Kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu melatih banyak hal. Di sini, mahasiswa tidak hanya ditempa secara intelektual dan spiritual, tetapi juga dilatih memiliki mental baja serta kemampuan bertahan hidup di alam liar bernama Jalan Raya Ciputat.
Izinkan saya memperkenalkan diri. Saya bukan “Anak Kampus 1” UIN Jakarta yang gedung-gedungnya megah itu. Saya adalah “Anak Kampus 2” (salam warga Psikologi dan FISIP!). Sebagai aktivis yang sering wara-wiri rapat di Kampus 1, saya punya rutinitas harian yang jauh lebih menakutkan daripada menghadapi dosen killer: menyeberang jalan di depan Kampus 1.
Tombol ‘pelican crossing’ atau tombol pemicu dosa?
Mari bicara jujur soal fasilitas umum kita. Di depan gerbang megah UIN 1, tidak ada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO). Fasilitas yang tersedia hanyalah sebuah tiang dengan tombol penyeberangan (pelican crossing). Secara teori, alat ini canggih. Lampu merah menyala, kendaraan berhenti, pejalan kaki melenggang aman. Tapi di Ciputat, teori itu batal demi hukum. Memencet tombol itu di jam sibuk adalah tindakan bunuh diri sosial.
Kita tahu pengendara motor di Ciputat punya sumbu sabar setipis tisu dibagi dua. Begitu tombol dipencet dan lampu berubah merah, seketika itu juga ratusan pasang mata pengendara menatap kami. Tatapan itu setajam silet, seolah berteriak: “Woy, mahasiswa UIN Jakarta! Udah tau macet, malah bikin tambah macet! Buruan nyebrang atau gue gilas sekalian!”
Di titik itulah nyali saya ciut. Ada rasa bersalah yang menyelinap. Rasanya saya menjadi antagonis utama yang menghambat perputaran roda ekonomi warga Tangsel. Padahal, saya cuma mau kuliah atau rapat UKM, bukan mau memblokade jalan.
JPO yang jauhnya tak masuk akal dari Kampus 1 UIN Jakarta
Pasti ada netizen budiman yang nyeletuk: “Lho, kan ada JPO di sana, yang dekat Mie Gacoan? Kenapa nggak lewat situ? Manja amat!”
Wahai Bapak/Ibu yang budiman, mari berhitung logika jarak. JPO yang Anda maksud itu jaraknya sekitar 200 meter dari gerbang Kampus 1 UIN Jakarta.
Bayangkan skenarionya: Kami harus jalan 200 meter ke arah Gacoan, naik tangga JPO yang tinggi, turun tangga, lalu jalan balik lagi 200 meter ke gerbang kampus. Itu bukan menyeberang, itu pemanasan half marathon sebelum kuliah.
Sampai di kelas, bukannya siap diskusi, kami malah sibuk kipas-kipas karena mandi keringat. Makeup luntur, ketiak basah, dan mood belajar sudah hancur lebur dimakan debu jalanan Juanda. Masa iya, mau menuntut ilmu di kampus Islam terkemuka syaratnya harus hiking dulu?
Data yang bikin merinding
Buat yang bilang keluhan soal fasum ini berlebihan, mari kita bedah datanya biar kelihatan intelek ala mahasiswa. Melirik data PDDIKTI, UIN Jakarta menampung populasi sekitar 30.000 hingga 40.000 mahasiswa. Sebagian besar mobilitasnya terkonsentrasi di poros Kampus 1 dan 2. Masa iya, populasi sebesar satu kecamatan ini dipaksa menyeberang jalan nasional tanpa JPO yang layak tepat di titik keramaian?
Belum lagi soal lawannya. Berdasarkan riset tetangga sebelah—tepatnya dalam skripsi Mas Prasetyo Satrio dari PNJ yang menganalisis Jalan Ir. H. Juanda—volume kendaraan di jam sibuk bisa tembus 11.086 kendaraan per jam.
Bayangkan, Cuy. 30.000 nyawa akademik UIN Jakarta disuruh bertarung melawan 11.000 mesin besi per jam cuma bermodalkan tombol lampu merah dan doa restu orang tua. Ini bukan lagi manajemen lalu lintas, ini sudah masuk kategori uji nyali kearifan lokal.
Jadi, tolonglah. Buat Pemkot Tangsel, KemenPUPR, atau pihak Kampus, dengarkanlah jeritan hati kami. Kami ini mahasiswa, katanya agent of change. Tapi bagaimana mau bikin perubahan kalau mau nyebrang jalan saja rasanya kayak jadi public enemy nomor satu?
Solusinya sederhana: kasih kami JPO depan Kampus 1 UIN Jakarta yang layak.
Biarkan pengendara motor ngebut dengan tenang tanpa terhalang lampu merah dadakan, dan biarkan kami masuk kampus tanpa rasa bersalah. Sampai JPO itu berdiri, mohon maaf ya warga Ciputat, tombol lampu merah itu akan terus kami pencet dengan hati yang berdebar-debar.
Penulis: Najla Salsabila Muthi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA UIN Jakarta, Kampus Islam yang Hobi Melahirkan Orang Terkenal. Kampus Lain Mana Bisa?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















