Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Nusantara

Pangandaran Hanya Cocok untuk Wisatawan Berkantong Tebal, Bukan untuk Warga Lokal seperti Saya!

Yesi Fitria oleh Yesi Fitria
3 Oktober 2025
A A
Pangandaran Hanya Cocok untuk Wisatawan Berkantong Tebal, Bukan untuk Warga Lokal seperti Saya!

Pangandaran Hanya Cocok untuk Wisatawan Berkantong Tebal, Bukan untuk Warga Lokal seperti Saya! (Abdul Ridwan via Unsplash)

Share on FacebookShare on Twitter

Pangandaran, kabupaten kecil di selatan Jawa Barat, adalah tempat yang kaya akan keindahan alam. Pantai sebagai unggulan pariwisatanya, juga sempat digadang-gadang akan mendapatkan sorotan karena keindahannya seperti Bali. Tak heran kalau ada yang bilang Pangandaran adalah Balinya Jawa Barat.

Laut biru, pantai panjang, tebing dan gua yang eksotis, serta hutan lindung menjadi daya tarik wisata yang luar biasa. Tapi ada satu ironi yang sulit saya abaikan sebagai warga lokal, yaitu tempat ini terasa semakin tidak ramah bagi kami yang tinggal dan tumbuh di dalamnya.

Saya lahir dan besar di Pangandaran. Dulu, pergi ke pantai adalah hal biasa, tanpa biaya, tanpa formalitas, tanpa rasa terasing di tanah sendiri. Tapi sekarang, setiap sudut kawasan wisata seolah telah menjadi ruang eksklusif untuk para pelancong dari kota-kota besar, terutama mereka yang datang dari daerah dengan UMR lebih tinggi. Sementara kami yang hidup di sini, justru semakin sulit menikmati ruang yang dulu kami anggap milik bersama.

Tidak ramah pada warga lokal yang bergaji UMR Pangandaran

Contoh paling sederhana, ketika saya pernah membeli seporsi bakso di kawasan wisata Pantai Barat seharga Rp20.000. Isinya tidak jauh berbeda dengan bakso kaki lima di luar kawasan wisata. Atau es jeruk Nutrisari yang dijual dengan harga Rp10.000, dua kali lipat dari harga normalnya. Mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, tapi bagi kami yang hidup dengan penghasilan setara UMR Pangandaran, ini bukan hal kecil.

UMR Pangandaran pada 2024 berada di angka sekitar Rp2,1 juta per bulan. Itu pun jika bekerja formal, yang mana banyak warga bekerja di sektor informal atau pariwisata musiman, dengan penghasilan yang jauh dari stabil. Jadi, bayangkan ketika duduk sebentar di tepi pantai, lalu dimintai biaya sewa alas Rp20.000. Duduk pun harus bayar. Bahkan untuk warga lokal sendiri.

Ketika sektor pariwisata tumbuh, saya sepenuhnya menyadari bahwa ekonomi memang ikut bergerak. Hotel-hotel dibangun, bahkan hingga kini bagi yang ingin berlibur dengan hotel bintang 5 kamu dapat menemukannya. Warung-warung menjamur, dan jumlah pengunjung meningkat setiap tahun. Tapi pertanyaan saya yang selalu mengganjal adalah seberapa besar dampak pertumbuhan itu benar-benar dinikmati oleh warga lokal?

Yang saya lihat, banyak justru menjadi penonton di tengah keramaian yang ia bantu ciptakan. Jangan kaget jika melihat warga lokal juga harus ikut membayar tiket wisata, meskipun sudah mengeluarkan KTP atau berbicara “saya punya kenalan di sini”.

Paradoks pariwisata

Menurut saya, Pangandaran tampak sedang mengalami paradoks pariwisata. Di satu sisi, kami bangga menjadi bagian dari destinasi unggulan. Bahkan tak jarang teman-teman kuliah saya yang ingin berlibur ke Pangandaran.Tapi di sisi lain, kami juga merasa tersingkir secara perlahan. Ruang-ruang publik yang semestinya bisa diakses secara adil kini berubah menjadi ruang komersil, tempat di mana segala hal diberi harga, bahkan hanya untuk sekadar duduk atau menikmati angin pantai.

