Di Solo, kamu melambat, tapi kamu akhirnya tak lagi sambat
Di kota besar, hidup itu kayak lomba lari estafet. Siapa lambat, minggir. Siapa telat, kalah. Dan siapa berhenti sebentar aja, langsung disusul dan dilibas. Semua orang buru-buru, semua orang pakai to do list, semua orang tidur cuma buat bangun dan ngetik lagi: “Maaf, belum sempat bales, hectic banget hari ini.”
Makanya, waktu saya pindah ke Solo, rasanya kayak turun dari treadmill yang kecepatannya nggak pernah bisa dikurangi. Tiba-tiba dunia jadi lebih pelan. Nggak ada yang marah-marah di jalan cuma gara-gara telat ngegas satu detik. Nggak ada yang nanya pekerjaanmu kayak lagi skripsi: “Freelance itu ngapain aja? Kok bisa hidup?”
Orang Solo kayak hidup di ritmenya sendiri. Santai, nggak terburu-buru, tapi tetap sampai tujuan.
Terburu-buru tidak bikin hasilnya lebih baik
Di kota ini, kamu bisa duduk dua jam di warung kopi pinggir jalan, cuma buat nyeruput teh tubruk dan ngobrolin kenapa ayam kampung lebih enak dari ayam broiler. Nggak ada yang nyuruh kamu cepet. Nggak ada yang nyindir kalau kamu kelamaan rebahan. Yang penting, kamu nggak ganggu hidup orang lain.
Orang Solo bukan nggak punya ambisi, mereka cuma tahu bahwa terburu-buru nggak bikin hasilnya lebih baik. Mereka tahu caranya pelan-pelan, tapi pasti. Dan hebatnya, mereka bisa kaya raya tanpa kelihatan kaya raya. Beneran.
Ada kisah temen saya, yang dulu pernah bantuin bapak-bapak dorong motor mogok. Si bapak itu pake kaos partai, sandal jepit, dan motor Astrea. Setelah dibantu, si bapak nyodorin kartu nama. Eh, ternyata manager perusahaan. Punya 30-an karyawan. Singkat cerita, temen saya ditawarin kerja.
Itu Solo. Kota di mana orang kaya bisa kelihatan kayak tukang bangunan yang baru pulang kerja. Di mana pejabat bisa nyaru jadi orang biasa. Karena mereka tahu, yang penting bukan tampilannya, tapi tenangnya.
Saya jadi mikir, mungkin memang kita terlalu lama diajari hidup harus cepat, harus sibuk, harus capek. Tapi Solo ngajarin saya bahwa pelan-pelan bukan berarti malas. Justru, kadang kita perlu melambat supaya sadar: kita ini hidup, bukan ngejar-ngejar validasi.
Solo jauh dari kata sempurna, tapi…
Saya nggak bilang Solo kota sempurna. Masih ada masalah, masih ada keluhan, masih ada yang sebel sama jalanan macet pas CFD. Tapi dibanding kota-kota lain yang kayak lomba lari setiap harinya, Solo ini kayak tempat istirahat. Tempat buat rehat. Tempat buat ngebenerin napas yang udah kadung ngos-ngosan karena ambisi.
Di sini, nggak masalah kalau kamu masih belum sukses di umur 25. Nggak masalah kalau kerjaanmu nggak bisa dijelasin dengan satu kalimat. Nggak masalah kalau kamu hidup pelan, asal kamu waras.
Karena Solo percaya, yang cepat belum tentu menang, dan yang pelan belum tentu kalah.
Kadang, yang pelan justru bisa sampai duluan ke tempat yang tepat. Yang nggak kelihatan ngebut justru lebih stabil. Kadang, yang diem-diem aja malah bisa bahagiain orang tua tanpa harus upload pencapaian di Instagram.
Hidup ini bukan balapan. Dan Solo, dengan segala kesederhanaannya, ngajarin itu ke saya.
Penulis: Putri Ardila
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Saya Sudah Muak dengan Kota Solo yang Berhenti Nyaman dan Berhenti Menyenangkan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















