kalian harus melewati Kabupaten Tabanan, meski di aplikasi jaraknya hanya 60 kilometer saja. Namun 60 kilometer dengan topografi pegunungan akan terasa seperti labirin tanpa ujung. Sepanjang jalur tersebut, kalian wajib membawa stok sabar dari rumah. Sebab sejak rute penyeberangan Ketapang-Lembar ditutup, makin banyak transformers yang memilih jalur ini untuk menuju Pelabuhan Padang Bai. Di titik ini, kalian harus bijak mengambil keputusan. Mau lanjut jalan dengan mental baja, atau berhenti sejenak untuk menyiapkan jiwa.
Hal itu bukan tanpa sebab. Truk-truk transformers itu selalu berjalan beriringan, sementara lebar jalan Tabanan cukup riskan untuk bisa salip-salipan. Sedikit lengah, nyawa bisa jadi taruhan. Bisa jadi waktu tempuh jauh lebih panjang hingga dua jam lamanya akibat antrean kendaraan yang berjalan pelan. Kuncinya ya cuma sabar.
Finish di Bali dan selalu ingin kem-Bali
Setelah lelah menghadapi jalan panjang yang terasa tak berujung, truk-truk transformer yang menyemut, kemacetan yang memaksa berdamai dengan waktu. Pada akhirnya motoran ke Bali selalu bermuara pada satu kesimpulan yang sama: pulau ini tidak pernah benar-benar habis untuk diceritakan. Justru dari semua kerepotan itulah, selalu ada alasan untuk kembali.
Bali memang kota yang sangat kental dengan adat istiadat. Meski wisatawan datang silih berganti, tradisi tetap hidup. Di setiap sudut jalan, rumah, toko, bahkan SPBU, kalian akan menemukan canang. Persembahan kecil berisi doa dan rasa syukur yang diletakkan dengan penuh hormat oleh umat Hindu. Bali mungkin terlihat digerus budaya Barat di brosur pariwisata dan unggahan media sosial, tapi dalam keseharian, kesakralan masih dijaga oleh masyarakatnya.
Oh iya, satu lagi yang cuma Bali punya, upacara adat yang bisa menutup jalan tanpa perlu minta maaf. Tidak ada klakson marah. Semua orang berhenti, menunggu dan menerima. Sebab di Bali, waktu bukan cuma soal cepat sampai, tapi soal tahu kapan harus berhenti dan menghormati sesuatu yang lebih besar dari ego diri sendiri.
Penulis: Ferika Sandra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Bali, Surga Liburan yang Nggak Ideal bagi Sebagian Orang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