Baca Juga:

3 Pantai di Pangandaran yang Tidak Layak Dikunjungi, Wisatawan Sebaiknya Berpikir Dua Kali 

3 Keresahan Setelah Saya Mengunjungi Pantai Pangandaran

Masalahnya bukan pada wisatawan, bukan pula pada niat pengembangan daerah. Masalahnya adalah ketika pembangunan tidak disertai keberpihakan pada warga lokal. Ketika tidak ada skema yang melindungi akses masyarakat terhadap ruang hidupnya sendiri. Ketika tidak ada harga lokal, fasilitas komunitas, atau kebijakan yang menjaga agar warga tidak menjadi asing di tanah kelahirannya.

Apakah kami hanya ditugaskan untuk menjadi pengelola, pelayan, atau penghibur? Di mana ruang bagi kami untuk menikmati alam yang kami jaga sejak dulu? Bukankah keadilan sosial seharusnya memastikan bahwa warga lokal memiliki hak untuk hidup layak dan bahagia, sama seperti para pelancong yang hanya datang sebentar?

Pangandaran harus lebih ramah

Pemerintah daerah, dalam hal ini, harus lebih peka. Wisata seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai komoditas, tapi juga sebagai bagian dari kehidupan sosial-budaya. Perlu ada kebijakan afirmatif yang memastikan bahwa warga lokal bisa ikut menikmati hasil dari geliat pariwisata, bukan hanya terdampak oleh bisingnya. Misalnya dengan penetapan harga wajar untuk warga setempat, pembangunan fasilitas publik gratis, hingga penguatan ekonomi kreatif yang benar-benar melibatkan komunitas lokal.

Saya menulis ini bukan karena benci terhadap wisatawan, apalagi anti terhadap pembangunan. Justru saya ingin Pangandaran menjadi daerah wisata yang ramah bagi semua orang, termasuk kami, yang tak punya koper besar atau UMR tinggi sepeti di kota-kota besar.

Warga lokal bukan penghalang kemajuan. Kami hanya ingin merasa menjadi bagian dari tempat ini, bukan sekadar penjaga gerbangnya.

Penulis: Yesi Fitria
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 3 Pantai di Pangandaran yang Tidak Layak Dikunjungi, Wisatawan Sebaiknya Berpikir Dua Kali 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 3 Oktober 2025 oleh

Tags: pangandaranpantai di pangandaranumr pangandaranwisata di pangandaran
Yesi Fitria

Yesi Fitria

Suka menulis hal random.

ArtikelTerkait

Keresahan di Pantai Pangandaran (Unsplash)

3 Keresahan Setelah Saya Mengunjungi Pantai Pangandaran

10 Juni 2023
Kini Kita Tahu Alasan Anak Muda Ogah Menjadi PNS (Unsplash)

Kini Kita Tahu Alasan Anak Muda Ogah Menjadi PNS

10 Mei 2023
3 Pantai di Pangandaran yang Tidak Layak Dikunjungi, Wisatawan Sebaiknya Berpikir Dua Kali Mojok.co

3 Pantai di Pangandaran yang Tidak Layak Dikunjungi, Wisatawan Sebaiknya Berpikir Dua Kali 

15 Juli 2025
Tragedi di Balik Indahnya Wisata Pantai Pangandaran (Unsplash.com)

Tragedi di Balik Indahnya Wisata Pantai Pangandaran

20 Agustus 2022
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Culture Shock Orang Lamongan Menikah dengan Orang Mojokerto: Istri Nggak Suka Ikan, Saya Bingung Lihat Dia Makan Rujak Pakai Nasi

Culture Shock Orang Lamongan Menikah dengan Orang Mojokerto: Istri Nggak Suka Ikan, Saya Bingung Lihat Dia Makan Rujak Pakai Nasi

2 Desember 2025
Betapa Merananya Warga Gresik Melihat Truk Kontainer Lalu Lalang Masuk Jalanan Perkotaan

Gresik Utara, Tempat Orang-orang Bermental Baja dan Skill Berkendara di Atas Rata-rata, sebab Tiap Hari Harus Lawan Truk Segede Optimus!

30 November 2025
3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall Mojok.co

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall

5 Desember 2025
Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang Mojok.co

Alasan Orang Surabaya Lebih Sering Healing Kilat ke Mojokerto daripada ke Malang

5 Desember 2025
7 Fakta Surabaya yang Bikin Kota Lain Cuma Bisa Gigit Jari

7 Fakta Surabaya yang Bikin Kota Lain Cuma Bisa Gigit Jari

30 November 2025
8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah (Unsplash)

8 Alasan Kebumen Pantas Jadi Kiblat Slow Living di Jawa Tengah

3 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.