Tinggal di Jatinangor membuat saya lebih dekat dengan Tuhan. Bagaimana tidak, kota ini unik sekali dan membawa nilai-nilai baru dalam hidup saya. Sebelum pindah ke Jatinangor, saya berpikir bahwa kegiatan jalan kaki adalah kegiatan yang menyehatkan. Setahun saya tinggal di sini, saya hampir terserempet lebih dari dua kali. Hal yang tak pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, bahwa jalan kaki adalah kegiatan yang berbahaya.
Suatu kali, saya berniat membeli makan malam karena asam lambung naik. Tapi yang terjadi setelahnya, bukan hanya asam lambung yang naik, darah juga ikut naik. Sebuah motor hampir menyerempet saya yang sedang jalan kaki dengan acuh tak acuh. Rasa-rasanya jantung mau copot. Hal itu terjadi karena pada saat itu saya berjalan sedikit naik ke jalan raya, lantaran trotoar bertransformasi menjadi lahan parkir dan pedagang kaki lima. Pemandangan motor, mobil, PKL yang mangkal di trotoar sudah jadi hal yang umum dilihat di Jatinangor.
Trotoar di Jatinangor kini tak hanya sebagai ruang yang aman bagi pejalan kaki, tetapi juga menjadi lahan gratis untuk pengusaha dan pengendara. Warga dengan kreativitasnya, dapat membuat trotoar dwifungsi. Lantas saya berpikir, kenapa hal ini dapat terjadi? Kenapa ruang yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki di Jatinangor diambil haknya.
Jatinangor, kawasan pendidikan tinggi yang padat penduduk
Mari kita berkenalan dengan si kecil Jatinangor. Kecamatan kecil di perbatasan Sumedang-Bandung yang menjadi kawasan pendidikan tinggi berdasarkan Perda Gubernur. Meskipun kecil, tetapi Jatinangor menampung kampus-kampus besar, yaitu ITB, Unpad, Ikopin, dan IPDN. Empat kampus besar yang menyumbang banyak penduduk dengan kebanyakan mahasiswa. Bila setengah dari jumlah mahasiswa aktif Unpad tinggal di Jatinangor, maka Unpad akan menyumbang sekitar dua puluh ribu penduduk.
Tak hanya itu, ITB yang mengharuskan mahasiswa tingkat satu untuk belajar di kampus Jatinangor juga menyumbang sekitar tujuh ribu penduduk. Tapi, hanya sekitar lima desa yang padat penduduk karena jarak yang dekat dengan empat kampus tersebut. Desa-desa tersebut adalah Hegarmanah, Ciseke, Cikeruh, Sayang, dan Cibeusi.
Setiap langkah di Jatinangor kita akan menemukan manusia yang berlalu lalang. Setiap detiknya trotoar memiliki penggunanya, mahasiswalah penglarisnya. Tetapi, tak ada jalan yang mulus untuk dilalui, setiap jalan pasti memiliki rintangan. Namun, sayangnya trotoar di Jatinangor terlalu banyak rintangannya.
Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hak pejalan kaki
Bayangkan, setiap pagi saat akan berangkat kuliah, kamu akan dihadapkan dengan berbagai hal yang membuat mood jelek. Teriknya matahari yang menyengat, polusi kendaraan-kendaraan berat yang lalu lalang dan kamu menambah masalah dengan berjalan kaki yang membahayakan nyawa. Banyaknya kendaraan parkir dan PKL mangkal di trotoar membuat kaum pejalan kaki yang termarjinalisasi harus turun ke jalan raya demi sampai di kampus tercinta.
Ironisnya, kami mahasiswa dengan dompet tipis tidak punya pilihan lain selain berjalan kaki, meskipun infrastruktur tidak memadai.
Kondisi trotoar di Jatinangor sungguh memprihatinkan, khususnya bagi pengguna trotoar seperti saya. Setiap hari para pejalan kaki di Jatinangor bergelut dengan banyak hal, seperti kondisi trotoar yang rusak, fungsi trotoar yang beralih menjadi lahan parkir usaha makanan atau jasa travel yang mangkal karena tidak memiliki terminalnya sendiri, atau bergelut dengan pedagang kaki lima yang mengambil hak kita sebagai pejalan kaki. Berjalan di Jatinangor seperti bermain Roblox dengan map Gunung Lembayana, belok dikit, wassalam kamu ada di dunia lain, entah diserempet atau ditabrak kendaraan lain.
Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa trotoar adalah hak pejalan kaki, bukan hak bersama. Sepertinya, kebanyakan masyarakat Indonesia merupakan penyuka desain maximalist, ada ruang kosong sedikit diisi dan dimanfaatkan untuk kepentingannya sendiri tanpa memperhatikan aspek lain. Saya pikir, harusnya pemilik bisnis dan pengguna kendaraan lebih perhatian terhadap hak-hak pejalan kaki. Toh, jalan tidak pernah milik mereka saja.
Perhatian Pemerintah yang dibutuhkan
Sejatinya, pejalan kaki memiliki hak untuk mendapatkan ruang yang aman dan nyaman untuk berjalan. Kawasan pendidikan dan penduduk yang padat cukup bagi pemerintah untuk memperhatikan infrastruktur mobilisasi warganya. Pemerintah perlu menyediakan lahan parkir resmi dan tempat usaha yang layak bagi pedagang kaki lima. Trotoar juga harus ditata ulang agar memiliki batas yang jelas untuk pejalan kaki, untuk pedagang kaki lima, dan untuk lahan parkir.
Akan tetapi yang paling penting, masyarakat juga harus memiliki kesadaran bahwa trotoar adalah hak bersama. Andai semua pihak bisa bekerja sama, trotoar bisa kembali dipakai sesuai fungsinya, yaitu sebagai tempat yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki.
Penulis: Sintia Nur Azizah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jatinangor, Disukai Sekaligus Dibenci Mahasiswa
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















