Di balik gelar bergengsi dan kebanggaan akademis, perjalanan kuliah S3 menimbun kisah-kisah pilu yang jarang terungkap di permukaan. Bukan sekadar tentang tumpukan jurnal atau ujian proposal, pertarungan sesungguhnya berada pada pertaruhan mental. Tekanan psikologis yang diam-diam menggerogoti dan fase kehilangan arah dalam penyusunan penelitian tak jarang membuat mahasiswa menyerah di tengah jalan.
Seperti puncak gunung es yang terlihat kecil, dunia doktoral sejatinya memiliki duri tak kasat mata. Hal ini hanya dimengerti oleh mereka yang benar-benar menjalaninya. Ada harga mahal yang harus ditebus untuk menggapai kata lulus. Jika kuliah di jenjang S1 yang banyak ditempuh orang diibaratkan seperti musim semi, kuliah S3 tak ubahnya menghadapi musim dingin dalam sunyi.
Kuliah S3 tak sekadar duduk di kelas, mendengarkan dosen, ikut ujian, lalu jadi wisudawan
Anggapan bahwa kuliah S3 hanya berkutat pada rutinitas duduk di kelas, menyimak perkuliahan dosen, dan menghadapi ujian adalah sebuah penyederhanaan yang jauh dari realitas. Sebab, esensi pendidikan doktoral jauh melampaui rentetan aktivitas tersebut, melainkan sebuah proses inkubasi bagi para calon peneliti dan pemikir orisinal. Artinya, para calon mahasiswa S3 sudah harus paham betul mereka hendak memberikan kontribusi kebaruan apa untuk kerangka pengetahuan. Bahkan sebelum resmi diterima di kampus impian, para calon mahasiswa diminta menerangkan rencana penelitian mereka secara lisan dan tulisan untuk proses seleksi.
Kegiatan perkuliahan S3 jauh melampaui sekadar mendengarkan penjelasan di kelas, di mana dosen cenderung menyuapi ilmu untuk dicerna setiap kepala. Sementara bangku S3 lebih sebagai wadah konfirmasi karena mahasiswa dianggap sudah menguasai berbagai teori. Diskusi bersifat common sense tak lagi berfungsi, yang berlaku adalah dasar penelitian yang mewakili argumentasi.
Kebingungan menentukan kesenjangan penelitian membuat mahasiswa sering mengganti proposal
Kuliah S3 melatih mahasiswa untuk berpikir analitis dan kritis terhadap berbagai teori, konsep, dan temuan penelitian sebelumnya. Di sisi lain, mereka mesti piawai mengidentifikasi celah pada studi terdahulu untuk digunakan sebagai pangkal penyusunan disertasi. Kemampuan ini jelas tak dapat diperoleh dalam satu semester berbekal mencatat pemaparan dosen maupun diskusi di kelas.
Sebaliknya, satu celah penelitian bisa jadi baru ditemukan setelah kelar membaca ratusan artikel ilmiah. Proses panjang yang melelahkan ini kerap menimbulkan kebimbangan dan kewalahan karena seseorang terlalu banyak menyerap ide. Meski wawasan bertambah, tak ayal pendirian mahasiswa justru goyah. Akibatnya, tidak sedikit mahasiswa S3 yang sering gonta-ganti topik sehingga tak kunjung menuntaskan studinya.
Kuliah S3 siap ujian berulang kali yang tak pernah luput dari revisi. Rentan bikin depresi
Ketika menyelami dunia S3, maka isi kuliah adalah gempuran terhadap isi disertasi. Sialnya, tahap pembantaian tersebut tak cukup dilalui satu atau dua kali. Di suatu universitas ternama, ujian resmi yang kudu dijalani berjumlah lima kali, belum termasuk ujian ulang jika dinyatakan tidak lolos.
Ditambah lagi sebelum diizinkan mengajukan ujian, mahasiswa akan terlebih dahulu ditempa di tahap kolokium. Praktis, revisi yang menanti seakan tak kunjung berhenti. Seperti maraton, tekanan berulang setiap kali berhadapan dengan dosen sampai mencapai garis akhir rentan membuat kewarasan jiwa luluh lantak dan berimbas pada kesehatan fisik.
Tuntutan publikasi sebagai syarat mutlak kelulusan
Sebagai kandidat doktor, mahasiswa S3 diharapkan untuk aktif berpartisipasi dalam komunitas akademik yang lebih luas. Dengan kata lain, mereka diminta mengajukan presentasi hasil penelitian di konferensi nasional maupun internasional serta publikasi artikel ilmiah di jurnal-jurnal bereputasi. Bahkan, beberapa perguruan tinggi mewajibkan hal ini sebagai syarat mutlak lulus, berikut menyertakan nama dosen terkait untuk kepentingan kampus.
Guna memenuhi ketentuan tersebut, ada pengeluaran yang timbul selain biaya kuliah. Publikasi jurnal bereputasi mungkin saja membutuhkan biaya cukup tinggi. Belum lagi dana yang dikeluarkan untuk mengumpulkan dan mengolah data. Desakan beruntun di berbagai sisi ini berpotensi membuat mahasiswa semakin patah arang menaklukan kuliah S3.
Jadi, ingatlah bahwa di balik senyum dan jabat tangan erat saat wisuda seorang doktor, tersembunyi sebuah perjalanan penuh liku dan pengorbanan tak terbayangkan yang mungkin sukses merontokkan sendi kehidupan. Jika selama ini kuliah S3 dipandang sebagai puncak gunung cendekiawan, sesungguhnya di dalamnya tersimpan riak-riak yang menguji ketahanan emosional.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Pertimbangan Penting Sebelum “Menjual Jiwa” pada Kuliah S3.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
















