Dulu, waktu zaman Belanda masih doyan menjajah dan jalan raya masih kosong dari truk-truk overtonase, Pati itu pusat dari segalanya di wilayah timur laut Jawa Tengah. Ya, dulu, Pati itu ibu kota Karesidenan, bro. Residen duduknya di Pati, bukan di Kudus, Jepara, apalagi Rembang.
Tapi entah karena terlalu lama jadi pusat, sekarang malah capek duluan. Kudus udah lari, Jepara udah terbang, tapi, Kabupaten Pati masih kongkow sambil ngopi.
Sebagai orang Pati, saya bukan mau nyinyir. Saya cinta Pati, suka nasi gandul, bangga dengan Batik Bakaran. Tapi kalau cinta cuma dibuktikan lewat postingan Instagram dan nonton konser di alun-alun, ya Pati tetap begitu-begitu saja.
Kita perlu ngomong jujur: Pati tertinggal. Dan itu bukan salah padi atau tambak, tapi karena kita kebanyakan rapat, kurang eksekusi.
Punya potensi, tapi cuma jadi wallpaper
Pati ini mirip kamar kos temen yang berantakan, padahal isinya lengkap. Sawah luas, tambak subur, laut ada, budaya kaya, SDM berlimpah. Tapi semua itu cuma ditaruh di etalase, tanpa ditindaklanjuti. Semacam poster motivasi yang nggak pernah bikin orang benar-benar bangkit.
Pati itu paket komplit. Tapi semuanya masih jadi bahan mentah. Petani panen, dijual ke luar. Nelayan tangkap udang, kirim ke luar kota. Pelaku lokal cuma pegang bagian capeknya.
Nelayan Juwana misalnya. Setiap hari tangkap rajungan, udang vaname, cumi, dan ikan laut lain yang jumlahnya bikin lapar mata. Tapi pengolahan pascapanennya minim. Produk mentah dikirim ke luar kota, merek dan duitnya dinikmati daerah lain. Di Juwana, yang tersisa cuma aroma amis dan antrean solar subsidi.
Petani padi? Masih rajin panen kekecewaan. Harga jual nggak stabil, pupuk langka, dan kadang harus berhadapan dengan tengkulak yang lebih licin dari aplikasi pinjol. Pati penghasil padi terbesar ketiga di Jateng, tapi sampai sekarang belum punya nama besar di pasar beras nasional. Entah kenapa, dari hulu ke hilir seperti terputus dan sengaja nggak disambung.
Coba deh tengok Kudus. Ada pabrik rokok yang nggak cuma bikin asap, tapi juga bikin dana cukai ratusan miliar tiap tahun. Dana itu dipakai buat bangun jalan, bantu UMKM, sampe bikin event keren. Di Pati? UMKM masih mikir gimana caranya daftar NIB tanpa ke warnet.
Sementara Jepara? Dari ukiran kayu bisa nyekolahin anak sampai kuliah di luar negeri. Pariwisatanya mulai rame, pelabuhannya hidup, branding-nya jelas. Di Pati? Kita masih debat, sego gandul paling enak yang mana.
Infrastruktur: kadang ada, kadang patah
Jalanan di Kabupaten Pati itu seperti harapan anak kos ke mantannya: rusak tapi masih dilewati. Jalur antar kecamatan kadang kayak medan reli. Sebagian besar warga Pati tahu bahwa jalan rusak itu hal spiritual. Harus diterima dengan keikhlasan, kadang disertai doa agar ban motor tidak nyelip di lubang. Jalur Tambakromo-Winong, atau Jakenan-Batangan bisa masuk nominasi jalan paling sabar di Jawa Tengah.
Pelabuhan Juwana? Masih kayak anak magang: kerja terus tapi nggak pernah naik jabatan. Padahal potensinya gede buat jadi simpul logistik. Tapi ya itu, perencanaan bagus, tapi realisasi sering nyangkut di jalan rusak.
Kebijakan publik: antara bingung dan bingung banget
Beberapa waktu lalu, warga Kabupaten Pati heboh soal wacana kenaikan PBB-P2 sampai 250 persen. Serius. Warga yang belum bisa bayar utang sembako di warung malah disodori tagihan pajak yang naik drastis. Katanya buat naikin PAD. Tapi kok ya kenanya ke rakyat duluan, bukan ke sumber duit yang lebih potensial.
Pemerintah daerah tetangga udah sibuk narik investor, digitalisasi layanan publik, sampe nyiapin ruang tumbuh buat ekonomi kreatif. Kita? Masih sibuk pasang spanduk “Musrenbang Kecamatan”, hasilnya kadang cuma revisi jalan dan perbaikan pos ronda.
Baca halaman selanjutnya
Pati tertinggal itu hasil, bukan nasib




















