Narasi kuliah di jurusan pendidikan tidak pernah berubah dari dahulu hingga detik ini. Jurusan ini selalu dipromosikan sebagai jurusan yang mulia. Tidak salah memang, sebab lulusannya memang diarahkan untuk menjadi guru. Pekerjaan yang mulia karena mencerdaskan kehidupan bangsa.
Akan tetapi, realita di lapangan lebih ruwet daripada narasi yang “wangi” tadi. Kesejahteraan guru masih saja jadi isu hingga detik ini. Tidak sedikit mahasiswa Jurusan Pendidikan yang akhirnya pening setelah lulus. Mereka memang menjadi guru dengan tanggung jawab yang mulia. Namun, sehari-hari dibayangi dengan berbagai keluhan, terutama terkait kesejahteraan.
Bak lagu lama, persoalan ini sudah bertahun-tahun terjadi, tapi tidak segera menemukan titik terang. Itu mengapa saya selalu bertanya-tanya. Kenapa ya masih ada orang yang tertarik kuliah di jurusan ini sementara potret kesejahteraan guru di lapangan benar-benar miris. Tiap kali melihat mahasiswa jurusan pendidikan, rasanya saya ingin menjejalkan fakta-fakta di lapangan di bawah ini supaya mereka sadar.
#1 Jadi guru memang cita-cita yang mulia, tapi gaji pas-pasan
Menjadi guru memang mulia. Kamu bisa mengubah masa depan murid, menginspirasi, dan jadi tokoh yang dihormati. Namun, di balik semua itu, gaji guru, terutama honorer, sering kali bikin meringis.
Asal tahu saja, masih ada lho guru yang digaji Rp300 ribu sebulan. Bahkan, ada yang dibayar dengan beras atau janji manis kepala sekolah. Alhasil, banyak guru harus cari tambahan. Ada yang buka les privat, ada yang jualan online, bahkan tidak jarang jadi driver ojol setelah pulang sekolah. Profesi yang katanya pahlawan tanpa tanda jasa ini akhirnya juga jadi pahlawan tanpa saldo di rekening.
#2 Tugas kuliah mahasiswa Jurusan Pendidikan nyaris tak ada habisnya
Mahasiswa pendidikan sering jadi korban tugas beruntun. Mulai dari micro teaching, observasi ke sekolah, sampai laporan tebal berlembar-lembar. Rasanya, dosen ingin memastikan mahasiswa bukan hanya siap jadi guru, tapi juga siap jadi budak administrasi. Belum lagi, ada praktik mengajar pura-pura di depan teman sekelas. Kalau gugup atau salah ngomong, siap-siap ditertawakan. Dari sini, mentalmu benar-benar ditempa: bukan hanya untuk menghadapi murid, tapi juga untuk menghadapi rasa malu sendiri.
#3 Jadi CPNS itu rebutan, seperti war tiket konser Coldplay
Banyak mahasiswa pendidikan bermimpi jadi PNS. Alasannya sederhana, status lebih jelas, gaji tetap, dan ada jaminan pensiun. Namun, sayangnya, formasi guru dalam seleksi CPNS itu rebutannya luar biasa ketat. Sainganmu bukan cuma satu kampus, tapi se-Indonesia. Kalau pun lolos, penempatannya sering tidak sesuai harapan. Ada yang terpaksa pindah ke pelosok jauh dari keluarga. Alih-alih jadi pahlawan di kampung halaman, malah jadi perantau dengan cerita perjuangan yang penuh air mata.
#4 Lulusan Jurusan Pendidikan saja tidak cukup, masih ada sertifikasi guru
Banyak mahasiswa jurusan Pendidikan yang berharap setelah lulus, jalan hidup jadi lebih mudah dengan tunjangan sertifikasi. Nyatanya, sertifikasi itu butuh perjuangan panjang. Ada tumpukan berkas yang harus diurus, pelatihan yang melelahkan, dan antrean yang bisa bertahun-tahun.
Sering kali, guru baru bisa menikmati tunjangan saat usia sudah setengah baya. Padahal, saat masih muda dan butuh banyak biaya hidup, mereka justru harus rela menunggu sambil hidup seadanya. Jadi, jangan bermimpi cepat kaya setelah lulus kuliah pendidikan.
#5 Lulusan Jurusan Pendidikan siap-siap kena gashlighting, “Kalau ngajar, harus ikhlas.”
Kalimat ini sering jadi tameng saat guru menuntut kesejahteraan. Seakan-akan, kalau guru bicara soal gaji, berarti mereka tidak tulus. Padahal, ikhlas itu bukan berarti harus rela hidup pas-pasan selamanya. Yang lebih ironis, banyak pihak yang memanfaatkan narasi “ikhlas” ini. Pemerintah merasa aman tidak perlu menaikkan gaji signifikan, masyarakat merasa sah-sah saja menyuruh guru bekerja ekstra tanpa bayaran. Ikhlas kok dijadikan alasan untuk tidak memperbaiki sistem.
#6 Kerja rodi di balik administrasi
Lulusan Jurusan Pendidikan yang menjadi guru perlu serba bisa. Sebab, kalian tidak hanya jadi pengajar murid. Itu baru separuh pekerjaan. Separuh lainnya adalah menumpuk laporan: RPP, silabus, catatan kehadiran, evaluasi, hingga laporan harian.
Kadang, guru lebih sibuk berhadapan dengan kertas dan komputer daripada dengan murid. Parahnya lagi, administrasi ini sering berubah sesuai aturan baru. Begitu sudah selesai membuat setumpuk berkas, eh keluar lagi format baru dari dinas. Akhirnya, guru seperti terjebak dalam siklus tanpa akhir: mengulang pekerjaan yang sama hanya karena formatnya diganti.
#7 Dianggap profesi kelas ke-2
Mahasiswa Jurusan Pendidikan yang jadi guru perlu bersiap menghadapi kenyataan bahwa pekerjaan ini adalah kelas ke-2. Ironis memang. Masyarakat dan orang tua sekarang ini tampak lebih bangga kalau anaknya jadi dokter, insinyur, atau kerja di BUMN. Tapi kalau jadi guru? Sering dianggap pilihan terakhir.
Padahal, tanpa guru, mana bisa lahir dokter atau insinyur. Sayangnya, penghargaan itu baru datang di acara perpisahan sekolah atau hari guru nasional, bukan dalam bentuk gaji dan fasilitas yang memadai. Akhirnya, guru dihormati dengan bunga, bukan dengan uang.
Jurusan Pendidikan memang mulia, sebab pada akhirnya merekalah yang mendidik penerus bangsa. Namun, narasi yang beredar seharusnya tidak berhenti sampai di situ. Kenyataannya, jadi lulusan Jurusan Pendidikan yang menjadi guru itu menghadapi banyak tantangan. Bisa dibilang, memilih jurusan ini adalah pintu awal menuju kesengsaraan.
Tulisan ini tidak bermaksud memengaruhi para pembaca untuk membenci atau menghindari Jurusan Pendidikan. Saya hanya ingin memaparkan dengan gamblang kenyataan di lapangan. Sehingga, mahasiswa yang nyemplung ke jurusan ini benar-benar siap. Tidak merasa terjebak maupun tertipu. Tulisan ini sekaligus menjadi kritik untuk para pemangku kepentingan untuk lebih memerhatikan nasib guru yang punya tanggung jawab mulia.
Penulis: Khoerul Umam
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Alasan Saya Masuk dan Betah Kuliah di UNY hingga S2 dari Awalnya Asal Pilih Saja.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















